Pages

Subscribe:

Rabu, 08 Juli 2009

REKAYASA SEJARAH PAPUA BARAT


Ternyata benar kawan, bahwa sejarah orang Papua Barat itu penuh dengan rekayasa demi kepentingan politik Indonesia. saat ini Indonesia pasti bingung carii akal untuk mencari pembenaran atau untuk menjatuhkan hasil penelitian dari Penelitian Prof P.J. Drooglever tentang Pepera.
Empat tahun yang lalu Indonesia menjadi heboh, karena Pepera yang dilakukan tahun 1969, Menurut kesimpulan Prof P.J. Drooglever dalam Seminar “Act of Free Choice”, di Den Haag, 15 November 2005, waktu membedah buku berjudul “Daad van Vrije Keuze, de Papuans van Westelijk Nieuw Guinea, en de grenzen van het Zelfbeschichtings recht” (tindakan bebas memilih dari orang Papua di Nieuw Guinea Barat, dan batas-batas penentuan nasib sendiri) menyatakan, bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 adalah suatu “manipulasi sejarah”.
Kawan-kawan, kalau teruskan bacaannya ini ada dua konteks yang mendorong penelitian itu, pertama karena Kongres II Rakyat Papua, Mei 1999 mendesak perlunya pelurusan sejarah, karena rakyat Papua merasa jalan sejarahnya menuju kemerdekaan sebagai suatu bangsa, telah dibelokkan oleh kepentingan politik Jakarta. Kedua, tampilnya Gus Dur sebagai pemimpin Indonesia yang lebih demokratis.


Drooglever menyebut Sekjen PBB waktu itu, U Thant, dalam laporan akhirnya kepada Majelis Umum PBB, tidak punya pilihan lain kecuali menyimpulkan Pepera 1969 itu adalah suatu penentuan pendapat rakyat. Jadi sebetulnya dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962 diputuskan suatu proses plebisit, tapi belakangan diubah menjadi the act of free permasalahan di lakukan dengan kekerasan choice, yakni hak untuk menentukan nasib Papua. Jelas sudah setingnya dirubah Indonesia. Ortiz Sans, yang ditugaskan PBB untuk mengawasi Pepera, meragukan the act of free choice atau Pepera itu bisa dilakukan oleh penguasa Indonesia. Artinya, apakah benar-benar sesuai dengan asas yang diakui oleh dunia internasional. Ortis Sans menyatakan proses itu bukan suatu act of free choice. Jadi dia mengambil jarak terhadap apa yang terjadi di Papua, dan sikap itu juga diambil oleh Sekjen PBB U Thant. Ini berarti pula ada keberatan yang serius darii masyarakat internasional.
Menurut, Drooglever, act of free choice adalah suatu peristiwa historis di abad modern ini, sebagaimana dialami oleh masyarakat di Papua, tatkala oleh kekuatan super power seperti Amerika Serikat, di era perang dingin 1962-1969, melakukan suatu konspirasi politik tingkat tinggi dengan Indonesia, untuk mengamankan rencana Jakarta, memenangkan act free choice bagi kepentingan Indonesia.
Masyarakat dunia kini dapat mendengar dan menyaksikan seorang mahaguru yang berhasil mengungkapkan sebuah kebenaran sejarah yang terkubur selama 43 tahun. Kebenaran itu kini tersingkap, betapa rakyat Papua terpaksa menelan pil pahit, karena janji untuk berdaulat sebagai negara yang merdeka telah berubah menjadi suatu tragedi kemanusiaan. Mengapa hal ini terjadi? Biasanya bangsa penjajah memandang rendah masyarakat asli. Drooglever mengungkapkan fakta di masa lalu, bahwa orang Papua dipandang lebih rendah oleh orang Ambon dan Kei. Dan sampai saat ini kita mungkin masih di pandang bodoh ini tidak benar, maka mari kita melawan stigmatisasi bodoh dan stig matisasi separatis yang terus dibangun Indonesia untuk melenyapkan kebenaran sejarah sang Bintang Kejora yang telah di kibarkan pada 1 Desember 1969.
Kawan, selama Orde Baru Rezim militer menguasai Indonesia. segala militer, termasuk dalam Proses Integrasi Papua Barat yang melalui berbagai operasi militer, juga pelaksanaan Pepera dilakukan dalam tekanan militer. Ketika itu Ortiz Sans melaporkan kepada Sudjarwo Tjondronegoro bahwa terjadi perlakuan yang tidak benar oleh petugas Indonesia, termasuk militernya, Tjondronegoro, sebagaii pengantara UNTEA dan Indonesia, menganggapnya pantas untuk ditanggapi. Niat untuk melakukan suatu act of free di Papua, secara sistematis dan berencana dialihkan ke suatu proses yang direkayasa oleh Jakarta, tentu dengan kekuatan militernya
Ortiz Sans tidak diperkenankan mengambil peran yang signifikan dalam proses persiapan maupun ketika diimplementasikan Pepera pada Juli-Agustus 1969. Drooglever mencatat semua saksi orang Papua, para wartawan luar negeri, para diplomat, khususnya para pengamat mancanegara, menyimpulkan apa yang terjadi dengan act free choice dalah tindakan yang memalukan. Tjondronegoro dipandang sebagai artistek yang cerdik dan tangkas memanfaatkan Pepera untuk kepentingan Indonesia.
(Hasil Penelitian Prof P.J. Drooglever)




Rabu, 10 Juni 2009

Hidup Yang Tak Menentu


Di saat sekarang ini
ku hanya duduk dan termenung sendiri
mencari jawaban atas pertanyaan
untuk kesempurnaan kehidupan

hanyalah sebatang rokok menemaniku
dalam hidup yang tak menentu
ku terkulai dan tak berdaya
hawa panas begitu sakit dan membakar
dalam setiap lamunanku



ketika ku beranjak pergi
dari kegalauan seorang pemberontak
kegelapan tetap menyelimuti

walau tanpa penerangan ku coba tuk bertahan
dari segala pujian
semua yang ku punya hanya milik - Mu
diri ini mahluk yang tak punya apapun

hanya iman yang lemah
setiap saat terus dan terus tidak akan menyerah
kembali ku di samping-Mu
tuk dapatkan kesucian dari segala kemunafikanmu

Kamis, 04 Juni 2009

2010, Gaji Guru Bakal Melebihi PNS Lain


JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa gaji pendidik, guru, dan dosen akan mengalami kenaikan hingga lebih dari 50 persen pada 2010.

