Pages

Subscribe:

Jumat, 27 Februari 2009

Budaya Lokal Vs Budaya Global : Sanggupkah ?


Tak dapat dipungkiri bahwa faktor kemajuan peradaban dunia sebagai indikasi kemajuan berfikir umat manusia, tak salah apabila disebut bahwa umat manusia dewasa ini telah diperhadapkan pada situasi yang serba maju, instant dan pola pemikiran yang kritis. Kemajuan peradaban itu banyak mengakibatkan perubahan di segala aspek kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bernegara maupun berbangsa.

Banyak di antara masyarakat itu menerima perubahan peradaban itu sebagai sesuatu yang lumrah sebagai sebuah proses yang harus dijalani, dimaklumi dan kehadirannya senantiasa menimbulkan berbagai perubahan dalam praktiknya. Sehingga memaksa masyarakat budaya, mau tak mau atau sadar atau tidak sadar diperhadapkan pada situasi yang sulit antara menerima perubahan perdaban itu (karena tidak ingin dianggap kolot) atau menolak perubahan itu kendatipun dianggap primitif, konvensional dan ortodoks.
Perselisihan atau tepatnya perbedaan pemikiran seperti itu dapat muncul sebagai reaksi terhadap berbagai tindakan yang bagi sebagian orang bergerak seolah-olah meninggalkan kebudayaannya sedang sebagian orang ingin mempertahankannya sebagai sebuah warisan leluhur bersama (common heritage) yang wajib dijaga dan dilestarikan. Fenomena berikutnya adalah diakibatkan oleh mobilitas tanpa limit, dimana manusia tidak lagi dapat begitu saja dihempang dalam mobilitasnya.

Katakan saja, andai seseorang ingin bepergian ke tempat lain (negara Lain) maka tak seorangpun yang dapat menghempangnya apabila ia telah menetapkan bahwa ia harus berangkat. Keadaan ini juga mengakibatkan adanya perpaduan (assimilation) di tempat baru dimana ia berpijak, sehingga melahirkan penilaian apa yang diperoleh, diidolakan sebelumnya dengan dimana ia tinggal dan lihat.

Penilaian itu dapat saja memicu lahirnya interpretasi bahwa apa yang melekat pada dirinya ketika memutuskan untuk bepergian itu dinilai sebagai sesuatu yang kolot, tradisional dan tertinggal. Ia kemudian mengenakan berbagai atribut yang dianggap sebagai simbolisasi budaya maju seperti kritis, egoisme, dan materialistis. Kondisi lain adalah meningkatnya mobilitas sekolah antara negara dimana juga telah mempengaruhi pengakuan terhadap budaya lokalnya.

Keadaan dimana sipelaku diperhadapkan pada situasi dan alternatif yang kritis seperti itu telah menciptakan adanya anggapan bahwa budaya (lokal) tidak mampu menyaingi budaya (global) yang sedang mendunia. Namun demikian, bagi sebahagian orang tidak demikian, bahwa budaya lokal senantiasa akan bertahan (lestari) apabila sipelaku tidak membiarkan budaya (lokal)-nya itu tidak tertindas, tidak tradisional dan tidak terbelakang apabila terdapat upaya sipelaku memajukan atau melakukan perubahan (innovation) dan penerapan (invention) terhadap apa yang disebut dengan budaya lokalnya itu. Lantas dalam situasi yang demikian ini dimana kemajuan zaman dan pola berfikir manusia tidak lagi dapat dibatasi, serta tingginya faktor komunikasi dan media penyampai, seberapa jauhkah budaya lokal itu dapat bertahan?

PERUBAHAN SOSIAL
Tak dapat disangsikan bahwa kemajuan pemikiran manusia yang senantiasa berupaya untuk menghasilkan hal-hal baru dalam hidupnya adalah hal wajar yang dilakukan sebagai makhluk yang berakal. Berangkat dari asumsi bahwa pemikiran manusia akan senantiasa merubah kondisi sosial, maka hal yang demikian itu dapat diterima secara mutlak.

