Pages

Subscribe:

Jumat, 23 Januari 2009

Pendidikan di Sugapa Sangat Memprihatinkan

Kepala Sekolah dan Guru Dalangnya
Oleh: Oktovianus Pogau

NABIRE- Terciptanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal serta berkompoten disuatu daerah adalah kunci utama majunya daerah itu. Tidak ada jalan lain yang dapat kita tempuh untuk mewujudkan SDM yang handal, selain melalui jalur pendidikan. Sehingga dengan ini, pendidikan perlu mendapatkan perhatian yang begitu serius dari setiap lembaga yang mengaturnya, yang diperhatikan bukan siswa saja, namun semua satuan pendidik yang mengurus itu perlu di pantau serius oleh pemerintah daerah baik guru, kepala sekolah, bahkan sampai pada masyarakat yang menjadi pelaku pendidikan itu sendiri.

Dimana dalam hal ini saya melihat pendidikan di kampung halaman saya (red, sugapa) sangat-sangat buruk dan memprihatinkan, lebih menggenaskan lagi yang merusak pendidikan di daerah ini adalah para guru dan kepala sekolah sendiri, memalukan, kata ini yang bisa saya gambarkan pada ketidakbecusan mereka dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) daripada generasi Papua yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang Ilmu Pengetahuan.

Hal ini di ungkapkan Linus Bagau, salah satu Inteleq asal suku Moni beberapa saat lalu di ketika di temui Koran Papua Post Nabire (PPN) Jumat (29/10) menanggapi dilematisasi carut-marutnya Pendidikan di sugapa (red, Intan Jaya). Yang sebagaimana hal ini disaksikan oleh dirinya melalui kasad matanya sendiri saat turun lapangan beberapa saat lalu.

“guru-guru yang telah menjadi pegawai negeri dan di tempatkan oleh pemerintah Paniai di sugapa, pada umumnya tidak punya hati untuk mengajar, dimana mereka hanya punya hati untuk menerima uang, padahal ketika mereka melamar untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sumpah janji mereka keluarkan untuk bagaimana tetapi setia dan taat kepada tugas yang pemerintah embani kepada mereka.

Hal ini terbukti, dimana guru-guru yang bertugas disana lebih senang lalu lalang di kota-kota besar seperti Kabupaten Paniai maupun Kabupaten Nabire bagai orang yang tidak punya tugas dan tanggung jawab daripada tinggal berlama-lama di tempat tugas untuk mengajar siswa yang kadang jenuh dan membosankan karena sedikit ketidaktauan mereka. Selain itu, banyak guru-guru yang lari ke Kabupaten Paniai untuk menuntut jabatan politik yang lebih tinggi lagi daripada hanya menjadi guru biasa. Inikan sebuah fakta yang lucu, dimana menjadi guru hanyalah sebuah job mengisi kekosongan mereka” tegasnya.

Selain itu, Kepala sekolah maupun guru yang bertugas di sana tidak transparan dalam penggunaan dana operasional. Padahal dana pendidikan yang di turunkan oleh Pemerintah Pania tidak sedikit jumlahnya, sehingga hal ini perlu di tanyakan dengan baik-baik, kira-kira kemana dana-dana pendidikan seperti itu. Padahal, kalau dana itu digunakan dengan baik-baik maka bukan tidak mungkin bisa membangun beberapa ruang kelas yang layak, selain itu bisa juga membangun perpustakaan kecil dan fasilitas sekolah yang lainnya.

Namun, sudah sekian tahun dana pendidikan dikucurkan, toh nasib pendidikan di daerah ini tidak berubah. Ruang kelas yang saya lihat dulu, tetap begitu-begitu terus, kemudian mutu dan kualitas pendidikan tidak di tambah dengan adanya penambahan beberapa buku pelajaran. Kapan mau adanya perubahan dan peningkatan pendidikan di daerah ini padahal Pemekaran Kabupaten Intan Jaya sedikit lagi akan menjadi kenyataan, terangnya dengan wajah yang sedih.

“yang mengabdi untuk daerah diatas khususnya dalam hal pendidikan dengan serius adalah para guru tamatan SMA/SMK dan sederajat lainnya. Mereka walaupun bukan pegawai negeri sipil, toh mereka punya hati untuk tanah diatas. Dimana mereka memberkan semua yang mereka punya, tanpa menuntut. Ini baru kita bisa namakan seorang pahlawan yang mengabdi tanpa tanda jasa. Contohnya dapat kita lihat di Agisiga, dimana guru-guru yang di berikan kepercayaan dengan bayaran yang cukup tinggi oleh pemerintah paniai melalaikan semua itu, sehingga beberapa guru honorer tamatan SMA/SMK dan sederajat lainya yang lebih serius mengajar,” tambahnya.

Harapan saya Kepada Pemerintah Paniai, bagaimana untuk meningkatkan mutu pendidikan dan Sumber Daya Manusia (SDM) di sugapa pemda harus lebih jeli dalam menempatkan guru di daerah Sugapa. Berikan tanggung jawab kepada mereka yang memang betul-betul punya hati untuk mengajar generasi muda diatas dari pada kepada mereka yang sama sekali tidak punya hati untuk mengajar. Ketika hal ini di tanggapi dengan serius, maka bukan tidak mungkin akan tercipta manusia-manusia dengan tingkat sumber daya manusia yang dapat bersaing dengan orang-orang di daerah luar Papua, terang bagau mantap.

Rabu, 21 Januari 2009

Homogenisasi Kebudayaan; Krisis Paling Berbahaya

“KEBUDAYAAN adalah keseluruhan gagasan, tindakan dan taktik manusia dalam merespon alam, lingkungan dan sesamanya. Semua yang dilakukan, diciptakan dan dilatihkan dapat disebut kebudayaan. Norma, moral dan agama juga bagian dari kebudayaan, “ tutur Antariksa, salah satu tokoh muda yang juga pengurus KUNCI.

Menurutnya, kebudayaan dibebani oleh nilai-nilai serta berkaitan dengan ketergantungan pada nilai yang lain. Ia juga selalu berubah. Contohnya di era Soekarno. Kebudayaan dibuat sangat politis sedang era Suharto dibuat sedemikian tidak politis, sebab jika kebudayaan itu tidak senada dengan kepentingan penguasa ia dianggap membahayakan.
Apakah kebudayaan dibentuk oleh nalar politik seseorang dan sengaja diarahkan pada satu ideologi tertentu atau sebaliknya ? Hubungan keduanya bertimbal balik. Bisa jadi nalar mengubah kebudayaan tetapi bisa juga keadaan yang kita alami sehari-hari membentuk nalar kita. Jadi kebudayaan selalu politis dan menjadi arena pertarungan kepentingan.