"Dengan adanya kenaikan anggaran pendidikan menjadi minimal 20 persen dari belanja negara, yang mendapat cukup banyak adalah para pendidik, guru, dan dosen," kata Menkeu di Gedung DPR Jakarta, Rabu (3/6).


Menkeu menyebutkan, kenaikan gaji PNS dan anggota TNI/Polri pada 2010 hanya akan mencapai 15 persen, itu pun termasuk uang lauk pauk.

"Khusus untuk pendidik, guru, dan dosen, kenaikannya akan lebih dari 50 persen dan akan dihitung berdasarkan golongannya," katanya.

Menurut Menkeu, yang juga agak aneh adalah bahwa pemerintah melalui APBN juga harus membayar tunjangan profesi kepada pendidik, guru, dan dosen swasta. "APBN juga harus membayar tunjangan profesi guru dan dosen non-PNS asal mereka bersertifikat. Ini mengikuti ketentuan UU tentang pendidikan," katanya.

akankah itu benar-benar terjadi.....?? kita tunggu saja....

sumber berita: http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/06/04/09471267/2010.gaji.guru.bakal.melebihi.pns.lain,

sumber gambar: http://smaterunabakti.files.wordpress.com/2009/05/cimg0071.jpg

Jumat, 22 Mei 2009

Papua Dalam Bayang-Bayang Pelanggaran HAM


Hak asasi manusia merupakan hak dasar atau hak kodrat yang di bawah oleh setiap orang sejak lahir. Untuk itu hak-hak ini perlu di junjung tinggi dan di hormati oleh setiap orang.
Matius Murib, Ketua (KONTRAS) Papua kepada Jubi tahun lalu di Jayapura mengatakan para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ini berpotensi tapi mau bagaimana lagi, mereka masih terus dikorbankan. “Sekarang ada Undang-undang baru No. 18 tahun 2008 dan ini juga membuka ruang bagi perorangan untuk duduk di partai politik, itu juga merupakan hak politik seseorang hak asasi seseorang tidak boleh ditekan terus menerus harus beri ruang untuk mereka,”tutur Murib.
Menurut Murib kekerasan yang terjadi di Indonesia dan khususnya di Papua, sampai saat ini belum ada satu kasus pun yang diadili di peradilan Indonesia. “Kasus yang satu-satunya baru dibahas dan dibawa sampai ke pengadilan Makasar yaitu Kasus Abepura berdarah, 07 Desember tahun 2000, tetapi keputusannya sangat mengecewakan korban. Pelakunya dibebaskan, malah pangkatnya dinaikkan dan dihormati sebagai pahlawan yang berhasil membunuh musuhnya,” ujar Murib heran.
Korban pada saat itu khususnya orang Papua lanjut Murib tidak dilihat lagi sebagai manusia, tetapi hanya dilihat sebagai separatis musuh Negara yang harus dihabiskan. “Padahal kalau mau di lihat dalam kasus 7 Desember tahun 2000 itu, para korban mayoritas petani, ibu-ibu, mahasiswa, bahkan ada pelajar anak perempuan yang baru berumur 7 tahun,”ungkap Murib..
“Masa orang seperti ini harus di cap dan distigmakan sebagai separatis atau musuh Negara. Seharusnya Negara melihat korban pelanggaran HAM sebagai manusia yang harus dilindungi, tetapi malah sebaliknya, Negara melihat korban pelanggaran HAM sebagai musuh negara atau separatis yang harus diberantas,” ujar Murib tegas.