Pada dasarnya perubahan itu dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup, peradaban (civilzation) dan kesempurnaan hidupnya yang meskipun pada dasarnya akan senantiasa juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi peradaban itu sendiri. Katakanlah, kebiasaan manusia mengkonsumsi (membeli) makanan yang serba instant, tanpa ada upaya untuk membuatnya, akan melemahkan dan memandulkan kreativitas. Belum lagi hal yang serupa itu diterima dan meresap pada diri anak-anak, maka seumur hidupnya akan menjadi pengkonsumsi utama tanpa adanya niat untuk mencoba membuatnya dengan keinginan sendiri. Alhasil, generasi yang muncul berikutnya adalah generasi yang nirkreativitas.

Perubahan sosial, baik yang direncanakan maupun yang tidak dapat dikategorikan ke dalam hal di atas yang pada intinya adalah pengupayaan ke arah yang lebih baik dengan mencoba mereduksi dampak negatif dari social change itu. Siklusnya dapat dicerna melalui adanya rekayasa sosial (social engineering), rekontruksi sosial (social recontruction). Pada tahap ini akan muncul sikap menerima (receive) ataupun berupaya menolaknya (defence). Kemudian, dalam upaya menghindari bentrok budaya (paling tidak dalam paradigma) pemikiran) maka pada saat itu dibutuhkan agen-agen perubahan (social agent) sebagai media penyampai agenda perubahan itu. Apabila, perubahan itu muncul sebagai yang tidak direncanakan, maka peran itu akan digantikan oleh sosok atau figur yang dapat menjembatani perubahan yang sedang terjadi.

Dengan begitu, perubahan yang sedang terjadi dan akan terjadi, maupun yang direncanakan ataupun tidak (kurang) direncanakan tidak akan mengalami benturan kebudayaan (peradaban) pada masyarakat kekinian. Justru dengan demikian, yang tengah terjadi adalah pemerkayaan khasanah kebudayaan dan bukan pergeseran. Dengan begitu, hipotesa kebudayaan selanjutnya adalah bahwa tidak akan pernah terjadi pergeseran kebudayaan apalagi upaya meninggalkan budaya lokal itu yang meskipun pada tataran performa seolah-olah kebudayaan itu telah bergeser atau ditinggalkan. Perubahan yang demikian itu justru harus dimaknai sebagai upaya pemberdayaan dan pemerkayaan kebudayaan itu sendiri sebagai system makna (system of meaning).

TREND GLOBAL
Suatu hal yang tak dapat dielak dan dipungkiri bahwa pola kehidupan manusia pada saat ini adalah bahwa manusia kini diperhadapkan pada situasi yang ambigu. Menolak dan menerima perubahan sosial sebagai dampak kemajuan. Opsi untuk menolak dihantui oleh resistensi dari dalam diri pribadi dan lingkungan yang secara phisikologis akan turut mempengaruhi penolakan itu. Yaitu adanya ketakutan terhadap anggapan sebagai person yang primitif, tradisional dan konvensional. Sementara untuk menerima perubahan itu juga menimbulkan benturan psikologis dimana seseorang pelaku itu dicap sebagai orang yang kurang (tidak) menghargai kebudayaannya.

Sirkumstansi yang demikian itu adalah opsi yang begitu sulit untuk dapat diterima, paroksi psikologis menjadi hambatan utama antara opsi menerima dan menolak. Akan tetapi, kecenderungan yang terjadi adalah bahwa perubahan itu adalah suatu hal yang tidak mungkin dapat dibatasi apalagi dihempang. Justru, kepiawaian kita dalam menerjemahkan perubahan itu ke dalam diri kita sendiri, meresap dalam diri kita, kemudian akan memancarkan aura perubahan terhadap sikap dan prilaku kita. Dengan begitu, apakah hal yang demikian itu juga disebut telah merubah kebudayaan? Tentu jawabnya adalah tidak. Perubahan yang terjadi dewasa ini adalah kewajiban yang harus diterima, dan oleh sebab itu maka yang terjadi di seputar perubahan itu adalah trend ataupun kecenderungan yang senantiasa dimaknai.

