Pages

Subscribe:

Selasa, 20 Januari 2009

Mungkinkah Merauke Menjadi Lumbung Pangan Dunia?

Dibalik ketidakmampuan ribuan Warga Papua di Merauke untuk mencari makan, ternyata pemerintah dengan gencar-gencarnya telah mengkampanyekan Merauke akan menjadi lumbung pangan dunia. Sangat ironis apalagi ditambah dengan rencana penghapusan Raskin kepada masyarakat tidak mampu.

“Ah..coba tanya yang lain saja, saya tak tahu itu,” kata Tono (29), Seorang Petani sawah di Distrik Tanah Miring, Merauke, yang tiap harinya bergelut dengan cangkul dan lumpur. “Kalau mau tanya tentang Merauke jadi lumbung pangan itu, tanya saja di Dinas Pertanian, kita ini hanya bekerja untuk makan saja,” ujarnya sekali lagi. Di tempat lain, ternyata ada beberapa petani yang juga sependapat dengan Tono. Rahmat (32), seorang diantaranya. Sang petani kecil dari Tanah Miring. Liriknya kurang lebih serupa dengan Tono. “Iya memang ada bantuan banyak. PPL (Petugas Penyuluh Lapangan, Red) juga selalu datang. Tapi kita juga kadang kesulitan juga,” tuturnya. Menurut dia, untuk menjaga agar petani selalu berhasil dalam setiap panennya, diperlukan sebuah konsep yang jelas. Bukan asal tulis saja.



Sepenggal cerita di atas bukanlah kisah dalam sebuah parodi. Tapi sebuah fakta yang sering terjadi dalam banyak kehidupan petani di Merauke. Tono dan Rahmat dalam penggalan diatas hanya ingin menggambarkan bagaimana kesulitan petani itu terjadi. Tak dapat dibayangkan jika kesulitan itu menghimpit mereka ditengah sebuah rencana besar menjadikan Merauke sebagai Kota Agropolitan dan lumbung pangan dunia. Rencana yang sangat besar. Rencana yang juga memerlukan kualitas kerja dari petani yang tinggi, kinerja yang maksimal dan kebutuhan finansial yang banyak. Tapi juga rencana yang tanpa disadari bersifat memaksakan petani agar bekerja dengan keras agar hasil tersebut dapat diekspor keluar negeri.

“Kita hanya bisa berupaya dengan optimisme yang ada. Rencana tersebut juga bukan merupakan tulisan di atas kertas saja. Tapi itu sudah kami jalankan,” kata Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke, Omah Laduani Ladamay dalam sebuah Pertemuan Teknis di Kantor dinas tersebut.

Bagi Ladamay, program “pemberantasan” kemiskinan di Merauke dan untuk menjadikan kota ini menjadi kota penghasil serta lumbung pangan dunia telah dilakukan dengan program yang disebut MIRE (Merauke Integrated Rice Estate). Cikal bakal program alternatif untuk solusi krisis pangan dan energi bangsa yang kini lebih dikenal dengan sebutan MIFFE (Merauke Integrated Food And Energy Estate). Konsep ini memang terbilang berani dalam kondisi yang serba sulit. Tidak saja sulit karena sumber daya manusia pribumi setempat yang tidak terbiasa dengan menanam padi. Tapi juga sulit karena jumlah petani yang terbilang sangat sedikit ketimbang luas lahan garapan yang sangat luas.

Minimal luas satu hamparan tanam dalam MIFFE adalah 1.000 Ha. Konsep ini juga memerlukan keterlibatan seluruh stakeholders agribisnis termasuk swasta besar, termasuk konsep lainnya menyangkut link and match dan zero waste. Untuk manajemen penggunaan lahan per 1000 Ha itu, bahkan telah dibagi menjadi, 70% untuk tanaman pangan, 9% untuk ternak, 8% untuk perikanan darat, 8% untuk perkebunan dan 5% untuk lahan lain. “MIFFE merupakan program unggulan yang sementara ini sedang dilakukan. Ada target dimana ke depan akan terjadi perubahan hidup dari Masyarakat Merauke oleh MIFFE,” ujar Ladamay.

Potensi lahan MIFFE memang sangat luas. Luas lahan budi dayanya saja mencapai 2.491.821.99 ha. Lahan basah mencapai 1.937.291,26 ha. Dan luas lahan kering mencapai 554.530,73 ha. Potensi lahan MIFFE ini dapat ditemukan misalnya di distrik Kurik, Merauke seluas 500 ha. Direncanakan akan ditanami jagung. Luas lahan MIFFE dalam sebaran kawasan sentra produksi dibagi dalam tiga zona. Yakni zona 1 terdiri dari Distrik Merauke, Semangga, Tanah Miring, Kurik, Jagebob, Sota, Eligobel, Muting dan Ulilin. Zona 2 adalah distrik Semangga. Sedangkan zona 3 adalah Distrik Kimaam.