Dijelaskannya, saat ini untuk menemukan keadilan sangat sulit di Peradilan Indonesia secara umum. Khususnya korban di Papua tidak ada kebebasan untuk menyampaikan hak-haknya melalui peradilan, karena semua lini sudah di kuasai oleh militer dan polisi. Kasus Biak berdarah sampai saat ini kasusnya sudah tiba di Komnas HAM tetapi masih tarik ulur antara Komisi Nasional (Komnas) HAM dengan Mahkamah Agung, belum sampai tingkat peradilan, begitu juga dengan kasus enam belas (16 ) Maret, sampai saat ini belum diselesaikan. Baru satu saja yang di selesaikan yaitu kasus Abepura berdarah, 7 Desember tahun 2000, kasus ini yang sudah diselesaikan dan dinaikkan ke peradilan Makassar.
Sedangkan kasus Biak berdarah, kasus enam belas Maret Abepura berdarah, Kasus Wasior, dan Kasus Wamena berdarah sampai saat ini belum dinaikkan sampai ke pengadilan. Jadi secara umum di Papua itu ada tujuh kasus pelanggaran HAM besar, diantaranya kasus Biak, Wamena, Abepura, Wasior dikategorikan sebagai Kasus pelanggaran HAM berat. Namun dari tujuh macam kasus itu, baru satu kasus saja yang diselesaikan, yaitu kasus Abepura berdarah 07 Desember tahun 2000. Kemudian untuk hasil sidang di Jenewa menurut Murib pihaknya sampai saat ini belum mendapatkan hasil sidang tersebut. Namun kata dia Kontras secara nasional dan internasional lembaga ini didirikan untuk memperjuangkan masalah-masalah pelanggaran HAM, sampai kapan pun dan juga tetap memperjuangkan kasus-kasus pelanggaran HAM khususnya di Papua.
Lanjut Murib, Sampai saat ini korban pelanggaran HAM belum mempunyai kebebasan untuk menyampaikan hak-hak mereka. Mereka bingung mau sampaikan lewat saluran mana, karena seluruh saluran itu sudah dikuasai oleh Negara dan menjadi milik negara, sehingga yang bisa mereka lakukan yaitu hanya berdoa dan berharap kepada Tuhan.
“Kelihatannya tidak ada lembaga yang membuka diri untuk menerima mereka, mau mengatakan mari saya akan memberikan rasa keadilan yang selama ini kamu cari, saat ini cukup sulit. Baik secara individu atau lembaga sampai saat ini tidak ada yang menjamin, termasuk Komnas HAM sendiri tidak jelas dan serius untuk menangani setiap kasus,”jelas Matius Murib.
Murib menambahkan, sampai saat ini posisi para korban masih sangat terancam, mereka masih trauma dan sangat tidak jelas. Para korban masih berjuang sendiri, mereka hanya bisa lakukan juga yaitu ; kumpul-kumpul, berdoa dan saling bagi pengalaman antara korban dan korban. “Negara sangat tidak memberikan mereka kebebasan. Karena ketika mereka mau mengatakan hak mereka, langsung di stigma sebagai separatis sehingga tidak mungkin,”tambah Murib.
Sedangkan salah satu korban pelanggaran HAM, Peneas Lokbere yang juga menjabat sebagai Koordinator Komunitas Survivor Abepura (KSA), menanggapi hasil sidang di Jenewa pada bulan April-Juni, mengatakan setiap delegasi dari Indonesia yang jelas Pemerintah, mereka menyampaikan masalah-masalah nasional. “Mereka membicarakan kondisi pelanggaran HAM di Indonesia secara nasional. Apa yang disampaikan disana tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi, bisa dibilang itu juga termasuk kepentingan Negara dan membela diri, padahal tindakan yang dilakukan itu sangat tidak manusiawi,”ujar Lokbere.
“Contoh saja Menteri Dalam Negeri, belum melihat sendiri kasus-kasus yang terjadi, di Papua mau pun di daerah lain, tetapi hanya melihat kasus-kasus tersebut lewat surat-surat kabar yang ditulis, sehingga data data yang disampaikan pada saat sidang PBB disana itu tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi di Papua dan daerah lainnya. Waktu itu Ketua Komisi yang mewakili Indonesia ke Swiss waktu terlalu banyak janji akan menyelidiki para penegak hukum, dan Komnas HAM untuk mendesak Presiden agar ada penekanan-penekanan dan keputusan hakim ada keadilan bagi para korban, contohnya seperti kasus Abepura berdarah,” ujar Peneas Lokbere.
“Kasus Abepura berdarah itu harus ada tindakan-tindakan kepada para korban, itu bisa ada keadilan bagi para korban tetapi ternyata memang keputusan hakim itu sangat mengecewakan korban. Pelaku dianggap sebagai pahlawan yang menyelamatkan negara sehingga dia bisa mendapatkan penghargaan dengan kedudukan yang lebih tinggi, naik pangkat, itu suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi, sementara para korban tetap dipersalahkan,” ungkap Peneas lokbere.
Menurut Peneas keputusan hasil sidang di Swiss Jenewa itu tidak sesuai, ada beberapa poin-poin yang mereka abaikan, perwakilan dari Indonesia yang mengikuti sidang sebenarnya mempunyai maksud untuk menegakan HAM di Indonesia ini, hasil kerja mereka tidak jelas. .
Lebih lanjut kata Pineas ada sekian banyak kasus pelanggaran HAM di Papua dari sejak tahun 1960 an sampai 2006, banyak kasus ini pemerintah tidak serius untuk menyelesaikannya. “Kasus Abepura 2000 itu suatu peluang ini menjadi contoh bagi kasus pelanggaran HAM di Indonesia.Tetapi orang-orang yang menyelesaikan kasus ini tidak menegakan hukum. “Itu merupakan pengalaman, dengan adanya pengalaman itu, kami para korban mulai melakukan Forum korban dari tanggal 05- 10 Maret 2007,” ungkap Lokbere
Dikatakan, dalam Forum itu ada beberapa point penting yang menjadi komitmen kami untuk tetap dilakukan antara lain; Pertama, setiap momen terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. “Kami akan mengadakan kegiatan kampanye publik. kami terus mengingatkan kepada publik bahwa kasus ini belum selesai. Sehingga setiap kali terjadi pelanggaran HAM kami terus melakukan kampanye, kampanye atau publikasi kasus-kasus itu bukan hanya di Jayapura, tetapi di Biak, Wamena, dan Timika, Jayapura sebagai central,”tegas Lokbere.
Kedua, membangun solidaritas para korban, karena selama ini korban jadi diam atau membisu hanya mengharapkan ada pertolongan mungkin ada pertolongan dari LSM atau Pemerintah yang membantu.
“Kami hanya ingin agar peristiwa itu membuat kami untuk membangun solidaritas agar jangan terkesan kami mau berjuang untuk mempertahankan hak-hak kami,” tegas Lokbere.
Ketiga, melakukan suatu dorongan kepada Pemerintah Daerah agar perlu mengeluarkan Peraturan Daerah yang menyangkut hak-hak korban pelanggaran HAM. “ Kami para korban berbicara itu berdasarkan peraturan yang ada, karena selama ini tidak ada, sehingga korban itu diabaikan begitu saja,” urai Lokbere.
Lanjut Lokbere, Pelaksanaan dari keputusan itu sudah dilakukan tahun 2007, dan sudah melakukan peringatan-peringatan untuk semua kasus, tetapi bentuk atau jenis-jenis kegiatan yang biasanya yang kami lakukan tidak hanya satu tetapi selang seling, biasanya dalam bentuk aksi, pawai obor, konferensi pers, dan juga melakukan audensi dengan Pemerintah bahwa kasus ini belum selesai.
Kemudian kata Lokbere pada bulan Maret 2008 lalu telah melakukan pertemuan forum korban kedua di Biak tanggal 26-28 dalam forum ini berhasil membentuk satu wadah korban yang namanya Bersatu Untuk Kebenaran (BUK). Lembaga ini menjadi pos-pos kontak di setiap Daerah. Kasus Wamena tahun 2003, Abepura 15 maret 2006, tempat itu yang menjadi pos-pos kontak , sedangkan sentral ada di Jayapura. “ Selain itu kita dapat juga membangun kapasitas melalui building capacity,” ujar Lokbere.
Dalam kapasitas building pihaknya juga melakukan pelatihan ketrampilan-ketrampilan yang menyangkut dengan HAM, pelatihan-pelatihan mengenai cara membuat laporan, ini yang menjadi kebijakan dalam BUK. “Jadi sementara ini kami mempersiapkan akte notaris dan persiapan administrasi lain untuk BUK. Para korban itu yang terjadi dalam kejadian-kejadian itu biasanya dua atau tiga orang itu ditembak Sebagai contoh saja kasus Abepura berdarah itu korban dulunya ada 105 orang, tiga diantaranya lebih awal meninggal, tetapi sampai sekarang sudah mencapai 11 orang. Salah satunya Mundo Suplayo dia mendapat penindasan permanen, Mundo dipukul ditulang belakangnya sampai patah akhirnya dia mengalami penderitaan sampai mati, ini sebenarnya menjadi tanggung jawab Negara,” ujar Lokbere.
Orang biasanya membela HAM di Papua, namun kata Lokbere biasanya pembicaraan mereka tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Papua, jadi korban-korban di atas korban. “Ada orang lain yang mempunyai tujuan baik tetapi kadang-kadang di siksa dan dibunuh. Itu yang membuat selama ini kami membuat sebuah lembaga kecil. Selama ini korban masih berusaha untuk memperjuangkan hak-haknya namun tidak secara langsung tetapi kami masih di dorong oleh LSM, seperti FOKER LSM, Kontras, dan PBI di Jakarta,”ujar Lokbere.
Harapan Lokbere memang tidak banyak tetapi yang terpenting adalah agar harus mengembalikan hak hak yang telah hilang dan dirampas.” Sebab hak dan martabat manusia ini tidak ada perbedaan diantara kita itu semua sama, tetapi kenapa hak-hak korban itu tidak dianggap sebagai nilai sebagai manusia dan itu yang kami tuntut dari Pemerintah dan Negara, pengembalian nama baik. Terutama orang Papua karena pada umumnya itu provokasi oleh Negara, yang menjadi korban adalah orang yang tidak tahu menahu merekalah yang menjadi korban. Harus ada keadilan bagi kami dan pengakuan dari Negara bahwa mereka adalah korban pelanggaran HAM. Karena selama ini negara masih harus mencap sebagai separatis dan siksa terus sampai mati,” ujar Lokbere. (Musa Abubar)
Sumber: http://id.wordpress.com/tag/jubi-utama/