Budaya Kekerasan

Ada anggapan, budaya kekerasan di Indonesia bermula dari Tragedi ’65. Tapi menurut Antariksa, hal itu tidak sepenuhnya benar. “Jauh sebelumnya bangsa kita punya sejarah kekerasan yang panjang. Hanya saja, Tragedi ‘65 merupakan tonggak penting karena budaya kekerasan itu dilembagakan dalam skala yang sangat besar dan didukung oleh alat-alat kekerasan yakni tentara dan produk hukum,” tuturnya

Ia juga menambahkan, kelembagaan yang diciptakan Orde Baru menciptakan satu pikiran bahwa, misalnya komunis itu jahat, komunis itu brengsek, komunis itu berbahaya. Yang lebih ngeri lagi, kekerasan dilembagakan dalam bentuk laten sifatnya, misalnya lewat kurikulum, ceramah, tuturan orang tua, film dan lain sebagainya. “Inilah yang tidak pernah terjadi sebelum ’65,” ungkap Antariksa.
Krisis kebudayaan dialami oleh setiap orang di seluruh dunia termasuk Indonesia. Salah satu krisis paling berbahaya – dan herannya kita tidak menganggapnya sebagai hal yang keliru – adalah homogenisasi (penyeragaman) kebudayaan.
“Kalau kita ke Aceh atau Papua, kita akan menemukan semuanya sama. Bajunya sama, cara bicaranya sama, bahkan cara berpikirnya juga dibuat sama. Semua diseragamkan oleh kepentingan uang. Disini tampak bahwa negara makin kehilangan perannya dalam politik kebudayaan. Peran tersebut telah digantikan oleh kekuatan modal ekonomi dan diutamakan atas nama modernisasi sebagai ukuran kemajuan suatu bangsa,” ujar Antariksa.
Salah Satu Alat

Menurutnya, negara seharusnya mengambil peran dalam kebijakan kebudayaan dan melindungi kebudayaan rakyat. Sebagai contoh, masuknya budaya asing melalui media elektronik.
“Menurut saya lembaga sensor adalah solusi paling tolol dan paling malas karena dibalik kebijakan sensor ada anggapan bahwa masyarakat itu bodoh dan harus diatur-atur. Didunia ini banyak kejahatan dan keburukan. Kenapa tidak membuat pendidikan media literasi dan penguatan-penguatan di bidang pendidikan? Itu lebih masuk akal,” ujarnya.
“Menentukan tolak ukur maju tidaknya sebuah kebudayaan itu sulit karena kita hanya bisa bicara dalam skala yang massif yakni negara. Yang bisa diukur adalah bagaimana lembaga-lembaga negara memperlakukan kebudayaan, bagaimana budaya itu hidup, apakah kebijakan kebudayaan bisa memerdekakan masyarakat, apakah kebudayaan yang dijalankan pro kepentingan rakyat, dll. Dari material inilah kita baru bisa mengukurnya,” tuturnya.
Terkait dengan peranan budaya sebagai pembangun karakter bangsa, kebudayaan bukanlah koridor atau alat utama. Kebudayaan hanyalah salah satu alat saja dan harus dijalankan berbarengan dengan koridor-koridor yang lain, misalnya koridor politik, ekonomi, dsb. Jadi semuanya saling melengkapi. (Sari Anantya Rosa)


Sumber: http://www.syarikat.org/article/

Selasa, 20 Januari 2009

Mungkinkah Merauke Menjadi Lumbung Pangan Dunia?

Dibalik ketidakmampuan ribuan Warga Papua di Merauke untuk mencari makan, ternyata pemerintah dengan gencar-gencarnya telah mengkampanyekan Merauke akan menjadi lumbung pangan dunia. Sangat ironis apalagi ditambah dengan rencana penghapusan Raskin kepada masyarakat tidak mampu.

“Ah..coba tanya yang lain saja, saya tak tahu itu,” kata Tono (29), Seorang Petani sawah di Distrik Tanah Miring, Merauke, yang tiap harinya bergelut dengan cangkul dan lumpur. “Kalau mau tanya tentang Merauke jadi lumbung pangan itu, tanya saja di Dinas Pertanian, kita ini hanya bekerja untuk makan saja,” ujarnya sekali lagi. Di tempat lain, ternyata ada beberapa petani yang juga sependapat dengan Tono. Rahmat (32), seorang diantaranya. Sang petani kecil dari Tanah Miring. Liriknya kurang lebih serupa dengan Tono. “Iya memang ada bantuan banyak. PPL (Petugas Penyuluh Lapangan, Red) juga selalu datang. Tapi kita juga kadang kesulitan juga,” tuturnya. Menurut dia, untuk menjaga agar petani selalu berhasil dalam setiap panennya, diperlukan sebuah konsep yang jelas. Bukan asal tulis saja.



Sepenggal cerita di atas bukanlah kisah dalam sebuah parodi. Tapi sebuah fakta yang sering terjadi dalam banyak kehidupan petani di Merauke. Tono dan Rahmat dalam penggalan diatas hanya ingin menggambarkan bagaimana kesulitan petani itu terjadi. Tak dapat dibayangkan jika kesulitan itu menghimpit mereka ditengah sebuah rencana besar menjadikan Merauke sebagai Kota Agropolitan dan lumbung pangan dunia. Rencana yang sangat besar. Rencana yang juga memerlukan kualitas kerja dari petani yang tinggi, kinerja yang maksimal dan kebutuhan finansial yang banyak. Tapi juga rencana yang tanpa disadari bersifat memaksakan petani agar bekerja dengan keras agar hasil tersebut dapat diekspor keluar negeri.

“Kita hanya bisa berupaya dengan optimisme yang ada. Rencana tersebut juga bukan merupakan tulisan di atas kertas saja. Tapi itu sudah kami jalankan,” kata Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke, Omah Laduani Ladamay dalam sebuah Pertemuan Teknis di Kantor dinas tersebut.

Bagi Ladamay, program “pemberantasan” kemiskinan di Merauke dan untuk menjadikan kota ini menjadi kota penghasil serta lumbung pangan dunia telah dilakukan dengan program yang disebut MIRE (Merauke Integrated Rice Estate). Cikal bakal program alternatif untuk solusi krisis pangan dan energi bangsa yang kini lebih dikenal dengan sebutan MIFFE (Merauke Integrated Food And Energy Estate). Konsep ini memang terbilang berani dalam kondisi yang serba sulit. Tidak saja sulit karena sumber daya manusia pribumi setempat yang tidak terbiasa dengan menanam padi. Tapi juga sulit karena jumlah petani yang terbilang sangat sedikit ketimbang luas lahan garapan yang sangat luas.

