Pages

Subscribe:

Kamis, 19 Februari 2009

Sekilas Dogiyai Dalam Pembangunan


Dogiyai – Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun adalah satuan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru di Indonesia. Berbagai program pembangunan dicanangkan melalui program pembangunan jangka panjang (PJP) I dan PJP II (lampiran 2). Untuk meningkatkan pembangunan di luar pulau Jawa, Bali dan Madura (JABAMA) maka PJP I dalam Repelita II (tahun 1974 – 1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di luar JABAMA termasuk Papua melalui program Transmigrasi dengan jumlah anggaran Rp.8.386,4 Milliar.

Dalam sejarah Kabupaten Nabire, telah memekarkan menjadi 3 kabupaten diantaranya kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, dan Kabupaten Dogiyai dalam tahun 2008. Untuk itu, demi memenangkan pilkada Kabupaten Dogiyai pada tahun 2010 mendatang, maka elit politik kabupaten Dogiyai melirik peluang politik di kabupaten Dogiyai. Ke-35 Parpol yang lolos verifikasi di Tingkat Pusat pun kini telah hadir di kabupaten Dogiyai untuk bertarung memenangkan PEMILU Legislatif dan Pilkada 2010.
Aspirasi pembentukan Kabupaten Dogiyai memang sebuah proses panjang sejak tahun 2004. Usulan pemekaran muncul dari Kamu dan Mapia, dua distrik yang terdekat dengan Kigamani, calon ibu kota Kabupaten Dogiyai. Ketika wacana pemekaran Nabire berkembang, banyak orang meyakini bahwa pembentukan Kabupaten Dogiyai adalah jalan bagi percepatan pembangunan di tujuh distrik pendukungnya. Dogiyai dalam kerangka Pemerintah Indoensia, pada zaman orde baru telah mengalami Pembangunan dalam program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang berlangsung sekitar 31 tahun sejak tahun 1969. Selama 30-an tahun Pembangunan Fisik tak kelihatan. Jalan setapak di tengah hutan pun belum ada. hingga masuk tahun 1080-an Jalan dalam Kecamatan (sekarang Distrik) mulai dibuka termasuk sekolah-sekolah Inpres. Untuk transportasi keluar daerah selain antara kedua Kecamatan Mapia dan Kecamatan Kamuu dihubungkan oleh Jalan setapak ditengah hutan yang terbentang antara Kampung Idadagi dan Bomomani Ibu kota Kecamatan Mapia.


Hingga kini tujuh distrik di Dogiyai, baru dilengkapi 59 SD, lima SMP, dan dua SMA. Untuk melayani 68.712 jiwa penduduk, juga hanya ada tujuh puskesmas. Padahal, potensi ekonomi di tujuh distrik tersebut cukup besar, khususnya di sektor pertanian. Dijelaskan Wakil Ketua DPRD Nabire, Penias Pigai bahwa Diharapkan dengan pemekaran, pembangunan akan lebih merata. Pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan serta peningkatan kesejahteraan rakyat akan lebih terjamin dengan pemekaran itu.

