Pages

Subscribe:

Rabu, 08 Juli 2009

REKAYASA SEJARAH PAPUA BARAT


Ternyata benar kawan, bahwa sejarah orang Papua Barat itu penuh dengan rekayasa demi kepentingan politik Indonesia. saat ini Indonesia pasti bingung carii akal untuk mencari pembenaran atau untuk menjatuhkan hasil penelitian dari Penelitian Prof P.J. Drooglever tentang Pepera.
Empat tahun yang lalu Indonesia menjadi heboh, karena Pepera yang dilakukan tahun 1969, Menurut kesimpulan Prof P.J. Drooglever dalam Seminar “Act of Free Choice”, di Den Haag, 15 November 2005, waktu membedah buku berjudul “Daad van Vrije Keuze, de Papuans van Westelijk Nieuw Guinea, en de grenzen van het Zelfbeschichtings recht” (tindakan bebas memilih dari orang Papua di Nieuw Guinea Barat, dan batas-batas penentuan nasib sendiri) menyatakan, bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 adalah suatu “manipulasi sejarah”.
Kawan-kawan, kalau teruskan bacaannya ini ada dua konteks yang mendorong penelitian itu, pertama karena Kongres II Rakyat Papua, Mei 1999 mendesak perlunya pelurusan sejarah, karena rakyat Papua merasa jalan sejarahnya menuju kemerdekaan sebagai suatu bangsa, telah dibelokkan oleh kepentingan politik Jakarta. Kedua, tampilnya Gus Dur sebagai pemimpin Indonesia yang lebih demokratis.


Drooglever menyebut Sekjen PBB waktu itu, U Thant, dalam laporan akhirnya kepada Majelis Umum PBB, tidak punya pilihan lain kecuali menyimpulkan Pepera 1969 itu adalah suatu penentuan pendapat rakyat. Jadi sebetulnya dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962 diputuskan suatu proses plebisit, tapi belakangan diubah menjadi the act of free permasalahan di lakukan dengan kekerasan choice, yakni hak untuk menentukan nasib Papua. Jelas sudah setingnya dirubah Indonesia. Ortiz Sans, yang ditugaskan PBB untuk mengawasi Pepera, meragukan the act of free choice atau Pepera itu bisa dilakukan oleh penguasa Indonesia. Artinya, apakah benar-benar sesuai dengan asas yang diakui oleh dunia internasional. Ortis Sans menyatakan proses itu bukan suatu act of free choice. Jadi dia mengambil jarak terhadap apa yang terjadi di Papua, dan sikap itu juga diambil oleh Sekjen PBB U Thant. Ini berarti pula ada keberatan yang serius darii masyarakat internasional.
Menurut, Drooglever, act of free choice adalah suatu peristiwa historis di abad modern ini, sebagaimana dialami oleh masyarakat di Papua, tatkala oleh kekuatan super power seperti Amerika Serikat, di era perang dingin 1962-1969, melakukan suatu konspirasi politik tingkat tinggi dengan Indonesia, untuk mengamankan rencana Jakarta, memenangkan act free choice bagi kepentingan Indonesia.
Masyarakat dunia kini dapat mendengar dan menyaksikan seorang mahaguru yang berhasil mengungkapkan sebuah kebenaran sejarah yang terkubur selama 43 tahun. Kebenaran itu kini tersingkap, betapa rakyat Papua terpaksa menelan pil pahit, karena janji untuk berdaulat sebagai negara yang merdeka telah berubah menjadi suatu tragedi kemanusiaan. Mengapa hal ini terjadi? Biasanya bangsa penjajah memandang rendah masyarakat asli. Drooglever mengungkapkan fakta di masa lalu, bahwa orang Papua dipandang lebih rendah oleh orang Ambon dan Kei. Dan sampai saat ini kita mungkin masih di pandang bodoh ini tidak benar, maka mari kita melawan stigmatisasi bodoh dan stig matisasi separatis yang terus dibangun Indonesia untuk melenyapkan kebenaran sejarah sang Bintang Kejora yang telah di kibarkan pada 1 Desember 1969.
Kawan, selama Orde Baru Rezim militer menguasai Indonesia. segala militer, termasuk dalam Proses Integrasi Papua Barat yang melalui berbagai operasi militer, juga pelaksanaan Pepera dilakukan dalam tekanan militer. Ketika itu Ortiz Sans melaporkan kepada Sudjarwo Tjondronegoro bahwa terjadi perlakuan yang tidak benar oleh petugas Indonesia, termasuk militernya, Tjondronegoro, sebagaii pengantara UNTEA dan Indonesia, menganggapnya pantas untuk ditanggapi. Niat untuk melakukan suatu act of free di Papua, secara sistematis dan berencana dialihkan ke suatu proses yang direkayasa oleh Jakarta, tentu dengan kekuatan militernya
Ortiz Sans tidak diperkenankan mengambil peran yang signifikan dalam proses persiapan maupun ketika diimplementasikan Pepera pada Juli-Agustus 1969. Drooglever mencatat semua saksi orang Papua, para wartawan luar negeri, para diplomat, khususnya para pengamat mancanegara, menyimpulkan apa yang terjadi dengan act free choice dalah tindakan yang memalukan. Tjondronegoro dipandang sebagai artistek yang cerdik dan tangkas memanfaatkan Pepera untuk kepentingan Indonesia.
(Hasil Penelitian Prof P.J. Drooglever)