Pages

Subscribe:

Sabtu, 03 April 2010

KEMASAN IDE-IDE ANAK NEGERI UNTUK PILKADA DOGIYAI

Oleh Mateus Ch. Auwe

Kabupaten Dogiyai secara resmi dimekarkan dari kabupaten induk Nabire dengan nomor 8 tahun 2008 tentang pembentukan kabupaten Dogiyai di Provinsi Papua. Pastinya pemekaran ini bertujuan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat Dogiyai. Walau demikian disaat pemekaran dalam proses banyak terjadi pro dan kontra antara masyarakat dengan dengan masyarakat maupun kaum itelektual dan lain sebagainya. Pada tanggal 28 Juni 2008 kabupaten Dogiyai secara resmi di mekarkan oleh menteri dalam negeri Mardianto atas nama presiden republik Indonesia di Nabire.

Setelah dua tahun lamanya roda pemerintahan berjalan dengan status karateker, kini saatnya kabupaten ini sedang bersiap-siap untuk melakukan pemilihan kepala daerah (pilkada). Untuk merebut kursi nomor satu di kabupaten tersebut dengan berbagai macam cara.

Tim Seleksi KPUD dan KPUD
Melihat pilkada di kabupaten Dogiyai sebagai awal, maka diharap tim seleksi terpilih yang terbentuk berdasarkan SK, nomor I tahun 2010 tentang pembentukan KPUD Dogiyai, yang di keluarkan DPRD Dogiyai bulan februari 2010 lalu, agar merekrut anggota KPU dengan professional. Calon KPU yang akan mendaftar setidaknya harus memenuhi kriteria seleksi KPU yang telah ditetapkan secara nasional. Dalam proses seleksi, tim seleksi harus proaktif dalam melihat latar belakang berorganisasi calon KPU, intelektual serta memunyai kepekaan dalam memecahkan suatu masalah. Sehingga diharapkan nantinya KPU yang akan terpilih bisa bekerja secara professional. Sifat menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meski dibatasi masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam pemilu, bebas dari pengaruh pihak manapun.

Dalam pilkada KPU bukanlah penentu kemenangan, namun KPU hanya penyelenggara pilkada dan rakyatlah yang menentukan kemenangan atas pesta demokrasi itu. Sebagai penyelenggara Pilkada, KPU tetap berpegang pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, tanpa dipengaruhi atau diatur politikus tertentu untuk kepentingan sesaat dengan mengorbankan rakyat.

Pilkada: Menentukan Kehidupan Masyarakat Dogiyai 5 Tahun Ke Depan


Dengan pilkada, diharapkan dapat dicapai akuntabilitas kepala daerah dan terciptanya pelayanan publik yang lebih baik. Good governance akan lebih cepat terwujud karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Pilkada merupakan bagian yang sangat penting agar dapat menjadikan transisi demokrasi sampai pada tujuan, yaitu demokrasi yang terkonsolidasi. Jika melihat pengalaman pilkada yang terjadi di daerah lain, Apakah politisi telah menerapkan cara-cara yang baik dalam meraih kekuasaan? Apakah mereka menahan diri untuk tidak melakukan money politics?
Apakah mereka menghindari perilaku curang?

Tampaknya harapan untuk terciptanya demokrasi yang terkonsolidasi, akuntabilitas kepala daerah, pelayanan publik yang lebih baik, dan good governance masih jauh dari semuanya itu. Pilkada yang telah berlangsung terlihat amat kental dengan money politics. Para politisi terlihat dekat dengan cara-cara kotor tersebut.

Dalam pilkada, yang sering terjadi para pemilik uang (kapitalis) menempatkan sumbangan untuk kampanye sebagai investasi yang nantinya akan memperoleh imbalan (Djani, 2004: 24). Maka tidak mengherankan jika berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan terpilih adalah untuk memenuhi kepentingan politik tersebut. Jangan heran jika para kepala daerah yang merupakan produk pilkada yang penuh persekongkolan penguasa dan pengusaha ini akan dengan ganas menghisap segala sumber daya yang ada di daerahnya untuk digunakan sebagai bayar utang kepada para kroni. Mereka akan membiarkan pembalakan hutan, perusahaan, dan perilaku jahat lainnya. Pendeknya, mereka tidak akan segan-segan mengorbankan kepentingan rakyat untuk memenuhi pemberian imbalan.

Jika saya memakai istilah Immanuel Kant , para politisi kita lebih terlihat sebagai moralis politis daripada politisi moralis. Kant (1980: 37) mengatakan bahwa moralis politis adalah “one who forges a morality in such a way that it conforms to the statesman’s advantage”. Politisi yang bermental moralis politis ini selalu mereka-reka moralitas sedemikian rupa sehingga sesuai bagi keuntungan dirinya. Moralis politis ini melihat politik sebagai persoalan teknis, bagaimana mencapai kekuasaan dengan segala cara, menghalalkan segala cara. Sedangkan politisi moralis adalah politisi yang senantiasa memilih prinsip-prinsip kecerdikan bernegara sedemikian rupa sehingga sejalan dengan prinsip-prinsip moral. Kant (1980:37) mengatakan ”one who so chooses political principles that they are consistent with those of morality”. Politisi moralis melihat politik sebagai persoalan etis. Jadi, seorang politisi moralis tetap harus cerdik dalam melihat peluang politik, namun dia harus punya intensi moral.