Pengesahaan UU Pembentukkan Dogiyai diterima DPRP, setelah melalui perjuangan yang sangat panjang di tingkat daerah hingga di tingkat Pusat di Jakarta. Pada 1 Maret 2007 Panitia Ad Hoc I DPR menyatakan, pemekaran Kabupaten Nabire layak dilanjutkan. Rancangan undang-undang pembentukan Kabupaten Dogiyai pun kemudian direkomendasikan untuk dibahas. Kabupaten Dogiyai dibentuk dari tujuh distrik (setingkat kecamatan), yaitu Distrik Ikrar, Kamu, Kamu Selatan, Mapia, Mapia Barat, Sukikai, dan Siriwo (bukan lima distrik sebagaimana dinyatakan dalam Rancangan Undang-Undang atau RUU Pembentukan Kabupaten Dogiyai, dengan Luas tujuh distrik itu berdasarkan data Kabupaten Nabire dalam Angka 2006 adalah 2.627,01 kilometer (km) persegi (RUU Pembentukan Kabupaten Dogiyai menyatakan 4.237,4 km. Luas awal Nabire selaku kabupaten induk adalah 13.397,59 km persegi. Meski luas ketujuh distrik itu hanya seperlima luas kabupaten in duknya, diperkirakan 68.712 jiwa (lebih dari 41 persen) penduduk Kabupaten Nabire nantinya menjadi penduduk kabupaten baru tersebut.
Tanpa alasan yang jelas, belum ada interpretasi data perencanaan tata ruang dan kota Kabupaten Dogiyai, Saat ini Kigamani yang berada di tengah dinilai strategis dalam rangka mendekatkan akses warga ke pemerintah. Sayangnya, infrastruktur masih menjadi persoalan besar di Nabire. Dari 1.000,76 km jalan di Nabire, 636,36 km di antaranya dalam kondisi rusak dan sulit dilalui kendaraan bermotor. Infrastruktur Pemerintah di Kigamani akan mendapat tantangan dalam Pengelolahan Sumber Daya Alam dan Letak Kigamani yang persis di pinggir jala raya Trans Papua yang menghubungkan antara Nabire-Moanemani.

Ketujuh Distrik memiliki masalah terbesar adalah perhubungan/Transportasi karena letak geografis yang jauh di Pedalaman. Mahalnya jasa transportasi udara menggunakan Pesawat Twin Otter atau Cessna milik maskapai Penerbangan AMA atau MAF adalah Satu-satunya jasa transportasi yang diharapkan sebelum jalan trans Papua tembus di Bomomani, Kamuu hingga Enaro (Paniai). Sehingga potensial hasil Perkebunan Kopi, Ubi jalar, Kacang, Ubi Talas serta hasil komoditi masyarkata lokal daerah Kamu Mapia tidak terakomodir.

Meskipun jalan Trans Papua masuk wilayah pedalaman Nabire (Kamuu-Mapia), Potensi itu belum tergali sebagaimana mestinya. Kini produk yang dihasilkan daerah tersebut hanyalah jagung, ketela pohon, ubi jalar, kedelai, dan sayuran. Volume produksinya pun tidak signifikan dibandingkan dengan total produksi komoditas sejenis di Kabupaten Nabire pada tahun 2005. Kalaupun ada yang menonjol, Distrik Kamu dan Kamu Selatan adalah penghasil ubi jalar terbesar di Dogiyai. Pada tahun 2005 volume panennya mencapai 2.844 ton, sekitar 27,6 persen dari total produksi ubi jalar sebelum Dogiyai dimekarkan dari Kabupaten Induk Nabire.

Ketika jalan Trans Papua masuk Ke Pedalaman Papua, Kamuu-Mapia, Propinsi Papua (Irian Jaya, waktu itu) hanya terdiri dari 9 Kabupaten diantaranya Kabupaten Jayapura, Wamena, Biak, Serui, Nabire, Manokwari, Sorong, Fakfak dan merauke. Namun setelah Propinsi Papua dimekarkan menjadi 27 Propinsi melalui beberapa tahap pemekaran wilayah Kabupaten. Pemekaran Tahap pertama dijalankan dengan biaya sekitar Rp.25milliar dengan rincian sumber dana APBD Pemerintah Daerah Nabire Rp.20milliar ditambah dengan Dana bantuan Pemerintah Propinsi Papua sebesar Rp.5milliar dalam tahun 2007 lalu. Sedangkan tahap berikutnya, tahun 2008 dialokasikan dana APBD sebesar Rp.20milliar ditambah dengan dana Pemerintah Daerah Propinsi Papua sebesar Rp.5milliar.