Minimal luas satu hamparan tanam dalam MIFFE adalah 1.000 Ha. Konsep ini juga memerlukan keterlibatan seluruh stakeholders agribisnis termasuk swasta besar, termasuk konsep lainnya menyangkut link and match dan zero waste. Untuk manajemen penggunaan lahan per 1000 Ha itu, bahkan telah dibagi menjadi, 70% untuk tanaman pangan, 9% untuk ternak, 8% untuk perikanan darat, 8% untuk perkebunan dan 5% untuk lahan lain. “MIFFE merupakan program unggulan yang sementara ini sedang dilakukan. Ada target dimana ke depan akan terjadi perubahan hidup dari Masyarakat Merauke oleh MIFFE,” ujar Ladamay.

Potensi lahan MIFFE memang sangat luas. Luas lahan budi dayanya saja mencapai 2.491.821.99 ha. Lahan basah mencapai 1.937.291,26 ha. Dan luas lahan kering mencapai 554.530,73 ha. Potensi lahan MIFFE ini dapat ditemukan misalnya di distrik Kurik, Merauke seluas 500 ha. Direncanakan akan ditanami jagung. Luas lahan MIFFE dalam sebaran kawasan sentra produksi dibagi dalam tiga zona. Yakni zona 1 terdiri dari Distrik Merauke, Semangga, Tanah Miring, Kurik, Jagebob, Sota, Eligobel, Muting dan Ulilin. Zona 2 adalah distrik Semangga. Sedangkan zona 3 adalah Distrik Kimaam.

Dalam perencanaannya, lahan potensial MIFFE selanjutnya akan dibuat sebagai lahan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 1.428.000 ha. Dan Lahan Alokasi penggunaan lainnya (APL) seluas 202.869 ha. Total potensi ini mencapai 1.630.869 ha. Seterusnya terdapat juga rencana untuk pengembangan lahan tersebut. Yakni untuk lahan tanaman pangan, 1 juta ha, peternakan, 100.000 ha, perikanan, 100.000 ha, perkebunan, 100.000 ha dan untuk penggunaan lain 330.869 ha. “Mekanisasinya adalah dengan teknologi mekanisasi, heavy mekanisasi dan dilanjutkan dengan olah tanah sampai dengan panen,” papar Ladamay.

Namun ironisnya, ternyata luas lahan dan tujuan dari MIFFE yang tergambar di atas kertas, tak sebanding dengan kesulitan yang terjadi di tengah-tengah petani. Rencana menjadikan Kota Rusa sebagai lumbung pangan dunia yang diproklamirkan dalam sebuah acara Panen Raya Padi di Tanah Miring, Merauke, tak sejalan juga dengan kondisi petani dan “permainan” yang terjadi. Sebut saja peristiwa kelangkaan pupuk bersubsidi beberapa pekan terakhir di Merauke. Pupuk bersubsidi yang dijual dengan harga Rp 120.000 hingga Rp 160.000 per 100 kg itu diduga telah digelapkan oleh oknum tertentu. Kelangkaan pupuk bersubsidi misalnya urea dialami oleh ratusan petani di beberapa wilayah. Seperti Waninggap Kai, Distrik Semangga, beberapa Kampung di Distrik Kurik dan Tanah Miring.

Pupuk yang biasanya dipasaran dijual dengan harga sekitar Rp 300.000 itu, kini lenyap. Warga petani pun kecewa dengan kejadian tersebut. “Kita masih susah, tapi kalau mau tunda tanam, pasti kita yang rugi. Jadi mau bagaimana lagi? ” kata Marni (36). Menurut perempuan berperawakan sedang itu, akibat kelangkaan tersebut, dirinya terpaksa membeli pupuk yang dijual di pasaran dengan harga tinggi. Hal itu dilakukannya agar proses masa tanam tidak terganggu. “Rugi juga kalau dihitung-hitung. Tapi itu sudah resiko,” ceplosnya.

Selain kelangkaan pupuk bersubsidi, terjadi juga kadaluarsa benih yang menimpa sejumlah petani di beberapa Wilayah di Merauke. Benih Padi jenis ternama yang dibagikan ke petani di Distrik Kurik, Kimaan, Bupul serta sejumlah distrik lainnya itu merugikan petani hingga puluhan juta rupiah.

Dalam peristiwa lain sekitar November 2008, terjadi juga “permainan” pembagian bantuan alat dan mesin pertanian kepada sejumlah petani di Kurik. Untuk mendapatkkan alat tersebut petani diharuskan membarternya dengan hewan ternak mereka. Bantuan yang berasal dari Pemda Kabupaten Merauke itu diperuntukkan kepada petani yang belum memiliki alat dan mesin pertanian. Namun dalam perjalanannya, oknum pengedar alat tersebut menyerahkannya kepada petani dengan barteran hewan peliharaan. Dalam bagian lain, ada pula alat tersebut yang diduga dijual dengan harga miring.

Dari keterangan seorang Warga Distrik Kurik, Puji Susanto, pembagian mesin pertanian yang dibarter itu ternyata sudah berlangsung semenjak lama. Namun tidak pernah ada sanksi yang diberikan terhadap oknum petugas tersebut. Akibat kejadian ini sejumlah warga penerima kecewa. Meskipun demikian mereka tetap memakai alat dan mesin pertanian yang telah diperolehnya itu. “Itu sudah, alat pertanian itu biasa dikasih tapi dengan cara tukar dengan sapi atau pakai bayar tapi dengan harga murah,” kata dia. Ditambahkannya, mesin-mesin tersebut dibagikan hingga mencapai puluhan mesin. Diberikan dalam kondisi yang masih baru kepada petani. Petani pun hanya pasrah dan tak bisa berbuat banyak untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pejabat daerah. Bagi mereka, kata Puji, “Yang Penting ada dari Pada Tidak Dapat Sama Sekali”


Keseriusan Yang Dipertanyakan

Bupati Merauke, Johanes Gluba Gebze dalam sebuah pertemuan terbatas di Merauke mengatakan, Merauke suatu saat akan dijadikan sebagai lumbung pangan dunia. Hal ini merupakan cita-cita yang yang harus dicapai. Berangkat dari proyek padi Kumbe pada beberapa tahun silam yang pada akhirnya bisa diekspor ke luar negeri, Gebze dalam pertemuan itu terkesan sangat optimis. Tidaklah salah. Demikian juga dengan optimisme atas penghapusan pembagian jatah beras miskin kepada masyarakat kurang mampu. Sekali lagi, tidaklah salah. Namun demikian, kiranya perlu diperhitungkan juga dengan keadaan dan kondisi puluhan ribu Masyarakat Merauke yang masih terkukung dalam jeratan kemiskinan. Mereka yang miskin hingga tak memiliki tempat tinggal dan makanan layak itu, sangat memerlukan bantuan raskin.