Kamis, 21 Mei 2009

Kebenaran Itu Paradoks


Jakob Sumardjo

Realitas ini akan mengejutkan manusia modern, karena kita terbiasa hidup dalam kebenaran tunggal. Hidup dalam paradigma menang-kalah. Yang menang adalah yang lebih banyak, lebih kuat, lebih kaya, lebih pandai berartikulasi. Siapa menang akan benar. Yang kalah itu tidak benar.

Hidup ini adu kekuatan, perang. Dan perang membutuhkan konflik. Dan konflik adalah perbedaan-perbedaan. Di mana tumbuh perbedaan-perbedaan, maka di situ muncul konflik. Setiap perbedaan mengklaim dirinya benar. Dan karena setiap kebenaran itu ingin hidup dan berkembang, sebagai hak asasi, maka yang terjadi adalah perang-kebenaran. Kebenaran yang lebih kuat akan menggencet dan menyingkirkan kebenaran yang kalah. Itulah cara berpikir kita sekarang ini.

Perbedaan adalah pluralisme, suatu bhinneka. Pluralisme adalah kodrat, alamiah, di luar kuasa manusia. Lihatlah langit, ada matahari, bulan, dan aneka ragam bintang-bintang. Lihatlah alam dunia ini, ada gunung dan dataran rendah, ada daratan ada hutan, ada hulu dan ada hilir, ada siang dan ada malam.

Pluralisme juga ada dalam kebudayaan manusia. Cara berpikir orang-orang di kutub berbeda dengan cara berpikir orang-orang di khatulistiwa. Cara berpikir orang padang rumput berbeda dengan cara berpikir (dan cara hidup) orang rimba raya. Cara berpikir alam dua musim berbeda dengan yang empat musim. Cara berpikir orang dagang berbeda dengan cara berpikir orang tani. Kebenaran kaum pemburu berseberangan dengan kebenaran kaum tani.


Sejarah perang kebenaran

Pluralitas adalah realitas yang tidak dapat direduksi menjadi kebenaran tunggal. Sejarah penderitaan manusia adalah sejarah perang kebenaran untuk menduduki tempatnya yang tunggal di dunia ini. Dan tidak pernah tercapai. Tampaknya sudah tercapai, tetapi umurnya tidak panjang, karena realitas itu kebhinnekaan.

Namun, manusia tidak pernah belajar dari sejarah dirinya sendiri. Konflik kebenaran tetap dilanjutkan dengan perang kebenaran. Manusia itu musuh bagi sesamanya. Dan musuh itu harus dilenyapkan karena merupakan gangguan dan ancaman bagi dirinya. Manusia ingin hidup dengan kebenarannya sendiri sambil menafikan kebenaran yang lain. Seandainya ini pun terjadi, maka kebenaran tunggalnya itu pun lambat laun akan menumbuhkan dirinya dalam kebenaran plural. Sejarah manusia telah membuktikan hal ini berkali-kali.