Usaha demi usaha para wakil rakyat, kepala daerah, pimpinan dan elit lokal tetap berusaha dan berjuang pemekaran wilayah bagi daerah-daerah yang terpencil dan tertinggal jauh dalam kerangka Pembangunan Nasional. Tak heran demi mempertahankan kepentingan partai, golongan dan keluarga bahkan kepentingan pribadi, para pejabat pun bermain uang untuk berkuasa menjabat serta memperluas wilayah kekuasaan di Dogiyai. (Willem Bobii)

Sumber: www.tabloidjubi.com

Selasa, 17 Februari 2009

Hadapi Resesi Dengan Nilai-Nilai Budaya Papua


Victor F. Yeimo

Dalam suatu seminar bedah buku yang berjudul "Mungkinkah Nilai-nilai Hidup Budaya Suku Mee Bersinar Kembali?, karya Ruben Pigay, S.pak, yang dihadiri masyarakat umum dan pelajar SMU, tidak lama ini di Aula STT Walter Post II, Nabire, Papua Barat, membuat saya tertuju dalam satu dari makna penting dari keseluruhan diskusi yang telah memaksa orang Papua, khsusnya suku Mee di Paniai untuk kembali kepada nilai-nilai budaya Mee. Ternyata, tradisi suku Mee dalam corak produksi tradisionalnya mampu memberikan solusi ditengah ancaman krisis energi dan faktor geopolitik dunia yang berdampak pada naiknya harga kebutuhan pokok di Indonesia, lebih khusus di Papua Barat.


Yang harus disadari dan tra boleh disangkal adalah bahwa pergeseran fluktuatif terjadi dalam kehidupan budaya hampir setiap suku di Papua Barat sejak pendudukan koloniaslime Indonesia. Indonesia yang pada masa Orde Baru sebagai suatu kekuasaan 'boneka AS' menjadi jembatan ke Papua Barat bagi penyeberangan budaya imperialisme global, suatu kekuatan yang telah memaksa penduduk pribumi menikmati arus modernisasi sebagai konsekuensi logis. Praktek kolonialisme melalui ancaman pemekaran wilayah kekuasaan kolonial Indonesia yang bersamaan dengan suplai penduduk migran dan perluasan daerah teritori militer paling tidak menjadi faktor utama dari dampak evolusi budaya suku-suku di Papua Barat.

Praktek eksploitatif itu ditandai dengan memudarnya etos kerja beternak dan berkebun yang lalu begitu luar biasa dalam nilai-nilai budaya suku Mee. Hampir dataran tanah adat Mee yang dulu menghasilkan flora nan hijau sebagai sumber konsumen kini menjadi dataran tandus yang tidak ada nilai guna bagi kelangsungan makluk hidup. Bila orang Papua sudah tidak mempunyai dusun/kebun lagi atau hubungan timbal balik antara alam dan manusia terganti dengan ketergantungan terhadap produk luar, atau bila Orang Papua Barat dipaksa menajadi manusia-manusia era moderen yang mempunyai permintaan konsumsi yang sama. maka bahaya globalisasi yang kini ditandai dengan kenaikan harga BBM, tidak mungkin tidak menjadi ancaman masyarakat adat Papua Barat.

Memang bahayanya tidak separah yang dialami daerah-daerah lain di Indonesia dalam hal kenaikan barang dan jasa, terutama kenaikan harga sembako dan jasa-jasa transportasi, dan kelihatannya bagi rakyat Papua aksi protes kenaikan BBM massa FPN (Front Pembebasan Nasional) yang menjalar di Indonesia (tidak di Papua Barat) belum menunjukan perjuangan bersama, namun paling tidak kenaikan harga BBM mengakibatkan permintaan yang semakin menggelembung bagi kaum migran Papua yang menguasai sektor perdagangan, transportasi dan industri. Bagi mereka, kondisi ini merupakan kesempatan untuk memperbesar kantong penghasilan mereka. Sebab, banyak uang Otsus yang beredar di tangan orang Papua Barat menjadi incaran bagi mereka.Contoh, bila di Entrop, Jayapura beberapa waktu lalu terjadi mogok sopir angkot menuntut kenaikan tarif harga transportasi, bagi rakyat Papua Barat, hal itu bukan suatu ancaman, padahal, dengan tarif 4.000 pp Entrop-Abe, omset sehari bisa mencapai sejuta hingga dua juta, atau sejajar gaji sebulan PNS golongan menengah. Ini semakin memperkuat ketergantuangan bagi orang Papua Barat dalam segala aspek yang tentu saja telah didominasi oleh kaum migran (orang pendatang).