Dalam batasan ini, perlulah diberikan sebuah pertanyaan, apakah layak jika rencana penghapusan pembagian raskin dilakukan? Apakah perlu memaksa petani yang jumlahnya sangat sedikit ketimbang luas pertanian yang luas untuk menanam padi sebanyak-banyaknya? Padahal kondisi mereka sendiri pada hampir sebagian besar petani tak memiliki kemampuan untuk bekerja secara “paksa”? mungkinkah hal ini hanya merupakan sebuah upaya pemerintah semata untuk menunjukan kepada publik secara nasional bahwa Merauke telah layak diperhitungkan untuk berdiri sendiri?

Tono, petani berkaos oblong itu mengatakan janganlah berencana menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan dunia pada saat sekarang. Karena apa yang terjadi dalam berbagai bentuk penyimpangan telah menjadi indikator bahwa Merauke masih perlu berbenah lebih jauh dalam bidang pertanian. “Kalau mau buat rencana itu lihat-lihat dulu,” ujarnya polos. (Jerry Omona)

Sumber : Tabloid Jubi (http://cafeinbuti.blogspot.com/)

Minggu, 18 Januari 2009

DIANTARA TUNTUTAN ERA-GLOBALISASI

Masih Adakah Bayang-Bayang Hukum Adat Suku Mee

Oleh Dominikus Douw


Segala sesuatu berdiri kokoh, pasti ada dasar yang kuat. Tulisan dari sudari Yohana H. M. Goo siswi, SMA YPPK Adhi Luhur Nabire, kelas XI (saat itu) dalam edisi X Mei – Juli 2007 dengan topik Membangun Sebuah Daerah Perlu Dasar (Kebudayaan), menginspirasikan saya untuk menulis eksistensi hukum adat suku mee di wilayah hukum adat Paniai.

Sekilas geografis bahwa, masyarakat adat suku mee mendiami wilayah hukum adat Paniai, yang terletak di pegunungan tengah Papua Barat, bagian barat yang mencakup wilayah Mapia/Mapiha, Kamuu, Tigi dan Paniai. Dari keempat wilayah hukum adat tersebut, memiliki ciri-ciri khas dalam kehidupan sehari-hari yang sedikit berbeda namun perbedaan tersebut tidak mencolok.


KILAS BALIK HINGGA KINI
Sejak dahulu kala hingga pada awal tahun 1980-an, masyarakat adat suku mee menjalani kehidupan di bumi Papua Barat berdasarkan hukum adat suku mee sendiri. Namun akibat dari hasil PEPERA yang dilakukan (secara sepihak) pada bulan Mei 1969 maka kekentalan dari hukum adat suku mee itu mulai memudar. Sebagai bukti ada beberapa contoh yang dapat kita lihat bahwa, Mege sebagai alat pembayaran saat itu berganti menjadi menjadi uang, Yuwo (pesta babi) yang biasanya dilakukan oleh hampir setiap setiap wilayah adat suku mee, mulai memudar dan kini tidak nampak lagi acara-acara tersebut dilakukan. Selain itu, dengan diterapkannya UU No. 5 tahun 1979, maka sistim pemerintahan tonawi dirubah menjadi sistim pemerintahan Desa (yang sangat berbeda dengan hukum adat setempat).

Selain contoh diatas, satu hal terpenting yang kini eksistensinya mulai hilang, bahkan dapat dikatakan sudah hilang yaitu Touye-mana/Tota-mana yang dahulunya dianggap sebagai Dasar-Dasar Kehidupan dari masyarakat adat suku mee, kini sudah tidak berlaku lagi.

Pada era-globalisasi ini masyarakat adat suku mee, dihadapkan dengan berbagai macam tuntutan, termasuk pemekaran kabupaten Dogiyai maupun kabupaten Deiyai seiring dikeluarkanya UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (para elit) yang kini mulai marak diperbincangkan ditengah masyarakat adat suku mee. Bila Touye-mana/Tota-mana yang dianggap sebagai dasar-dasar kehidupan bagi masyarakat adat suku mee tersebut tidak dipertahankan, maka dimanakah dasar pijakan kaki bagi masyarakat adat suku mee untuk menerima semua tuntutan itu? Dan akibat dari ketidak-siapan, kini mulai terdengar bahwa, Tanah yang menurut filosofi masyarakat adat suku mee menganggapnya sebagai ibu. Tanah yang dianggap sebagai pemberi kehidupan bagi masyarakat adat suku Mee itu sendiri, kini mulai dijual.

Dengan melihat semua realita ini, maka dapat dikatakan bahwa dasar pijakan bagi masyarakat adat suku mee untuk beradaptasi dengan berbagai tuntutan pada jaman era-globalisasi, termasuk pemekaran kabupaten Dogiyai maupun kabupaten Deiyai, untuk sementara ini belum siap untuk menerima semua itu, namun semuanya itu sudah terjadi. Lantas hal apakah yang harus diperbuat oleh generasi kita, untuk menyelamatkan semua itu?. Apakah keadaan ini kita biarkan berlarut-larut?. Semua kembali kepada diri/pribadi kita sebagai orang mee khususnya, dan juga sebagai orang Papua pada umumnya.

Diawal tulisan telah dikatakan bahwa segala sesuatu dapat berdiri kuat apabila ada dasar yang kuat. Maka dapat dikatakan bahwa hukum adat suku mee (Touye-mana/Toya mana) yang merupakan dasar-dasar kehidupan masa kini dan masa yang akan datang bagi masyarakat adat suku mee itu sendiri, untuk mempertahankan ke-mee-an sebagai salah satu anggota dari seluruh masyarakat adat di Papua khususnya dan pada umumnya di muka bumi ini.

Oleh karena itu, Pihak yang bertanggung jawab dan yang sangat berperan penting dalam menjawab problema ini, diantaranya mahasiswa sebagai kaum intelek dan yang terutama adalah pemerintah daerah sebagai pihak pemegang kekuasaan, sehingga kedua pihak tersebut diharapkan sadar akan hal ini. Sebagai seorang intelek diharapkan dapat memberikan pengertian atau pemahaman kepada masyarakat adat suku mee bahwa untuk menerima semua tuntutan era-globalisasi ini, perlu dasar yang kuat. Dan kepada pemerintah diharapkan supaya sebelum menerapakan semua tuntutan era-globalisasi ini (termasuk pemekaran), dapat memperkuat dasar-dasar kehidupan (Tota-mana/Touye-mana) dengan berbagai cara, kepada masyarakat adat suku mee karena tanpa sebuah dasar maka apalah artinya bila semua tuntutan diera-globalisasi ini diterapkan di masyarakat adat suku mee, disaat masyarakat adat suku mee itu sendiri belum siap untuk menerima semua tuntutan tersebut.