Mengapa manusia bisa keras kepala, ndableg, seperti itu? Karena kehendak bebasnya, karena kebebasan pikirannya. Engkau boleh memenjarakan badannya, menyakiti dan mengancamnya, tetapi engkau tidak mungkin melenyapkan pikirannya.

Kebenaran tunggal itu melawan kodrat manusia sendiri. Kebenaran tunggal itu antikebebasan, bahkan untuk dirinya sendiri. Kebenaran tunggal adalah pembekuan pikiran. Mandek. Tertutup dan sumpek. Manusia-manusia tertutup seperti ini membuat dunia berhenti kehilangan cakrawala. Manusia bukan manusia lagi, hanyalah kawanan bebek atau kerbau yang menuruti lecutan si pemilik kebenaran.



Kearifan lokal

Ada cara berpikir lain milik kearifan lokal Indonesia, terutama manusia Indonesia yang nenek moyangnya hidup dari pertanian. Indonesia adalah ribuan pulau di khatulistiwa dengan aneka ragam hayati dan geografi. Apa pun yang ada di dunia ini ada di Indonesia. Hutan, gunung, sungai, rawa-rawa, laut, teluk, tanah genteng, bantaran, padang sabana, padang pasir, padang tandus, tundra, salju. Gempa, gunung api, tanah longsor, tsunami, tanah turun-ambles, semua ada di Indonesia.

Manusia Indonesia melihat itu semua tetapi tidak melihat. Namun, nenek moyang orang Indonesia melihat apa yang dilihatnya, karena mereka hidup bergantung pada alam ekologinya. Mereka bukan hanya mampu melihat ekologi, tetapi juga mampu membaca ekologi. Mereka hidup dengan alam, bersama alam, dan dalam alam. Bahkan menjajarkan dirinya dengan alam. Dan alam itu bukan obyek mati yang bisa dibikin semena-mena oleh manusia. Alam itu seperti manusia yang dapat murah hati, penuh kasih sayang, tetapi juga dapat marah, merusak dan mematikan.

Manusia mengenal kasih sayang dan kebencian, begitu pula alam. Kasih sayang itu menumbuhkan kehidupan, sedangkan kebencian itu merusak kehidupan. Kasih sayang dan kebencian adalah pola hubungan dua pihak. Cinta itu muncul antara yang mencinta dan yang dicintai, begitu pula kebencian. Nenek moyang Indonesia menyadari pluralisme ini, perbedaan-perbedaan ini, kemungkinan-kemungkinan konflik ini. Manusia Indonesia lebih memihak kepada kehidupan yang plural ini. Pluralisme adalah realitas, tanpa kebhinnekaan hidup akan berhenti, mati, pluralisme adalah hidup ini sendiri.

Bagaimana Anda dapat hidup bersebelahan dengan orang yang memusuhi Anda karena kebenaran kita berbeda? Untuk apa menang kalau yang lain tak ada? Kemenangan selalu membutuhkan kekalahan. Kehidupan dalam kebenaran tunggal hanya mungkin kalau yang lain itu kalah dan dimatikan. Kearifan lokal Indonesia menolak menang dan kalah, karena berpihak pada prinsip kehidupan. Jadi, banci dan tak punya prinsip? Justru prinsipnya memihak kepada kehidupan yang plural ini. Membunuh kebenaran yang lain itu jahat, tidak etis. Lha, bagaimana itu mungkin?

Itulah kebenaran paradoks. Kalau kebenaran saya berseberangan dengan kebenaran Anda, maka masing-masing dari kita harus memparadokskan diri. Saya mengenal dan memahami kebenaran Anda, dan Anda juga mengenal dan memahami kebenaran saya. Karena saya mengenal Anda, maka saya akan melakukan atau tidak melakukan hal-hal yang Anda sukai atau Anda tidak sukai. Begitu pula Anda.

Justru itu dilakukan untuk mempertahankan prinsip masing-masing. Dalam memahami yang lain, diri masing-masing tidak berubah. Saya tetap saya, dan Anda tetap Anda. Itulah yang terjadi dalam kebenaran paradoks. Kondisi paradoksal itulah yang akan menyelamatkan prinsip kita masing-masing, karena saya tahu apa yang Anda mau dan Anda tahu apa yang saya mau. Dan karenanya kita dapat bersikap yang dapat menghindarkan konflik.



Kebenaran baru

Sikap paradoks seperti ini tak akan terjadi kalau kita tidak membuka diri. Manusia tertutup tak mungkin hidup tanpa konflik, karena manusia ini buta. Melihat tetapi tidak melihat. Manusia paradoks adalah manusia terbuka tetapi tetap mempertahankan kebenaran sendiri. Manusia Indonesia lama itu bukan jenis manusia sintesis, banci, dan mencla-mencle. Kebenaran saya tetap ingin hidup, dan kebenaran Anda juga tetap ingin hidup. Bagaimana hidup itu sendiri mungkin kalau saya mematikan Anda atau Anda mematikan saya? Saya tidak rela mati dan Anda juga tidak rela mati atau dimatikan. Apakah hak hidup ini hanya untuk kebenaran saya saja?

Jadi, nilai kebenaran Indonesia itu paradoks. Tepo sliro manjing ajur ajer. Subyek menjadikan dirinya obyek. Manusia memasuki pikiran yang lain. Manusia menjadikan dirinya seperti alam. Saya tahu bagaimana alam akan memberikan kasih sayangnya kepada saya, dan saya juga tahu bagaimana alam akan marah dan membinasakan diri saya. Saya tahu bagaimana Anda akan memberikan kasih sayang Anda kepada saya, dan saya juga tahu bagaimana saya dapat membuat Anda marah.