Sistematis dan tepat sasaran. Itu kalimat yang pas buat keberhasilan praktek kolonialisme Indonesia di Papua Barat, terhadap orang Papua Barat. Penindasan dan penghisapan menjadi nyata, tatkala orang Papua Barat sendiri seakan-akan meng-iyakan itu terjadi. Saat-saat tidak ada lagi kesadaran berdaulat diatas tanah airnya, saat-saat itu tawaran posisi stategis di daerah-daerah pemekaran baru menjadi sasaran empuk. Partai-partai politik diboyong habis kaum intelektual yang seharunya menjadi revolusi nilai-nilai budaya Papua Barat. Pilihan itu menjadi keharusan, sebab sumber penghasilan pangan dan ternak sudah tidak ada lagi.

Suku Mee harus kembali kepada nilai-nilai yang dahulu", demikian ajak Ruben Pigay yang sudah beranjak di usia senja dalam bukunya. Buku itu seakan-akan memaksa saya merenung sejenak dan tidak lain, hanya nilai-nilai budaya yang mampu mempertanhankan kondisi sosial, ekonomi-politik suatu wilayah. Sekalipun tingkat konsumsi minyak dunia tidak lagi sepadam dengan produksi minyak dunia, tetapi sepanjang rakyat Papua Barat, khususnya suku Mee bisa membudayakan kembali aktivitas berkebun dan beternak, maka bukan tidak mungkin wilayah dan orang Papua Barat tetap resistan dalam menghadapi penjajahan dan penghisapan global.

sumber: http://qmerdeka.blogspot.com

Raskin, Sebuah Kebijakan yang Merugikan Rakyat di Papua dan Maluku

Masyarakat Papua dan Maluku telah mengkonsumsi sagu dan ubi-ubian seperti betatas, kasbi, keladi serta embal selama berabad-abad. Saat ini makanan tradisional tersebut sedang digantikan oleh nasi lewat kebijakan RASKIN dari Pemerintah Indonesia yang lebih berpihak pada “berasnisasi�.

Sagu, betatas, keladi dan kasbi sudah menjadi bagian dari identitas budaya rakyat Papua dan Maluku. Ada banyak tarian tradisional, istilah bahasa daerah, peralatan masak dan bertani, tari-tarian dan ritual adat serta lagu-lagu rakyat yang berhubungan dengan makanan pokok tradisional tersebut. Bila beras berubah menjadi makanan pokok di Papua dan Maluku maka identitas budaya bangsa-bangsa yang termasuk dalam rumpun Melanesia ini akan ditinggalkan dan dilupakan untuk selamanya.


Masyarat Papua dan Maluku yang tinggal di perkotaan sudah sepenuhnya mengkonsumsi nasi. Sangat menyedihkan karena kebanyakan dari mereka, kini tidak tahu lagi bagaimana mengolah pohon sagu untuk diambil tepungnya.
Pemerintah Indonesia memperkenalkan Program RASKIN di Papua Barat enam tahun yang lalu. RASKIN merupakan kependekan dari BERAS MISKIN.

Pemerintah Indonesia mulai mendistribusikan beras yang disubsidi secara nasional ketika negara tersebut tengah menghadapi krisis ekonomi yang parah. Meskipun program tersebut dimaksudkan untuk membantu masyarakat miskin, RASKIN sebenarnya menciptakan ketergantungan dan dalam jangka panjang akan merusak perilaku makan serta kebudayaan orang Papua baik yang tinggal di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Perlahan namun pasti, masyarakat Papua dan Maluku semakin lebih banyak mengonsumsi nasi dari pada sagu atau betatas. Menurut data Badan Ketahanan Pangan Provinsi Papua, hingga tahun 2004, masyarakat Papua mengonsumsi nasi 55%, ubi-ubian 30% serta sagu 15%. Tentu saja persentase pemakan nasi semakin tinggi sekarang karena gencarnya program RASKIN dan berbagai kebijakan lain seperti pencetakan sawah besar-besaran di seluruh tanah Papua dan Maluku.