Dalam hal ini saya lebih setuju jika pemerintah daerah menerapkan sistim pemerintahan berdemokrasi kesukuan yang ditawarkan oleh Sem Karoba Dkk dalam tulisan mereka yang berjudul Demokrasi Kesukuan: Gagasan Sistim Pemerintahan Masyarakat Adat di era-globalisasi. Karena dalam sistim demokrasi kesukuan ini, Pertama-tama mengakui, memajukan dan menegakkan hukum alam dan hukum adat lalu juga mengakomodasi hukum universal (Karoba Sem, Dkk. 110).
Dengan demikian, saya yakin dan percaya bahwa seratus tahun bahkan seribu tahun kedepan, eksistensi ke-Mee-an akan tetap terpelihara dan masih akan disebut sebagai salah satu anggota suku dari semua suku yang ada di Papua khususnya, dan di planet bumi ini pada umumnya.

Mahasiswa Jurusan Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Seni Musik Sebagai Budaya Pembebasan. MungkinKAH…?

Oleh: Amoye Egeidaby

Apa itu arti dari musik? Musik adalah bunyi atau suara yang didengarkan oleh setiap individu dan memiliki makna dan pesan tertentu yang berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang. Dari bunyi atau suara yang didengarkan mengatakan sesuatu tentang sesuatu, jadi musik berhadapan dengan makna dan pesan untuk diresapkan. Makna dan pesan tersebut bisa dipengaruhi oleh konteks saat manusia berkarya, baik itu tujuan, pendengarnya dan sebagainya. Musik dapat berfungsi sebagai ungkapan perhatian, baik bagi para pendengar yang mendengarkan maupun bagi pemusik yang menggubahnya

Musik merupakan bagian dari musik temporal, yaitu bahwa musik hadir dalam tari dan drama. Musik mengandung kumpulan yang sistematis dan teratur dari berbagai komponen suara -- irama, melodi, dan keselarasan -- untuk dapat dilihat dan dinikmati. Musik, seperti bentuk seni lainnya, merupakan ekspresi yang penuh gaya. Musik melibatkan pengelolaan serta keterampilan dari materi artistik sehingga dapat menyajikan atau mengkomunikasikan suatu hal tertentu, gagasan, atau keadaan perasaan.


Seorang komponis menciptakan suatu lagu berdasarkan situasi yang sedang dialaminya. Jika saat situasinya sedih maka lirikan lagu yang diciptakannya pun sedih, pada saat situasi komponis sedang merasa gembira atau bangga Ia akan menciptakan lagu dengan lirikan lagu yang bangga atau gembira. Begitu juga jika lagunya ingin melukiskan suatu keadaan alam atau situasi suatu lokasi, maka Ia akan menyusun keadaan alam itu dari bait ke bait dalam suatu lirikan lagu. Sehingga pendengarnya pun seakan-akan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh komponis pada saat menciptakan lagu tersebut.

Jika musik pada dasarnya sebuah bentuk aktivitas manusia yang memunyai maksud tertentu, setidaknya musik meliputi tiga komponen yaitu, komponis, produk musikal yang dihasilkannya, dan aktivitas dimana komponis tersebut membuat produk musikal. Tetapi ketiga hal tersebut tidak lengkap. Komponis membuat sesuatu (musik), berada dalam konteks yang spesifik. Artinya bahwa ketika komponis mengeluarkan ide, akan dipengaruhi oleh konteks tertentu, seperti yang telah disebutkan di atas, bisa dilihat dari tujuannya, para pendengarnya, tempatnya atau waktunya.

Contoh kasus, ketika seorang komponis menciptakan karya musik dari alat musik tifa. Untuk membunyikan tifa tersebut, dipukul sesuai dengan norma tertentu, tetapi si komponis membunyikannya dengan cara digesek dan dipukul dengan batu bahkan digelindingkan bak sebuah ban yang akan diangkut ke dalam truk. Tentu saja apa yang dilakukan si komponis merupakan hal yang gila bukan? Tentu saja tidak, apabila dikaitkan dengan konteks yang telah dijelaskan tadi. Artinya si komponis mempunyai tujuan, mengetahui siapa pendengarnya atau audiensnya, mengetahui dimana tempat dan waktunya.


Musik Sebagai Pembebasan

Tahun 1968 banyak disebut sebagai tahun kelahiran musik reggae. Sebenarnya tidak ada kejadian khusus yang menjadi penanda awal muasalnya, kecuali peralihan selera musik masyarakat Jamaika dari Ska dan Rocsteady, yang sempat populer di kalangan muda pada paruh awal hingga akhir tahun 1960-an, pada irama musik baru yang bertempo lebih lambat : reggae. Boleh jadi hingar bingar dan tempo cepat Ska dan Rocksteady kurang mengena dengan kondisi sosial dan ekonomi di Jamaika yang sedang penuh tekanan.

Kata “reggae” diduga berasal dari pengucapan dalam logat Afrika dari kata “ragged” (gerak kagok–seperti hentak badan pada orang yang menari dengan iringan musik ska atau reggae). Irama musik reggae sendiri dipengaruhi elemen musik R&B yang lahir di New Orleans, Soul, Rock, ritmik Afro-Caribean (Calypso, Merengue, Rhumba) dan musik rakyat Jamaika yang disebut Mento, yang kaya dengan irama Afrika. Irama musik yang banyak dianggap menjadi pendahulu reggae adalah Ska dan Rocksteady, bentuk interpretasi musikal R&B yang berkembang di Jamaika yang sarat dengan pengaruh musik Afro-Amerika. Secara teknis dan musikal banyak eksplorasi yang dilakukan musisi Ska, diantaranya cara mengocok gitar secara terbalik (up-strokes), memberi tekanan nada pada nada lemah (syncopated) dan ketukan drum multi-ritmik yang kompleks.

Teknik para musisi Ska dan Rocsteady dalam memainkan alat musik, banyak ditirukan oleh musisi reggae. Namun tempo musiknya jauh lebih lambat dengan dentum bas dan rhythm guitar lebih menonjol. Karakter vokal biasanya berat dengan pola lagu seperti pepujian (chant), yang dipengaruhi pula irama tetabuhan, cara menyanyi dan mistik dari Rastafari. Tempo musik yang lebih lambat, pada saatnya mendukung penyampaian pesan melalui lirik lagu yang terkait dengan tradisi religi Rastafari dan permasalahan sosial politik humanistik dan universal.

Perlawanan Budaya. Jika merujuk pada seorang penyanyi beraliran musik reggae asal Jamaika, dengan ciri khas dandanan dan rambut kimbalnya, Bob Marley telah berkesenian sesuai dengan kehendak hatinya. Menyuarakan kaum tertindas dalam lagunya tanpa memikirkan kepentingan pasar dan niat untuk membentuk organisasi perlawanan terhadap sistem yang berkuasa. Begitu juga di Papua, perlawanan terhadap fenomena sosial dan rezim yang berkuasa juga ditunjukan oleh Black Brothers era 1970an hingga 1980an. Dalam lagu-lagunya yang banyak mengangkat tema kritik sosial adalah: Hari Kiamat, Derita Tiada Akhir, Ammapondo, Tiada Senyum di Akhir Senja, Hilang, Kr. Kenangan, Wainapire, Musik Masa Kini, Kr. Gunung Sicloop dan masih banyak lagu lain yang bermotif perjuangan.