Sayang, para pelaku politik yang berlaga di pilkada adalah para moralis politis yang dalam melakukan langkah-langkah politiknya tidak lagi mengindahkan moral. Mereka bahkan mempermainkan nilai-nilai moral untuk keuntungan pribadinya. Bagi-bagi uang dan sembako menjelang pemilihan mereka katakan sebagai peduli pada orang miskin.

Konflik Dalam Pilkada

Konflik saat pilkada sudah menjadi kebiasaan dalam pertarungan merebut kursi empuk itu. Di dalam pilkada, jarak antara pasangan calon dengan pendukungnya sangat dekat. Demikian juga jarak antara pendukung satu dengan lainnya. Konsekuensinya, emosi mereka menjadi lebih kuat dan karenanya lebih sulit dikendalikan jika masing-masing berusaha memaksakan diri sebagai pemenang alias tidak mau mengalah.

Salah satu penyebab konflik dapat berkembang menjadi anarkis adalah jabatan kepala daerah sebagai pimpinan birokrasi di daerah menjanjikan keuntungan ekonomi dan politik yang besar bagi mereka yang memenangi kontes pilkada. Institusi birokrasi selama ini dipandang sebagai tempat amat strategis bagi para kepala daerah untuk membangun konsesi ekonomi-politik dan praktik-praktik KKN bernilai uang cukup besar bagi para aparatur daerah. Maka, tidak mengherankan apabila momentum pilkada disambut antusias para politisi, dengan para donatur di belakangnya yang berani mempertaruhkan jumlah uang cukup besar untuk memenangi pilkada. Ketika tidak terpilih, tidak mengherankan mereka akan mendorong massa pendukungnya melakukan protes yang menyulut konflik

Peran Mahasiswa dalam Pilkada, Perlukah?

Bagaimanapun juga, mahasiswa memiliki peran penting dalam mengawal proses demokrasi Pilkada. Paling tidak, terdapat beberapa alasan mendasar pentingnya peran mahasiswa dalam proses Pilkada. Pertama, sistem pemilihan Kepala Daerah sebagaimana di atur dalam UU 32/2004. Dalam konteks ini, mahasiswa memiliki peran penting untuk mengawasi kinerja KPUD. Baik dari tahap persiapan maupun tahap pelaksanaan Pilkada.

Melalui Pilkada diharapkan dapat melahirkan Kepala Daerah dan WakilKepala Daerah baik, profesional, aspiratif dengan sebuah proses yang demokratis, jujur dan adil. Pilkada sangat ditentukan oleh performance KPUD sebagai institusi penyelenggara. Bila proses pilkada dinodai dengan berbagai macam suap, kolusi dan berbagai macam cara yang melibatkan KPUD dan mempengaruhi indepedennya, akan melahirkan pemerintahan daerah yang koruptif.

Sangat penting bagi mahasiswa untuk meneliti dan menelusuri lebih jauh track record para calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bila perlu mahasiswa dapat melakukan kampanye terbuka kepada masyarakat untuk tidak memilih para calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dinilai oleh mahasiswa sebagai kandidat yang “busuk”. Lebih jauh lagi, mahasiswa dapat membuat berbagai kriteria calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah versi mahasiswa. Setidaknya, ini merupakan peran nyata mahasiswa di daerah untuk memberikan penyadaran akan pentingnya seorang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang aspiratif, profesional, bebas dari ‘KKN’ dan dipilih dalam suasana yang lebih demokratis.

Terpenting bagi Masyarakat…..

Setiap masyarakat berkewajiban melakukan publikasi jejak rekam para kontestan pilkada serta mencermati cara kampanye mereka. Lihat saja cara seorang calon kepala daerah berkampanye, jika menghalalkan segala cara, dapat dipastikan orang tersebut hanya mengejar kepentingan pribadi berupa kekuasaan dan kekayaan. Dengan publikasi rinci setiap figur calon kepala daerah, masyarakat dapat menentukan pemimpin yang tidak memiliki hati nurani bagi masyarakat sipil.

Terciptanya masyarakat sipil bukanlah mimpi yang kian pudar, melainkan sesuatu yang real. Realitasnya terletak pada pengejarannya. Meskipun tujuannya belum tercapai, kita tidak pernah mimpi karena dalam pengejaran ada sesuatu yang real. Terlepas dari alternatif evolusi atau revolusi yang dipilih dalam pengejaran itu, dengan mengupayakan terciptanya tatanan masyarakat sipil, berarti kita telah merealitaskan sesuatu yang sebelumnya tidak real.

==== Semoga ====

Mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Teknologi Yogyakarta/
Ketua, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Dogiyai (IPMADO) Se-Jawa dan Bali