Pages

Subscribe:

Kamis, 11 Desember 2008

BERAS MENGANCAM MAKANAN LOKAL PAPUA

“Rakyat Diminta Pertahankan Makanan Lokal”

Nabire (Selangkah)-- Data Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua menyebutkan, sejak 1998 tercatat sebanyak 30% penduduk Papua mengosumsi umbi-umbian (petatas), 15% mengosumsi sagu dan selebihnya 55% mengoasumsi beras. Pada tahun 1996-1998, produksi ubi jalar di Papua sebanyak 435.000 ton. Tetapi jumlah ini terus menurun setiap tahun. Pada tahun 1999-2001 hanya mencapai 340.000 ton. Tahun 2003 lebih parah lagi dengan jumlah produksi hanya 250.000 ton. Produksi ubi jalar terbesar di daerah Pegunungan Tengah (Paniai, Puncak Jaya, Jayawijaya, Tolikara, Yahokimo, Pegunungan Bintang, dan Nabire).

Sementara menurut Dr. Josh Mansoben seperti dikutip Tabloid Jubi melalui FokerLSMPapua.org, 28 April 2008, berdasarkan hasil penelitian sejumlah dosen Uncen menunjukkan, kecenderungan masyarakat Papua mengonsumsi beras terus meningkat setiap tahun dibanding makanan lokal. Bahkan, ada sebagian penduduk Papua tidak lagi berupaya menanam pangan lokal, dengan alasan akan membeli beras.

Sedangkan menurut Ir Leonardo A Rumbarar Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua, potensi lahan tanaman pangan dan holtikultura di Provinsi Papua seluas 14.269.376 Ha. Dalam tahun 2006 penggunaan lahan untuk sawah seluas 25.127 hektar dan untuk lahan kering hanya 165.505 hektar.

Adapun sentra tanaman pangan padi-padian terdapat di Kabupaten Merauke, Kota Jayapura, Nabire, Waropen, Kabupaten Jayapura, Sarmi dan Mimika. Sentra tanaman jagung terdapat di Paniai, Keerom, Kota Jayapura, Kab Jayapura, Sarmi, Biak Numfor dan Nabire. Sentra tanaman kedelai di Kabupaten Keerom, Merauke, Jayapura, Nabire dan Sarmi. Sentra tanaman kacang tanah di Kabupaten Merauke, Nabire, Jayapura, Sarmi, Paniai. Sentra kacang hijau hanya di Kabupaten Biak Numfor. Ubi jalar di Kabupaten Jayawijaya, Jayapura, Paniai, Puncak Jaya, Tolokara, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Merauke, Keerom, dan Nabire. Sentra keladi di Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Supiori serta sebagian di Nabire.

Data di atas menunjukkan bahwa masyarakat asli di Papua saat ini mulai beralih konsumsi pangan lokal ke beras yang katanya makanan nasional sebagai bentuk penyeragaman pangan. Hal ini diperparah lagi dengan program Raskin (beras miskin) atau beras jaminan pelayanan sosial (JPS). Sejak ada program Raskin, masyarakat sudah jarang berkebun dan hanya menjual ikan atau hasil tanaman pertanian holtikultura untuk membeli beras murah.

Krisis pangan tampaknya tak akan pernah usai kalau masyarakatnya masih terus diajak mengonsumsi hanya satu pangan saja. Padahal sejak dahulu masyarakat Papua telah mengenal sejumlah makanan lokal, seperti sagu, ubi jalar, keladi, singkong, dan pisang, dan lainnya. Namun yang terkenal selama ini dua jenis makanan yang begitu populer, yakni sagu bagi masyarakat pantai dan ubi jalar untuk masyarakat pegunungan.

Jika disimak ternyata dari hari ke hari makanan lokal itu diabaikan, sebab pemerintah mulai menyosialisasikan pola makan beras. Sedangkan budidaya padi di kalangan petani lokal tidak bisa dikembangkan. Masyarakat Lembah Baliem dan Merauke misalnya, telah mengolah sawah tetapi tak bertahan lama. Masyarakat suku Dani di Kampung Yiwika menanam padi di dalam sawah mereka tetapi merasa banyak menyita waktu sebab malam jaga tikus dan siang usir burung. Pekerjaan mengolah sawah tak seenak membuat bedeng kebun hipere.

Peralihan dari makanan lokal ke beras ini secara jelas dapat dilihat dari data Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura provinsi Papua. Produksi dan kebutuhan padi di Papua tahun 2005-2007 hanya 73.775 ton saja sedangkan kebutuhannya mencapai 297.940 ton. Sedangkan produksi ubi jalar sekitar 307.871 ton sementara kebutuhannya sebesar 284.847 ton. Berarti terdapat kelebihan stok ubi jalar.