Dalam perencanaannya, lahan potensial MIFFE selanjutnya akan dibuat sebagai lahan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 1.428.000 ha. Dan Lahan Alokasi penggunaan lainnya (APL) seluas 202.869 ha. Total potensi ini mencapai 1.630.869 ha. Seterusnya terdapat juga rencana untuk pengembangan lahan tersebut. Yakni untuk lahan tanaman pangan, 1 juta ha, peternakan, 100.000 ha, perikanan, 100.000 ha, perkebunan, 100.000 ha dan untuk penggunaan lain 330.869 ha. “Mekanisasinya adalah dengan teknologi mekanisasi, heavy mekanisasi dan dilanjutkan dengan olah tanah sampai dengan panen,” papar Ladamay.

Namun ironisnya, ternyata luas lahan dan tujuan dari MIFFE yang tergambar di atas kertas, tak sebanding dengan kesulitan yang terjadi di tengah-tengah petani. Rencana menjadikan Kota Rusa sebagai lumbung pangan dunia yang diproklamirkan dalam sebuah acara Panen Raya Padi di Tanah Miring, Merauke, tak sejalan juga dengan kondisi petani dan “permainan” yang terjadi. Sebut saja peristiwa kelangkaan pupuk bersubsidi beberapa pekan terakhir di Merauke. Pupuk bersubsidi yang dijual dengan harga Rp 120.000 hingga Rp 160.000 per 100 kg itu diduga telah digelapkan oleh oknum tertentu. Kelangkaan pupuk bersubsidi misalnya urea dialami oleh ratusan petani di beberapa wilayah. Seperti Waninggap Kai, Distrik Semangga, beberapa Kampung di Distrik Kurik dan Tanah Miring.

Pupuk yang biasanya dipasaran dijual dengan harga sekitar Rp 300.000 itu, kini lenyap. Warga petani pun kecewa dengan kejadian tersebut. “Kita masih susah, tapi kalau mau tunda tanam, pasti kita yang rugi. Jadi mau bagaimana lagi? ” kata Marni (36). Menurut perempuan berperawakan sedang itu, akibat kelangkaan tersebut, dirinya terpaksa membeli pupuk yang dijual di pasaran dengan harga tinggi. Hal itu dilakukannya agar proses masa tanam tidak terganggu. “Rugi juga kalau dihitung-hitung. Tapi itu sudah resiko,” ceplosnya.

Selain kelangkaan pupuk bersubsidi, terjadi juga kadaluarsa benih yang menimpa sejumlah petani di beberapa Wilayah di Merauke. Benih Padi jenis ternama yang dibagikan ke petani di Distrik Kurik, Kimaan, Bupul serta sejumlah distrik lainnya itu merugikan petani hingga puluhan juta rupiah.

Dalam peristiwa lain sekitar November 2008, terjadi juga “permainan” pembagian bantuan alat dan mesin pertanian kepada sejumlah petani di Kurik. Untuk mendapatkkan alat tersebut petani diharuskan membarternya dengan hewan ternak mereka. Bantuan yang berasal dari Pemda Kabupaten Merauke itu diperuntukkan kepada petani yang belum memiliki alat dan mesin pertanian. Namun dalam perjalanannya, oknum pengedar alat tersebut menyerahkannya kepada petani dengan barteran hewan peliharaan. Dalam bagian lain, ada pula alat tersebut yang diduga dijual dengan harga miring.

Dari keterangan seorang Warga Distrik Kurik, Puji Susanto, pembagian mesin pertanian yang dibarter itu ternyata sudah berlangsung semenjak lama. Namun tidak pernah ada sanksi yang diberikan terhadap oknum petugas tersebut. Akibat kejadian ini sejumlah warga penerima kecewa. Meskipun demikian mereka tetap memakai alat dan mesin pertanian yang telah diperolehnya itu. “Itu sudah, alat pertanian itu biasa dikasih tapi dengan cara tukar dengan sapi atau pakai bayar tapi dengan harga murah,” kata dia. Ditambahkannya, mesin-mesin tersebut dibagikan hingga mencapai puluhan mesin. Diberikan dalam kondisi yang masih baru kepada petani. Petani pun hanya pasrah dan tak bisa berbuat banyak untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pejabat daerah. Bagi mereka, kata Puji, “Yang Penting ada dari Pada Tidak Dapat Sama Sekali”