Black Brothers termasuk kategori group band termahal di Indonesia pada masa itu bersama Panbers dan Koes Plus. Namun Black Brothers melarikan diri ke Papua Nugini, Vanuatu, Australia dan Belanda karena diduga membantu OPM untuk perjuangan Papua merdeka. Pada kenyataannya yang Black Brothers lakukan hal adalah sama dengan yang dilakukan oleh Bob Marley. Yaitu sama-sama berjuang dan melakukan perlawanan sosial lewat karya seni, khususnya lewat lagu yang mereka ciptakan. Mereka menyuarakan apa yang menjadi kehendak hatinya dan tanpa adanya permintaan pasar. Tapi perjuangan yang mereka suarakan hanya lewat karyanya saja, tanpa bermaksud untuk memobilisasi ide dari perjuangannya dengan membentuk organisasi sosial. Alasan yang sering diutarakan seniman dalam berjuang, untuk tidak membentuk organisasi sosial adalah agar menjaga kemurnian kesenian itu, meski tema-tema yang diangkatnya bermuatan politis. Seniman seperti ini tidak memiliki niatan membentuk organisasi perlawanan untuk menolong kaum tertindas yang sering disuarakan lewat lagunya. Mereka tetap konsisten berjuang hanya melalui jalur kesenian dan karya-karyanya yang kritis terhadap rezim berkuasa. Perjuangan untuk membebaskan rakyat jelata dari penindasan, memang tak dapat dilakukan secara individu tetapi haruslah secara terorganisir dan kontinu.

Karya Seni yang hanya menjadi instrumen hegemoni dari budaya global membuat ilusi-ilusi dan fantasi dimana kemudian secara tidak disadari membuat penikmat lupa terhadap realitas sosial disekitarnya. Yang lebih parah lagi adalah implikasinya terhadap kaum tertindas; dimana disaat mereka seharusnya sedang berpikir dan mengusahakan terwujudnya suatu perubahan menuju keadaan yang lebih baik, seniman-budayawan malah terlena dalam suasana mabuk keharuan, cinta, kasih sayang, dan kondisi melankolis. Seni sebagai konsep perlawanan adalah subordinat dari sebuah perlawanan budaya (counter cultur). Konsuekensinya karya seni tersebut akan terpinggirkan meski mungkin cuma sementara dan akan menghadapi penolakan secara reaksioner dari masyarakat. Karya seperti ini juga memiliki risiko "dijinakkan" oleh hegemoni sistem yang ada dengan mengubahnya menjadi sekedar konsep alternatif yang kemudian bakal menjadi mainstream kesenian. Dalam konteks gerakan perubahan, seni adalah sebuah media sekaligus alternatif perlawanan. Meski begitu seni tidak dapat lepas sebagai sebuah bentuk perlawanan budaya (counter culture) tersendiri. Karya seni perlawanan dapat mengartikulasikan secara sekaligus hasrat ekspresi seniman dengan tanpa menegasikan idealisme dan potensi revolusioner-nya.

Pertanyaannya sekarang bagi kita seniman dan budayawan yang tergerak untuk melawan penindasan budaya yang sepakat untuk memperjuangkan hak mereka agar dapat memiliki kesempatan mengembangkan budaya sendiri maka organisasi sebagai alat perjuangan kepentingan adalah kebutuhan mendesak yang harus segera dibentuk. Tugas yang juga mendesak adalah membuka kesadaran seniman sendiri yang masih banyak menganggap bahwa kondisi ini tidak ada hubungannya dengan sistem ekonomi yang diterapkan oleh negara Indonesia. Dengan menganalisa basis struktur yang terjadi di masyarakat tentunya seniman dapat melihat unsur ketertindasan mereka sehingga mereka lebih sedikit mendapat kesempatan untuk tampil dan mendapat pengakuan masyarakat.

Bagi penyanyi dalam sebuah kelompok, musik memberikan suatu komunikasi yang intim dan emosional antara pemimpin dan anggota kelompok secara individu dan antara anggota itu sendiri yang terjadi bahkan ketika hubungan antarpribadi terbatas atau/dan pecah. Musik dapat mempersatukan suatu kelompok yang beraneka ragam menjadi suatu unit yang fungsional. Fungsi musik sebagai ungkapan perhatian dapat dilihat dalam hal musik dialami sebagai suatu pemberian dari orang-orang yang kelihatannya tidak memilki apa-apa.

Black Brothers yang pernah berkiprah di Indonesia era 1970-an tidak akan muncul lagi dipanggung seni , namun semuanya itu kenagan yang ditinggalkan. Kapan Black Brothers Junior akan muncul ke permukaan…..? (sebuah impian yang belum pernah terjawab, hanya ilusi belaka)….semoga…!!!(Dari berbagai sumber)

BPR Irian Sentosa Buka Cabang di Nabire

JAYAPURA (PAPOS)- Guna memperluas pelayanan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Irian Sentosa akan membuka cabang di kabupaten Nabire sdebagai upaya medekatkan diri kepada nasabah di daerah Papua. BPR Irian Sentosa cabang Nabire merupakan cabang ke lima di seluruh Papua yang akan beroperasi mulai Januari 2009. ,

General Manager Kredit Bisnis BPR Irian Sentosa, Arif Windarto mejelaskan, melihat perkembangan ekonomi di Papua yang semakin pesat, sudah saatnya BPR mengembangkan diri ke daerah-daerah guna menjangkau masyarakat yang ada di daerah tersebut.

Dalam waktu dekat ini BPR Irian Sentosa akan membuka cabang di Nabire dimana sejauh ini persiapan sudah dilakukan, termasuk Ijin dari Bank Indonesia sudah ditanggapi atau disetujui.

“ Kami merencanakan Desember ini sudah dapat diresmikan, namun karena banyak pertimbangan dan ada beberapa persyaratan lagi yang harus dilengkapi akhirnya pihak kami memutuskan awal tahun 2009 harus sudah bisa beroprasi,” katanya.

Lebih jauh dia mengatakan, hadirnya BPR Irian Sentosa di Nabire akan memberilan kemudahan kepada masyarakat untuk mengembangkan usahanya, apa lagi proses peminjaman di BPR Irian Sentosa tidaklah begitu rumit dan sulit,jelasnya kepada Papua Pos saat ditemui diruang kerjanya Kamis (18/12/2008) tahun lalu.