Inilah kearifan harmoni itu. Harmoni hanya dapat dicapai dengan mengembangkan sikap paradoksal. Membuka diri untuk yang lain. Harmoni bukan sintesis peleburan yang melenyapkan kebenaran masing-masing. Artinya rela melenyapkan kebenaran sendiri dengan membentuk kebenaran baru yang merupakan sintesis kebenaran baru. Inilah sebabnya banyak tokoh tidak berhasil ketika berusaha membentuk agama baru dari campur aduk berbagai agama.

Harmoni itu tidak menetap dan konstan. Harmoni dicapai lewat paradoks ketika gejala konflik memanas. Lalu kembali ke diri masing-masing. Hidup memang berpotensi konflik, tetapi konflik itu tidak konstan. Tegang terus itu tidak baik.

Jakob Sumardjo Esais (Kompas. Sabtu, 26 Agustus 2006)

Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/26/opini/2903841.htm

Senin, 18 Mei 2009

IKATAN PELAJAR DAN MAHASISWA DOGIYAI (IPMADO) SE-JAWA DAN BALI MENGGELAR KONGRES I



“Menata Untuk Membangun”, bunyi kata tersebut adalah Motto IPMADO yang berhasil diputuskan dalam kongres I Ikatan Pelajar dan Mahasiswa dan Mahasiswa Dogiyai. Kongres ini berlangsung di Asrama “Koteka” Semarang (16/5/09). Doa pembukaan oleh Marian Douw Mahasiswa asal kota studi Semarang, pada pukul 08.45. menandakan kongres tersebut dimulai. Sebagian besar Pelajar dan Mahasiswa yang datang dari berbagai Kota Studi seperti Yogyakarta, Jakarta, Bogor, Bandung dan Semarang sudah siap untuk melanjutkan kongres tersebut. Dalam kongres yang berlangsung sederhana tersebut Pelajar dan Mahasiswa dari kota studi Surabaya, dan Malang belum sempat menghadiri karena mengingat kesibukan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Moderator yang dipimpin oleh Marthen Douw memberikan kesempatan kepada Ketua Ipmado Kota studi Semarang Leonardus Yonine Magai, yang mana menjadi Tuan Rumah untuk menyampaikan kata sambutan.



Usai kata sambutan dari ketua IPMADO Semarang dilanjutkan dengan beberapa kata sambutan seperti dari Ipmado Pusat yang diwakili oleh Sekretaris (Mateus Ch. Auwe) dan Senioritas (Sesco Dimi). Kata sambutan pun berlalu seiring berjalannya waktu dan kini Moderator yang juga adalah Mahasiswa Jurusan Ekonomi Manajemen UDINUS Semarang memberikan kesempatan untuk melanjutkan perkenalan. Dalam Kongres yang dihadiri oleh Ketua Hipmapas (Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Papua Semarang) Dujan Kogoya itupun dimulai.

Pada acara inti, pertama-tama mengubah struktur dan mekanisme organisasi dari Korwil menjadi kota studi. Korwil yang mana sebelumnya terbagi dalam empat korwil masing-masing Korwil I (Yogyakarta, Solo dan Purwokerto), Korwil II (Surabaya, Malang dan Bali), Korwil III (Semarang, Ungaran dan Salatiga), Korwil IV (Jakarta, Bogor dan Bandung). Dikarenakan jarak yang menghubungkan satu kota studi dengan kota studi lain dan juga karena masing-masing anggota mempunyai kegiatan di kampus maupun diluar kampus. Namun IPMADO Pusat yang membawahi seluruh kota studi yang sementara berkedudukan di Yogyakarta tetap berjalan (perubahan hanya ganti Korwil menjadi Kota Studi).

Perubahan AD/ART dilanjutkan seusai struktur dan mekanisme organisasi di dirubah. Hingga pada agenda berikut tentang persiapan Pengadaan Buku dan Pengembangan Pendidikan di Kabupaten Dogiyai tanggal 15-20 Juli mendatang. Pengadaan Buku dan Pengembangan Pendidikan yang mana dari IPMADO Pusat memberikan tanggung jawab kepada kota Studi Semarang untuk bertanggung jawab dari persiapan hingga pelaksanaan nanti. Dalam proses persiapan Leonardus Magai yang juga Mahasiswa Fakultas Kesehatan UDINUS Semarang memberikan tanggung jawab kepada seluruh anggota Dogiyai yang tersebar di Jawa dan Bali dalam bentuk sumbangan buku SMP dan SMA. Sumbangan buku ini agar disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku saat ini kata Leo. Disamping sumbangannya dijalankan diminta agar bekerja sama dalam bentuk bantuan buku.

Pada pukul 21.36, doa dari Kristianus Douw menutup kongres yang digelar tersebut. Masuk distudio music oleh beberapa anggota kongres yang memunyai bakat dibidang music, sekaligus refresing. [Amoye Egeidaby].

sumber: http://egedy-news.blogspot.com

Selasa, 12 Mei 2009

Ketika Kebenaran Bicara

aku berbicara atas nama kebenaran
aku berteriak atas nama ketulusan
aku bertahan atas nama kemuliaan
aku akan terus berjuang atas nama kesucian

kuharap matamu mampu melihat
kuharap telingamu mampu mendengar
kuharap kau mampu berfikir
dan membuka hati nurani mu


janganlah kau tutup matamu
janganlah engkau menutup telinga mu
janganlah engkau sempitkan fikiran mu
dan... janganlah engkau ingkari hati nurani mu

marilah kita berbicara dengan kebenaran
berteriak atas nama ketulusan
dan melangkah dengan hati nurani.

Freedom.......(Egeidaby)

Mengembangkan Pertanian Berpindah-pindah, Perlukah?