Keseriusan Yang Dipertanyakan

Bupati Merauke, Johanes Gluba Gebze dalam sebuah pertemuan terbatas di Merauke mengatakan, Merauke suatu saat akan dijadikan sebagai lumbung pangan dunia. Hal ini merupakan cita-cita yang yang harus dicapai. Berangkat dari proyek padi Kumbe pada beberapa tahun silam yang pada akhirnya bisa diekspor ke luar negeri, Gebze dalam pertemuan itu terkesan sangat optimis. Tidaklah salah. Demikian juga dengan optimisme atas penghapusan pembagian jatah beras miskin kepada masyarakat kurang mampu. Sekali lagi, tidaklah salah. Namun demikian, kiranya perlu diperhitungkan juga dengan keadaan dan kondisi puluhan ribu Masyarakat Merauke yang masih terkukung dalam jeratan kemiskinan. Mereka yang miskin hingga tak memiliki tempat tinggal dan makanan layak itu, sangat memerlukan bantuan raskin.

Dalam batasan ini, perlulah diberikan sebuah pertanyaan, apakah layak jika rencana penghapusan pembagian raskin dilakukan? Apakah perlu memaksa petani yang jumlahnya sangat sedikit ketimbang luas pertanian yang luas untuk menanam padi sebanyak-banyaknya? Padahal kondisi mereka sendiri pada hampir sebagian besar petani tak memiliki kemampuan untuk bekerja secara “paksa”? mungkinkah hal ini hanya merupakan sebuah upaya pemerintah semata untuk menunjukan kepada publik secara nasional bahwa Merauke telah layak diperhitungkan untuk berdiri sendiri?

Tono, petani berkaos oblong itu mengatakan janganlah berencana menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan dunia pada saat sekarang. Karena apa yang terjadi dalam berbagai bentuk penyimpangan telah menjadi indikator bahwa Merauke masih perlu berbenah lebih jauh dalam bidang pertanian. “Kalau mau buat rencana itu lihat-lihat dulu,” ujarnya polos. (Jerry Omona)

Sumber : Tabloid Jubi (http://cafeinbuti.blogspot.com/)

1 komentar:

  1. if agriculture is considered as a business, and we care about the unemployment and poverty in rural areas,
    “MARI KITA BUAT PETANI TERSENYUM KETIKA PANEN TIBA”

    Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia.
    NPK yang antara lain terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita, dan sudah dilakukan sejak 1967 (masa awal orde baru) hingga sekarang.
    Produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia mencapai swasembada beras dan kondisi ini stabil sampai dengan tahun 1990-an. Capaian produksi padi saat itu bisa 6 -- 8 ton/hektar.

    Petani kita selanjutnya secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsur hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita, sementara yang ditambahkan pada setiap awal musim tanam adalah unsur hara makro NPK saja ditambah dengan pengendali hama kimia yang sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin rusak, semakin keras dan menjadi tidak subur lagi. Sawah-sawah kita sejak 1990 hingga sekarang telah mengalami penurunan produksi yang sangat luar biasa dan hasil akhir yang tercatat rata-rata nasional hanya tinggal 3, 8 ton/hektar (statistik nasional 2010).

    Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka, ubah cara bertani mereka, mari kita kembali kealam.

    System of Rice Intensification (SRI) yang telah dicanangkan oleh pemerintah (SBY) beberapa tahun yang lalu adalah cara bertani yang ramah lingkungan, kembali kealam, menghasilkan produk yang terbebas dari unsur-unsur kimia berbahaya, kuantitas dan kualitas, serta harga produk juga jauh lebih baik.
    SRI sampai kini masih juga belum mendapat respon positif dari para petani kita, karena pada umumnya petani kita beranggapan dan beralasan bahwa walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam proses budidayanya.

    Selain itu petani kita sudah terbiasa dan terlanjur termanjakan oleh system olah lahan yang praktis dan serba instan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sehingga umumnya sangat berat menerima metoda SRI ini.
    Mungkin tunggu 5 tahun lagi setelah melihat petani tetangganya berhasil menerapkan metode tersebut.

    Kami tawarkan solusi yang lebih praktis yang perlu dipertimbangkan dan sangat mungkin untuk dapat diterima oleh masyarakat petani kita untuk dicoba, yaitu:
    "BERTANI DENGAN SISTEM GABUNGAN SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK AJAIB (SO/AVRON/NASA) + EFFECTIVE MICROORGANISME 16 PLUS (EM16+), DENGAN POLA JAJAR GOROWO",
    Cara gabungan ini hasilnya tetap PADI ORGANIK yang ramah lingkungan seperti yang dikehendaki pada pola SRI, tetapi cara pengolahan tanah sawahnya lebih praktis, dan hasilnya bisa meningkat 100% — 400% dibanding pola tanam konvensional seperti sekarang.

    Ditunggu komentarnya di omyosa@gmail.com

    BalasHapus