Dijelaskan, Sampai saat ini BPR Irian Sentosa memiliki Kantor cabang induk di Jayapura dan memiliki kantor cabang pembantu di Sentani, Timika, Merauke dan Biak kemudian cabang baru di Nabire.

Memilih Nabire menjadi pengembangan ke-V karena sampai sejauh ini banyak yang melaksanakan kredit mayoritas pengusaha kecil, pensiunan PNS dan para petani. Kabupatehn Nabire merupakan salah satu lokasi pertanian di Papua, dimana dalam pengembangan usaha pertanian tentunya membutuhkan dana. Untuk itu BPR Irian Sentosa hadir dalam rangka menyambut kesulitan yang dialami para petani tersebut.

Masih menurut Arif Widarto, Saat ini jumlah nasabah BPR Irian Sentosa di Jayapura sudah mencapai 7.000 nasabah dan produk simpanannya ukani Kredit Usaha Kerja dan Kredit Konsumtif.

Dikatakan persyaratan permohonan kredit bisa terkabulkan. Jumlah kredit yang bisa di berikan BPR Irian Sentosa minumal berkisar Rp.2 juta hingga Rp.200 juta dan pengembalian kredit wajib dibayar setiap bulannya oleh nasabah. Sedangkan untuk suku bunga pihak BPR Irian Sentosa menetapkan suku pengkreditan rakyat menggunakan sistem flat terendah berkisar 1,6 persen dan tinggi mencapai 2 persen. (dhany)

sumber:http://www.papuapos.com

Pendidikan di Paniai Lumpuh

TEMPO Interaktif, Paniai: Proses belajar mengajar di Kabupaten Paniai, Papua, sudah tiga minggu lumpuh lantaran ratusan guru di pegunungan tengah Papua itu sejak awal Oktober tahun lalu melancarkan aksi mogok mengajar.

Akibatnya, ribuan pelajar taman kanak-kanan (TK) hingga sekolah menengah atas (SMA) tidak bersekolah selama tiga minggu lebih. Sebagian pelajar memanfaatkan 'libur' ini dengan pergi ke Nabire atau kota lain di luar Paniai. Padahal dalam waktu dekat para pelajar sekolah dasar (SD) dan SMA harus menghadapi ujian tengah semester.

Menurut Yoseph Paidjo, guru sekolah dasar Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik di Enarotali, Paniai, semua guru dari tingkat TK hingga SMA tidak mau mengajar karena banyak persoalan pendidikan di Kabupaten Paniai yang terus dibiarkan.


"Persoalannya banyak, terutama masalah keuangan yang tidak transparan dan dana-dana ini tidak disalurkan kepada guru yang berhak menerima," kata Yoseph, guru yang mengajar di Paniai sejak 1970 an ini, Rabu (22/10/08).

Menurut Yoseph, selama tuntutan para guru tidak dipenuhi, aksi mogok akan terus dilakukan. Hingga Rabu siang, Yoseph mengaku belum ada respon dari dinas pendidikan Paniai dan juga pemerintah daerah Paniai.

Menurut Yolanda (nama samaran), guru yang mengajar di sebuah sekolah swasta di Enarotali, aksi mogok mulai dilaksanakan sejak 7 Oktober 2008. "Ada empat hal yang dituntut PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), termasuk penggantian sejumlah pejabat dinas pendidikan Paniai," kata Yolanda, Rabu.

Yolanda juga mengakui soal keuangan di sektor pendidikan yang tidak transparan. Terutama dana kesejahteraan guru dan uang lauk pauk. "Memang dana-dana ini dibayar, tetapi selalu dipotong sampai ratusan ribu," kata Yolanda.

Sejak aksi mogok ini, kata Yolanda, ia sering menyuruh pulang sejumlah pelajar yang setiap pagi masih datang ke sekolahnya. "Beberapa anak (pelajar) yang datang setiap pagi saya suruh pulang," kata Yolanda.

Menurut seorang Pastor Paroki di Jayapura, Pastor Nelles, Rabu siang, situasi pendidikan di Paniai ini menunjukkan bahwa guru-guru yang mengajar di wilayah pedalaman pegunungan tengah ini sudah tidak tahan lagi.

"Kondisi ini sekaligus menunjukkan pemerintah tidak tanggap dengan situasi pendidikan yang memprihatinkan dan dihadapi oleh guru-guru putra daerah, pelajar putra daerah, dan pemerintahan yang juga putra daerah juga," kata Pastor Nelles.

Menurut Pastor Nelles, tuntutan para guru sebenarnya tidak berlebihan. "Mereka hanya menuntut hak hidup mereka diperhatikan oleh dinas dan pemerintah daerah," kata Pastor Nelles.

Hingga Rabu siang Bupati Paniai, Naftali Yogi tidak dapat dihubungi. Humas pemda Paniai, Dance Takimai dan pejabat dinas Pendidikan Paniai juga tidak dapat dimintai konfirmasi.

Tjahjono Ep sumber
http://www.tempointeraktif.com

Papua Digelontor Rp 19 Triliun

Pada Tgl 8/1/'09, DIPA TA 2009 Diserahkan
JAYAPURA-Pada tahun ini, Pemerintah Provinsi Papua digelontor dana Rp 19 triliun lebih dari pemerintah pusat, sebagaimana dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2009.

Terkait hal ini, Kamis (8/1/09) lalu telah dilakukan penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2009 di Sasana Krida Kantor Gubernur Papua. Hadir acara ini, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Drs. Agus Alue Alua,M.Th, Ketua DPRP, Drs. John Ibo,MM, para unsur Muspida, para bupati/walikota, para kepala satuan kerja instansi vertikal dan otonom di Provinsi Papua.


Setelah pembacaan laporan dari Kepala Kantor Wilayah XXX Direktorat Jenderal Perbendaharaan Jayapura, R. Prajono Soewongso, dilanjutkan dengan penyerahan DIPA secara simbolis oleh Gubernur Papua Barnabas Suebu SH kepada 10 satuan kerja, baik satuan kerja vertikal maupun kepada instansi otonom di Provinsi Papua.

Penyerahan secara simbolis itu antara lain kepada Kodam XVII Cenderawasih, Polda Papua, Dinas Pendidikan dan Pengajaran, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Kesehatan, Perwakilan BPKP Papua, Dinas Perhubungan, Dinas Sosial dan Kanwil Hukum dan HAM.

Gubernur Papua, Barnabas Suebu, SH dalam sambutannya pada acara penyarahan DIPA 2009 itu antara lain mengatakan, pada 5 Januari 2009 lalu, pihaknya bersama-sama dengan semua gubernur dan para menteri, telah menerima DIPA Tahun Anggaran 2009 langsung dari Presiden RI di Istana Negara.