Pertahankan Makanan Lokal

Makanan lokal Papua seperti ubi jalar, keladi, pisang, singkong dan sagu sudah dikenal masyarakat sejak nenek moyang. Makanan ini dari turun-temurun dikenal orang Papua. Masyarakat Papua pesisir dan pedalaman menganggap sagu dan ubi-umbian bukan hanya sekedar makanan pokok. Sagu misalnya, memiliki nilai budaya dan tradisi yang sangat tinggi karena mengandung unsur mistis dan magis. Sementara di pedalaman, umbi-umbian tertentu juga mengandung unsur mistis dan magis. Maka berbagai pihak berharap rakyat Papua harus mempertahankan makanan lokal yang telah ada sejak turun-temurun.

”Siapa bilang nasi itu lebih baik dari sagu dan umbi-unbian. Kan, beras dan makanan lokal itu sama-sama mengandung karbohidrat. Memangnya beras itu protein sehingga makanan lokal yang tidak mengandung protein harus ditinggalkan,” kata Ruben Edowai, Tokoh Adat Nabire.
Maka, dirinya berharap, rakyat Papua mulai saat ini harus mempertahankan segala sesuatu yang telah ada sejak dulu, khususnya umbi-umbian. ”Orang Papua gunung telah menemukan ratusan varietas umbi, namun hingga kini mungkin tinggal sedikit. Soalnya adalah pemerintah memanjakan rakyat dengan beras. Ada beras ini dan beras itu. Beras JPSlah Rakinlah itukan sebenarnya mebunuh makanan lokal orang Papua. Sekarang orang pedalaman malas buat kebun. Mereka hanya menunggu beras dari pemerintah. Jika, beras habis, mereka akan makan apa,” katanya.

Sementara itu, katanya, kini orang Papua memandang supermi sebagai barang mewah istrinya beras. ’Sebagian besar rakyat menganggap bahwa, supermi adalah istrinya beras. Beras harus masak berpasangan dengan supermi. Lalu mereka lupa berbagai jenis sayur yang memiliki vitamin tinggi. Sebenarnya, Tuhan itu telah menyediakan banyak makanan bagi orang Papua yang jarang kita jumpai di daerah lain. Jika kita membiasakan diri konsumsi makanan-makanan dari luar itu sama saja kita menolak pemberian Tuhan kepada orang Papua. Orang Papua harus bersyukur kepada Tuhan dengan mempertahankan dan mengonsumsi makanan lokal (umbi-umbian maupun sayuran yang ada),” kata Ruben berharap.

”Sebenarnya, melalui program-program yang merupakan dewa penyelamat itu justru membunuh masa depan rakyat. Program apapun seharusnya benar-benar perhatikan kondisi rakyat. Selama ini, berbagai program jarang perhatikan berbagai perbedaan yang ada di Indonesia. Jakarta buat program yang cocok dengan Jakarta. Begitu program itu sampai di Papua justru membunuh rakyat Papua. Salah satu contoh adalah program Raskin dan JPS,” jelasnya.

Rakyat Papua kini kehilangan segala-galanya, termasuk makanan lokal. Itu disebabkan karena program Jakarta mengindonesiakan orang Papua. ”Dulu, Jakarta bilang seluruh rakyat Indonesia harus makan beras. Katanya, makanan lokal itu, kurang baik. Orang-orang di pedalaman yang tidak tahu menanam padi dipaksakan makan beras. Mereka bilang beras lebih baik dari pada umbi-umbian. Ini satu bentuk pembunuhan masa depan orang Papua yang berbeda cara hidupnya dengan orang Jawa. Jakarta bilang, orang Papua harus hidup sama dengan orang Jawa, mulai dari makanan lokal, budaya, cara berpikir dan lain-lain,” kata seorang yang enggan diebutkan namanya.

Maka, berbagai pihak berharap dengan adanya Otsus, pemerintah daerah sudah seharusnyalah melindungi makanan lokal baik dengan membuat peraturan daerah maupun dengan membuat proyek-proyek percontohan. “MPR dan Gubernur harus mengakomodir hal seperti ini melalui Perdasi dan Perdasus. Kalau kita membiarkan hal ini, makanan lokal akan hilang sementara rakyat asli Papua tidak bisa menanam padi. Jika ini dibiarkan, maka akan terjadi kasus-kasus serupa dengan Yahokimo,” demikian mengemuka dalam sebuah diskusi di Nabire beberapa waktu lalu.

Para bupati diharapkan dapat juga mengikuti jejak mantan Bupati Jayapura Yan Pieter Karafir . Seperti yang dilangsir Tabloid Jubi melalui FokerLSMPapua.org, 28 Apr 2008, mantan Bupati Jayapura Yan Pieter Karafir pernah mengeluarkan SK Bupati tentang perlindungan dan pengembangan sagu alam di Kabupaten Jayapura. Dalam Simposium Sagu di Jayapura (FokerLSMPapua.org, 28 Apr 2008) YP Karafir memperoleh penghargaan karena membudidaya dan mengamankan sagu sebagai pangan lokal bagi masyarakat Papua. [Yermias Degei/Selangkah/dari berbagai sumber/pendidikanpapua.blogspot.com]