Tantangan yang justru dihadapi adalah sampai seberapa jauh kita mampu memadukan perubahan dengan kebudayaan itu? Namun demikian, maksud utamanya adalah bukan dengan menolak kebudayaan global yang sedang mendunia. Di sini dibutuhkan pemahaman dan pengertian kita untuk menerjemahkan perubahan itu sehingga tidak menimbulkan distorsi bagi kepribadian dan kebudayaan yang menggejala. Kekuatannya justru terletak pada diri kita sendiri bahwa apa yang akan kita ambil dan maknai dari perubahan itu, dan seberapa mampukah kita menerjemahkannya ke dalam kebudayaan kita.

Apakah seorang Papua yang modern adalah orang yang tidak (lagi) menggunakan budaya Papua itu dalam kehidupannya sehari-hari? Apakah orang Papua akan dikenal sebagai orang yang tidak maju apabila atribut Habatahon masih menempel pada dirinya? Lantas bagaimana pula kebudayaan yang lahir akibat perpaduan dua unsur budaya suku yang berbeda akibat adanya kawin campur, misalnya orang Papua dengan Jawa? Keutamaan dari pola seperti ini adalah adanya pemerkayaan budaya lokal itu sendiri yakni pencapaian ke arah peradaban yang lebih sempurna. Anggapan itu dapat dimaknai sebagai dampak perubahan terutama dalam menghargai waktu, benda dan segala bentuk ragam unsur budaya.

Atribut-atribut budaya lokal seolah-olah terancam akibat budaya global seperti masuknya berbagai komoditas global, pengaruh dan tindakan yang dipancarluaskan oleh berbagai media penyampai seperti TV dan media cetak lainnya. Akibatnya kita akan lebih menghargai semua itu dengan waktu dan dengan adanya tuntutan tugas yang mesti dilakukan. Keadaan ini justru akan merubah kita yang tanpa disengaja telah melahirkan berbagai interpretasi atas diri dan prilaku kita.

Dalam pada itu, situasi dan kondisi dimana budaya lokal akan dipertaruhkan di tengah kancah kebudayaan global, sepertinya melahirkan kontroversi dan paradigma yang berbeda dalam memandang budaya global itu. Sebahagian tidak menginginkan adanya perubahan dalam kelokalan budayanya dan tanpa disadari tindakan yang dilakukan telah merubah keaslian kebudayaan itu. Justru dengan begitu, kita dapat memaknai bahwa perubahan itu akan senantiasa terjadi dan tanpa kita sadari akan meresapi diri kita dan masuk ke dalam pola perilaku dan tindakan kita. Oleh karenanya, kebudayaan akan semakin mantap, bertahan dan lestari.

Pertanyaan terakhir adalah menyangkut kita sebagai pemuja kebudayaan (idols of culture) kita. Adakah kita berupaya memajukan kebudayaan kita itu, atau malah membiarkan budaya kita itu terlindas oleh budaya global? Dan sampai sejauh manakah pengakuan kita terhadap kebudayaan kita itu? Oleh karenanya, penting dilakukan kembali kaji ulang terhadap kepribadian kita yakni bukan secara langsung melontarkan bahwa kebudayaan kita itu adalah tidak maju, tidak modern dan miskin dan terbelakang. Jika demikian yang terjadi maka kebudayaan kita itu akan mengalami pendangkalan makna akibat erosi pemerkayaan dan pemajuan budaya lokal itu.
Sumber: http://www.silaban.net

Buatmu Tersayang

Entah apa yang ada dalam pikiranmu. Kau masih terdiam di situ. Tanpa kata. Tanpa gerakan. Laksana karang. Hanya memikirkan orang ketiga yang hadir antara kita dan mengorbankan semuanya padanya.

Mata itu, setiap kali matahari memanggang bumi, selalu membawaku ke sebuah mata air pegunungan. Menikmati damai. Engkau tahu itu. Tapi kini, semuanya tidak jelas akan seperti apa. Ya, hati seperti itulah yang kerap kali hadir dalam bayang-bayangku.