"Di dalam arahannya Bapak Presiden memerintahkan agar DIPA Tahun Anggaran 2009 segera diserahkan kepada seluruh satuan kerja agar pelaksanaan anggaran dapat segera dimulai pada awal tahun anggaran ini. Itu sebabnya, penyerahan DIPA yang saya lakukan pada hari ini sekaligus merupakan tanda dimulainya secara resmi pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2009 secara resmi di Provinsi Papua," ucapnya.

Dikatakan, pemerintah sangat menyadari bahwa faktor ketepatan waktu penyerahan DIPA sangat penting agar tidak ada alasan bagi siapa saja untuk tidak dapat menjalankan dan menyelesaikan program pembangunan yang telah direncanakan dengan baik dan matang pada tahun anggaran itu juga. "Selain itu, penyerahan DIPA oleh semua gubernur di seluruh Indonesia serentak pada hari ini juga merupakan simbol dari tanggung jawab dan komitmen seluruh jajaran pemerintah se-tanah air Indonesia untuk mengelola anggaran tahun 2009 secara akuntabel, berorientasi pada hasil, profesional, proporsional, dan terbuka atau transparan," paparnya.

"Ketika menyerahkan DIPA beberapa hari lalu, Bapak Presiden menjelaskan pokok-pokok isi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang APBN Tahun Anggaran 2009, yang intinya adalah sebagai berikut: Total APBN tahun 2009 berjumlah Rp 1.037,1 triliun. Tahun anggaran 2009 adalah tahun pertama sepanjang sejarah pemerintahan di Republik Indonesia di mana APBN melampaui angka 1.000 (seribu) triliun," katanya.

Adapun rincian APBN 2009 adalah sebagai berikut: Anggaran Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp 716,4 triliun. Anggaran Transfer untuk Daerah berjumlah Rp 320,7 triliun. Dari total Anggaran Belanja Pemerintah Pusat, dialokasikan untuk Belanja Pegawai sebesar Rp 143,6 triliun; Belanja Barang sebesar Rp 77,7 triliun; Belanja Modal sebesar Rp 93,8 triliun; Bantuan Sosial sebesar Rp 67,8 triliun; dan Pembayaran Bunga Utang, Subsidi dan Belanja Lain-Lain sebesar Rp 333,5 triliun.

"Amanat Undang Undang Dasar tentang anggaran pendidikan sebesar 20% dari seluruh APBN telah berhasil dipenuhi mulai tahun anggaran 2009 ini. Jumlah anggaran untuk pendidikan sebesar Rp 207,4 triliun yang disalurkan melalui Departemen Pendidikan Nasional sebesar Rp 61,5 triliun, Departemen Agama sebesar Rp 23,4 triliun, Kementerian Negara/Lembaga lainnya sebesar Rp 3,0 triliun, Bagian Anggaran 69 sebesar Rp 1,7 triliun, dan melalui Transfer ke Daerah sebesar Rp 117,8 triliun," ungkapnya.

Dikatakan, pada skala nasional, Lembaga Pemerintahan yang tahun ini juga memperoleh alokasi anggaran yang cukup besar adalah Departemen Pertahanan sebesar Rp 33,7 triliun; Departemen Pekerjaan Umum sebesar Rp 34,9 triliun; Kepolisian Negara sebesar Rp 24,8 triliun, Departemen Kesehatan sebesar Rp 20,2 triliun, dan Departemen Perhubungan sebesar Rp 16,9 triliun.

"Penyusunan APBN Tahun 2009 dilakukan dengan perencanaan yang matang dan target yang terukur. Hal ini merupukan perwujudan dari keinginan kuat Pemerintah untuk melaksanakan pembangunan yang lebih baik di seluruh tanah air. Pemerintah dengan sungguh-sungguh memperhatikan kondisi fiskal di daerah. Oleh sebab itulah, secara nasional terjadi peningkatan dalam hal alokasi dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan penyesuaian pada tahun anggaran ini. Total dana perimbangan mencapai Rp 296,9 triliun, dana otonomi khusus sebesar Rp 8,8 triliun, dan dana penyesuaian sebesar Rp 14,9 triliun," terangnya.

Gubernur menjelaskan, Dana Perimbangan sebesar Rp 296,9 triliun tersebut terdiri dari: Dana Bagi Hasil sebesar Rp 85,7 triliun; Dana Alokasi Umum sebesar Rp 186,4 triliun, dan Dana Alokasi Khusus sebesar Rp 24,8 triliun.
"Dalam pada itu, Pemerintah juga menyadari tentang pentingnya upaya untuk terus mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan kesenjangan fiskal antar daerah. Oleh karena itu, sebagaimana penegasan Presiden, Pemerintah akan mengalihkan secara bertahap sebagian anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk mendanai kegiatan yang sudah menjadi urusan daerah ke dalam Dana Alokasi Khusus (DAK)," jelasnya.

Menurutnya, total Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus Papua, dan Dana Infrastruktur Otsus Papua yang dialokasikan dari APBN 2009 bagi Provinsi dan Kabupaten/kota se-Provinsi Papua adalah Rp 19.058.322.297.700, dengan rincian sebagai berikut: DAU Provinsi Papua adalah sebesar Rp 1.058.227.764.000; dan DAU Kabupaten/Kota Se-Provinsi Papua berjumlah Rp 8.066.776.439.900, DAK Provinsi Papua sebesar Rp 81.273.000.000; dan DAK Kabupaten/Kota Se-Provinisi Papua berjumlah Rp 1.523.732.000.000. Dana Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebesar Rp 2.609.797.400.000 dan Dana Infrastruktur Otonomi Khusus Papua sebesar Rp 800.000.000

"Selain pengalokasian dana ke Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se Papua yang dikelola dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dialokasikan pula Dana dari APBN untuk Satuan Kerja Pusat dan Daerah, Satuan Kerja Dekonsentrasi, dan Satuan Kerja Tugas Pembantuan yang berada di Propinsi Papua adalah sebesar Rp 4,918 triliun," sambungnya.

Dijelaskan, Lembaga Pemerintahan Pusat yang memperoleh alokasi anggaran yang cukup besar untuk pekerjaan di Provinsi Papua pada tahun anggaran 2009 adalah: Departemen Pekerjaan Umum sebesar Rp 0,978 triliun; Departemen Pendidikan Nasional, sebesar Rp 0,781 triliun; Departemen Pertahanan, sebesar Rp 0,628 triliun; Kepolisian Negara RI sebesar Rp 0,514 triliun; Departemen Dalam Negeri sebesar Rp 0,224 triliun, dan Departemen Perhubungan sebesar Rp 0,070 triliun. Lebih lengkap tentang sambutan gubernur ini, anda bisa membacanya di halaman 3 (fud).

Sumber http://www.cenderawasihpost.com