Pages

Subscribe:

Minggu, 18 Januari 2009

DIANTARA TUNTUTAN ERA-GLOBALISASI

Masih Adakah Bayang-Bayang Hukum Adat Suku Mee

Oleh Dominikus Douw


Segala sesuatu berdiri kokoh, pasti ada dasar yang kuat. Tulisan dari sudari Yohana H. M. Goo siswi, SMA YPPK Adhi Luhur Nabire, kelas XI (saat itu) dalam edisi X Mei – Juli 2007 dengan topik Membangun Sebuah Daerah Perlu Dasar (Kebudayaan), menginspirasikan saya untuk menulis eksistensi hukum adat suku mee di wilayah hukum adat Paniai.

Sekilas geografis bahwa, masyarakat adat suku mee mendiami wilayah hukum adat Paniai, yang terletak di pegunungan tengah Papua Barat, bagian barat yang mencakup wilayah Mapia/Mapiha, Kamuu, Tigi dan Paniai. Dari keempat wilayah hukum adat tersebut, memiliki ciri-ciri khas dalam kehidupan sehari-hari yang sedikit berbeda namun perbedaan tersebut tidak mencolok.


KILAS BALIK HINGGA KINI
Sejak dahulu kala hingga pada awal tahun 1980-an, masyarakat adat suku mee menjalani kehidupan di bumi Papua Barat berdasarkan hukum adat suku mee sendiri. Namun akibat dari hasil PEPERA yang dilakukan (secara sepihak) pada bulan Mei 1969 maka kekentalan dari hukum adat suku mee itu mulai memudar. Sebagai bukti ada beberapa contoh yang dapat kita lihat bahwa, Mege sebagai alat pembayaran saat itu berganti menjadi menjadi uang, Yuwo (pesta babi) yang biasanya dilakukan oleh hampir setiap setiap wilayah adat suku mee, mulai memudar dan kini tidak nampak lagi acara-acara tersebut dilakukan. Selain itu, dengan diterapkannya UU No. 5 tahun 1979, maka sistim pemerintahan tonawi dirubah menjadi sistim pemerintahan Desa (yang sangat berbeda dengan hukum adat setempat).

Selain contoh diatas, satu hal terpenting yang kini eksistensinya mulai hilang, bahkan dapat dikatakan sudah hilang yaitu Touye-mana/Tota-mana yang dahulunya dianggap sebagai Dasar-Dasar Kehidupan dari masyarakat adat suku mee, kini sudah tidak berlaku lagi.

Pada era-globalisasi ini masyarakat adat suku mee, dihadapkan dengan berbagai macam tuntutan, termasuk pemekaran kabupaten Dogiyai maupun kabupaten Deiyai seiring dikeluarkanya UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (para elit) yang kini mulai marak diperbincangkan ditengah masyarakat adat suku mee. Bila Touye-mana/Tota-mana yang dianggap sebagai dasar-dasar kehidupan bagi masyarakat adat suku mee tersebut tidak dipertahankan, maka dimanakah dasar pijakan kaki bagi masyarakat adat suku mee untuk menerima semua tuntutan itu? Dan akibat dari ketidak-siapan, kini mulai terdengar bahwa, Tanah yang menurut filosofi masyarakat adat suku mee menganggapnya sebagai ibu. Tanah yang dianggap sebagai pemberi kehidupan bagi masyarakat adat suku Mee itu sendiri, kini mulai dijual.

Dengan melihat semua realita ini, maka dapat dikatakan bahwa dasar pijakan bagi masyarakat adat suku mee untuk beradaptasi dengan berbagai tuntutan pada jaman era-globalisasi, termasuk pemekaran kabupaten Dogiyai maupun kabupaten Deiyai, untuk sementara ini belum siap untuk menerima semua itu, namun semuanya itu sudah terjadi. Lantas hal apakah yang harus diperbuat oleh generasi kita, untuk menyelamatkan semua itu?. Apakah keadaan ini kita biarkan berlarut-larut?. Semua kembali kepada diri/pribadi kita sebagai orang mee khususnya, dan juga sebagai orang Papua pada umumnya.

Diawal tulisan telah dikatakan bahwa segala sesuatu dapat berdiri kuat apabila ada dasar yang kuat. Maka dapat dikatakan bahwa hukum adat suku mee (Touye-mana/Toya mana) yang merupakan dasar-dasar kehidupan masa kini dan masa yang akan datang bagi masyarakat adat suku mee itu sendiri, untuk mempertahankan ke-mee-an sebagai salah satu anggota dari seluruh masyarakat adat di Papua khususnya dan pada umumnya di muka bumi ini.

Oleh karena itu, Pihak yang bertanggung jawab dan yang sangat berperan penting dalam menjawab problema ini, diantaranya mahasiswa sebagai kaum intelek dan yang terutama adalah pemerintah daerah sebagai pihak pemegang kekuasaan, sehingga kedua pihak tersebut diharapkan sadar akan hal ini. Sebagai seorang intelek diharapkan dapat memberikan pengertian atau pemahaman kepada masyarakat adat suku mee bahwa untuk menerima semua tuntutan era-globalisasi ini, perlu dasar yang kuat. Dan kepada pemerintah diharapkan supaya sebelum menerapakan semua tuntutan era-globalisasi ini (termasuk pemekaran), dapat memperkuat dasar-dasar kehidupan (Tota-mana/Touye-mana) dengan berbagai cara, kepada masyarakat adat suku mee karena tanpa sebuah dasar maka apalah artinya bila semua tuntutan diera-globalisasi ini diterapkan di masyarakat adat suku mee, disaat masyarakat adat suku mee itu sendiri belum siap untuk menerima semua tuntutan tersebut.

Dalam hal ini saya lebih setuju jika pemerintah daerah menerapkan sistim pemerintahan berdemokrasi kesukuan yang ditawarkan oleh Sem Karoba Dkk dalam tulisan mereka yang berjudul Demokrasi Kesukuan: Gagasan Sistim Pemerintahan Masyarakat Adat di era-globalisasi. Karena dalam sistim demokrasi kesukuan ini, Pertama-tama mengakui, memajukan dan menegakkan hukum alam dan hukum adat lalu juga mengakomodasi hukum universal (Karoba Sem, Dkk. 110).
Dengan demikian, saya yakin dan percaya bahwa seratus tahun bahkan seribu tahun kedepan, eksistensi ke-Mee-an akan tetap terpelihara dan masih akan disebut sebagai salah satu anggota suku dari semua suku yang ada di Papua khususnya, dan di planet bumi ini pada umumnya.

Mahasiswa Jurusan Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

0 komentar:

Posting Komentar