Selaksa kabut pekat yang dihasung bala tentara Iblis selama ini telah membuat kita selalu salah dalam mengeja cinta. Aku bisa bayangkan, para kurcaci selama ini terbahak-bahak saat melihat kita dengan terbata-bata menyimpulkan bahwa cinta adalah memiliki, menikmati, dan menguasai.

Atas nama cinta, berdua kita teguk puluhan sepi. Atas nama cinta pula aku menuntutmu berbagi kekuasaan atas lentik jemari indahmu. Bahkan juga atas nama cinta, kumakruhkan senyum manismu itu atas seluruh pria jagad raya. Ah, Padahal cinta tidak pernah menuntut apa-apa, meski hanya sekedar jawaban “I love you too” (beuu kawedani, puyayuwa?). Bahkan cemburu pun bukan tanda dari cinta. Ia hanyalah sepenggal egoisme. Cinta itu memberi, bukan menerima, apalagi menuntut. Satu-satunya yang dikehendaki cinta hanyalah kebahagiaan bagi orang yang kita cintai. Mungkin seperti Itu saja kaa...apa?

Pernahkah kau menengadah ke langit dan bertanya, di manakah Tuhan Kau menyimpan kebahagiaan? Tataplah butiran-butiran yang diturunkan ke bumi itu. Bukan, itu bukan sekedar serpihan-serpihan nada. Itu adalah sebuah lantuanan lagu buatmu. Maka rapat pejamkan matamu, lebar bukalah hatimu. Bacalah, manisku. Sebentar lagi kau akan tahu, letak kebahagiaannya. Kekasih seharusnya membawa terbang kekasihnya.
Tidakkah kau ada waktu untuk membalas sapaan angin? Kemarilah sayang, di bawah kelebatan cahaya lilin, aku ingin mengajakmu mendengarkan bisikannya. Sebentar lagi kau akan tahu bahwa puluhan teguk sepi milik kita ternyata adalah mata-mata pisau yang merobek-robek sayap. Kita telah tidak hanya salah jalan. Tulang-tulang kita juga remuk redam begitu parah. Sekarang aku yang merasakan, sebentar lagi kau akan rasakan betapa sakitnya dari semuanya itu.

Waktu yang sedang berjalan ini belum jelas arahnya akan kemana. Mudah-mudahan engkau mengerti.

Tapi jujur kuakui, semua ini terasa perih. Andaikan saja engkau dari tadi menghitung berapa kali aku menarik nafas panjang, kau juga pasti akan tahu betapa ada berton-ton batu di pundakku. Namun seperti yang biasa kau katakan padaku setelah berbincang dengan kupu-kupu, pengorbanan adalah kata kunci dari segala apa yang ingin kita raih. Akankah semua musnah menjadi debu, terbang disapu angin, dan hilang dalam tiada.

“Yang aku tahu, Tuhan tidak pernah meminta kita membayar apa yang kita minta kepada-Nya dengan cara melupakan orang yang kita cintai,” lanjutmu menghempaskanku ke rerumputan, menelanjangi kemunafikanku. Sejatinya, aku pun tidak akan kuasa menghapus sejarahmu dari benakku. Bagaimana itu bisa kulakukan bila hampir di setiap penghujung malam, namamu selalu kusebut di antara puluhan lembar lagu cinta. Aku pun terdiam, dan memang giliranmu untuk bicara.

“Aku tidak tahu harus bicara apa. Ada saatnya kata tidak bisa menjelaskan apa-apa ”
Terasa berat melepaskanmu, jika itu terjadi, seberat langkah gontaimu di senja yang merah ini. Semoga alam raya esok pagi akan menjadi saksi di hadapan-Nya atas apa yang terjadi pada kita hari ini. Aku hanya selalu berharap, agar semuanya kembali seperti semula........... 5emog@!!!

saran, kritik dan curhat boleh kirim lewat e-mail: egeidaby@yahoo.com thank's!!