Menurut harian KOMPAS, BULOG mengalokasikan 43.000 metrik ton beras bagi 256.622 rumah tangga miskin di Papua Barat setiap tahun. Bila dihitung secara kasar untuk setiap rumah tangga (bapak-ibu dan 2 orang anak) maka jumlah penduduk Papua yang memakan nasi setiap tahun dari program RASKIN adalah: 256.622 x 4 = 1.026.488 jiwa. Jumlah ini tidak termasuk mereka yang membeli beras tanpa melalui program RASKIN, yang tentu saja lebih besar dan lebih intensif.
BULOG adalah badan pemerintah pusat yang bertanggung jawab atas pendistribusian beras. Beras dikirim ke Papua dari Pulau Jawa, Bali dan Sulawesi. Kadang-kadang beras diimpor dari negara lain.

Ketika tiba di Papua, beras didistribusikan di pasar oleh DOLOG – cabang BULOG di daerah. Untuk mempercepat pengirimannya ke wilayah pegunungan, pemerintah daerah – mencarter pesawat AMA dan MAF, dua badan penerbangan yang dimiliki oleh misionaris Katolik dan Protestan. Seorang Papua yang bekerja bagi AMA, menyebutkan bahwa sebuah pesawat AMA yang bernama Pilatus mampu mengangkut hingga satu metrik ton beras ke kampung mana saja di daerah terpencil Papua.
Tidak mengherankan jika beras bersubsidi tersebut dijual dengan harga yang jauh lebih rendah daripada harga makanan pokok tradisional masyarakat Papua. Di sini di pasar lokal, beras dijual antara Rp.5.000 dan Rp.6.500/kilogram – jauh lebih murah daripada sagu dan betatas yang rata-rata adalah Rp.10.000/tempat.

Pemerintah Indonesia telah mensubsidi beras selama bertahun-tahun. Subsidi tersebut diberikan pada pupuk, tarif import peralatan pertanian, dan pembangunan bendungan serta jaringan irigasi. Ini belum termasuk trilyunan rupiah yang dialokasikan bagi program transmigrasi.

Di pihak lain, masyarakat Papua dan Maluku yang memproduksi sagu dan menanam ubi-ubian tidak pernah menikmati subsidi seperti itu. Kebanyakan dari mereka masih menggunakan peralatan manual tradisional untuk mengekstrasi tepung dari pohon sagu (Metroxylon Rumphii). Inilah yang menyebabkan harga sagu lebih tinggi dari beras.

Jelas bahwa program RASKIN mematahkan semangat petani-petani Papua dan Maluku yang memproduksi sagu dan menanam betatas. Mereka tidak bisa dengan mudah beralih menanam padi. Karena sagu dan ubi-ubian sudah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat rumpun Melanesia ini.

Situasi tersebut semakin bertambah buruk. Jumlah uang yang dibelanjakan orang Papua dan Maluku untuk membeli beras semakin tinggi. Karena Papua tidak mampu memproduksi cukup beras sendiri, akibatnya ratusan milyar rupiah mengalir keluar dari
Papua dan Maluku setiap tahun. Jika orang Papua memilih untuk kembali membeli sagu dan betatas atau kasbi, lebih banyak uang akan berputar di pulau itu sehingga mendukung berbagai aktivitas ekonomi masyarakt lokal.

Untuk menjawab kondisi ini, pemerintah daerah dan pusat berencana untuk membuka jutaan hektar sawah di Merauke dan kabupaten-kabupaten lain di seluruh dataran Papua, mengubah rawa-rawa menjadi sawah. Di Maluku hal tersebut dilaksanakan di Pulau Buru serta Seram. Sebagai konsekuensinya, program yang ambisius ini memerlukan lebih banyak transmigran untuk mengimplementasinya, mengakibatkan orang-orang Melanesia ini menghadapi kenyataan menjadi minoritas di tanah airnya sendiri.

... adalah warga yang prihatin dan tinggal di Papua Barat.
Sumber:http://www.westpapua.ca