Egeidaby--Kalau kita bicara tentang pertanian, maka perlu kita tanyakan apa itu pertanian? Pertanian adalah berasal dari kata dasar Petani yang menunjukan pekerjaan kepada mereka yang biasanya berhadapan dengan alam. Pekerjaan yang dilakukan seorang petani adalah mengolah lahan, menanam, merawat dan puncaknya yaitu panen. Atau juga pertanian merupakan usaha rakyat yang sangat akrab dengan kehidupan masyarakat desa, kenapa demikian? Sebab usaha pertanian membutuhkan areal/ lahan yang cukup untuk diolah. Saat ini lahan pertanian semakin berkurang, banyak factor yang menyebabkan itu terjadi seperti pembangunan areal perumahan, komplek pertokoan, pusat perbelanjaan dan lain-lain. Bila kita cermati bersama bidang prtanian memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup manusia. Hidup sehat, makanan, tempat tinggal dll semuanya di dapat dari alam. Alam merupakan tempat usaha pertanian berlangsung.


Pertanian yang dikenal oleh rakyat Papua adalah pertanian tradisional, karena dari awal hingga saat panen dilakukan secara tradisional. Memang Pertanian ini bagi rakyat Papua telah dikenal atau sudah dikenal sejak nenek moyang. Awalnya dari pertanian berpindah-pindah dan mengalami proses dan akhirnya pertanian menetap. Pada tulisan kali ini saya akan mencoba menjelaskan tentang pertanian yang pada masa kini jarang kita temukan, yaitu pertanian berpindah-pindah. Pertanian berpindah-pindah pada masa kini tidak semua orang dilakukan dan biasanya pertanian semacam ini dilakukan pertanian sampingan atau pelengkap. Oleh karena itu pertanain seperti ini dibuat hanya pada saat-saat tertentu saja. Yaitu untuk menjaga kelestarian bibit-bibit tanaman yang hampir punah. Pada pertanian berpindah-pindah ini, tanaman yang sering ditanam yaitu tanaman yang hampir punah, atau tanaman-tanaman tertentu yang jarang dijumpai pada pertanian menetap. Jenis tanaman yang biasanya ditanam pada pertanian tersebut adalah jenis tanaman yang sudah ada sejak zaman dahulu dan ditanam secara turun temurun dari generasi ke generasi. Jenis-jenis tanaman tersebut antara lain: sayur hitam(digiyo naapo), keladi (nomo), nota kadaka, yatuu, buah-buahan (tali maupun jenis buah lain), dan lain sebagainya.
Disamping itu tempat dan cara untuk membuka lahan baru untuk pertanian semacam ini berbeda dengan pertanian yang biasa kita jumpai. Lahan untuk pertanian ini biasanya di dataran yang tinggi. Disebabkan karena jenis tanaman tersebut di atas cocoknya tumbuh di dataran yang tinggi dan berhawa dingin. Untuk pertanian seperti ini sudah dilakukan dan jenis tanaman yang biasanya ditanam pun sama, tidak tahu kenapa jenis tanaman seperti ini hanya ditanam pada pertanaian berpindah-pindah. Adalah karena dilatarbelakangi oleh hawa dan untuk menjaga kelestarian jenis tanaman yang langka dan mulai punah, sehingga di tanam pada pertanian yang sulit dijangkau banyak orang.
Cara membuka lahan baru, biasanya diawali dengan membersihkan bagian yang akan dijadikan kebun. Kemudian dilanjutkan dengan memagari wilayah yang akan dijadikan kebun, atau sebaliknya juga memagari terlebih dahulu wilayah yang akan dijadikan kebun kemudian lahannya dibersihkan. Jenis pertanian ini sangat identik dengan tradisional sehingga sebelum menanam tanaman biasanya diawali dengan membakar tanaman liar hasil pembersihan lahan sebelumnya (yabautuu). Kemudian dilanjutkan dengan penanaman bibit yang telah disediakan. Cara penanaman tanaman dari pertanian seperti ini yaitu menggunakan alat tradisional (wadi) untuk pengganti skop atau alat sejenis lainnya. Dan alat ini berfungsi hanya melubangi pada tanah (bagian) yang akan ditanam tanamannya. Bibit yang akan ditanam pada daerah yang biasa terkena sinar matahari adalah nota, nomo, dan beberapa jenis tanaman yang mampu bertahan terhadap sinar matahari. Sedangkan bibit tanaman yang lain seperti, meakakade, tuda, yatu, dan beberapa jenis tanaman lain ditanam dekat pohon yang telah ditebang (piya uto) atau di pinggir pagar.


Karena pertanian ini tak luput dari gangguan luar seperti: manusia, binatang buas dan lainnya, sehingga untuk menjaga datangnya gangguan ini, sering atau bahkan hampir setiap pertanian dipagari. Cara memagarinya tergantung dari keadaan lokasi. Misalnya; pada bagian yang rata biasanya ditanam pagar, sedangkan pada bagian yang sulit untuk menanam pagar, sering dibuat got atau sering disebut makeeda. Kedua cara memagari ini tidak begitu mendukung amannya kebun, sehingga jika gangguannya dari babi liar atau binatang buas lainya sering dibuat yang namanya bokei-bokei. Bokei-bokei ini diambil dari kayu buah kecil untuk tanam sebelum pagar yang sudah ditanam. Bentuk dari bokei-bokei ini adalah setengah lingkaran dan kedua bagian ujungnya ditanam pada tanah sehingga terlihat seperti setengah lingkaran.
Seperti tadi sudah disampaikan kan bahwa pertanian meramu ini untuk memertahankan bibit tanaman yang hampir punah yakni bibit yang dilestarikan dari nenek moyang dan ditanam secara turun temurun dari generasi ke generasi. Itulah kebaikan yang dimiliki oleh pertanian meramu itu sendiri. Namun disamping itu ada keburukannya juga, yakni merusak hutan alami, lahan kritis akan semakin banyak, erosi, banjir dan tanah longsor adalah dampak yang akan di rasakan secara langsung oleh manusia.. Dikarenakan lahan yang dibuka untuk pertanian meramu ini adalah lahan yang sebelumnya belum pernah dijadikan pertanian atau lahannya masih perawan.

Pertanian berpidah-pindah boleh dibilang baik karena pemikiran masyarakatnya terus berkembang walaupun itu berlangsung lambat, peningkatan taraf demi taraf kearah yang lebih baik menunjukan adanya kesadaran masyarakat Papua untuk terus berkembang, dan itu di tunjukan dengan kemauan mereka untuk mulai bertani secara subsisten walau itu di arahkan pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari/ keluarga.

Kurangnya pengetahuan dalam bertani menyebabkan sulitnya meningkatkan mutu pertanian. Dalam hal ini pendidikan memegang peranan penting guna meningkatkan kualitas pertanian di Papua. Dalam meningkatkan kualitas pertanian di butuhkan penerapan teknologi yang memadai dan untuk itu semua di butuhkan kualitas sumberdaya manusia yang cukup. Sejauh ini kualitas SDM di papua terutama masalah pertanian masih sangat kurang. Penelitian dan pengembangan untuk pertanian meramu yang arahnya untuk kemajuan Papua haruslah mulai sekarang menjadi prioritas utama bagi setiap elemen masyarakat Papua.

Sabtu, 09 Mei 2009

AIR MATA DOSA DAN CINTA MANUSIA

Derai air matamu, kawan, umpama seperti bahasa halus sang kalbu yang mendambakan suatu realita-kebahagiaan, kedamaian, keberhasilan atau kepedihan dan derita. Namun ada air maata yang lain, air mata ayang bisa mengahapus dosa-dosa, mengharap ampun Tuhan yaitu air mata yang terkuras karena sesal alias tidak akan mengulang kembali kesalahan-kesalahan lagi.

Air mata dosa, kawan, ibarat senandung kalbu yang paling dalam untuk menyuarakan suatu hal, penyesalan. Tobat itulah penyesalan. Adakah kawan-kawan ingin menjadi sang pendusta?


Hindarilah kedustaan, hindari pula penyebab-penyebabnya, kawan, sebelum engkau dicap sebagai sang pendusta. Jikalau itu tak sanggup kau katakan subuah kebenaran dengan bahasa lesan, katakanlah sengan bahasa tubuhmu. Air mata, selain bahasa tubuh (kalbu) yang bisa diterjemahkan dengan kata-kata oleh manusia yang menyimaknya. Apa lagi yang engkau khawatirkan kawan.....??

Adakah cinta manusia akan menjauh darimu jika kau hanya sanggup meneteskan air mata, tidak sanggup menggemakan kata-kata? Tidak kawanku, tidak, manusia akan lebih mencintai buah kejujuran dan ketulusan hati seseorang. Maka ingatlah kawanku sesungguhnya tak ada bahasa yang paling mewakili dalam diri manusia kecuali bahasa kalbu, entah dengan apa untuk mengungkapkannya, yang jelas janganlah malu-malu untuk meneteskan air mata.......apalagi air mata dosa.

Air mata dosa vs cinta manusia...kadang berhadapan dengan air mata dosa, artinya manusia kadang sulit menerima kenyataan kalau ia telah kalah, kalau ia telah berbuat dosa, atau ia tidak sudi melakukan tobat. Dalam keadaan ini perbuatan manusia pasti diketahui oleh-Nya. Maka itu salah tetap salah dan kebenaran tetap benar. Dihadapan Tuhan tidak ada yang bisa disembunyikan.

Kawan, cinta manusia itu lebih berharga nilainya dibanding cinta lainnya yang pernah engkau kenal, sebab cinta manusia dapat melahirkan ketenangan dan kebahagiaan hidup tanpa beresiko apapun. Free...(Egeidaby)

Senin, 27 April 2009

Hindari Flu Babi, Jangan Makan Babi Bakar Atau Babi Panggang

Jakarta - Perhatikan pola makan anda jika tidak ingin tertular flu babi. Pastikan babi benar-benar matang sebelum dikonsumsi. Jangan makan babi bakar atau babi panggang! Kebersihan juga harus dijaga. Bagi yang memiliki kandang babi, rajin-rajinlah menyemprot disinfectan.

"Bagi mereka yang akan mengkonsumsi babi sebaiknya dimasak lebih dari 80 derajat untuk mematikan kuman-kuman dan jangan makan babi bakar atau babi panggang, karena lebih cepat penyebarannya," kata Humas Dinas kesehatan, Tini Suryanti, saat dihubungi wartawan melalui telepon, Senin (27/4/2009).


Selain cara konsumsi, Tini menjelaskan, cara mencegah tertular flu babi adalah dengan menjaga daya tahan tubuh dengan makanan bergizi. Tentu saja harus rajin-rajin membersihkan diri dan lingkungan, terlebih yang memiliki kandang babi.

"Cara pencegahannya dengan meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara membersihkan diri terus dan hindari kontak langsung dengan babi serta jauhi penampungan babi. Pemilik peternakan babi wajib menyemprotkan disinfektan," ujar Tini.

Menurut Tini, ciri-ciri orang yang terinfeksi flu babi sama dengan saat terserang flu burung beberapa waktu lalu. Flu babi, Tini menambahkan, memiliki sifat mutasi yang berbahaya bagi manusia.

"Sebenarnya ciri-cirinya hampir sama dengan flu burung, jadi sifatnya mutasi. Selain unggas juga ada pada babi. Kalau menyerang manusia kira-kira sama jika terkena flu burung" imbuh Tini.

Dinas Kesehatan, menurut Tini, sudah melakukan langkah antisipasi sejak dini. Pengecekan peternakan pun dilakukan untuk memastikan flu babi tidak tersebar.

"Kita harus mewaspadai, oleh karena itu Dinas Kesehatan DKI sudah menyerahkan tugas kepada divisi peternakan yang memiliki investigator untuk flu burung, sekarang mereka yang mengecek ke peternakan-peternakan," tutur Tini.(van/iy)
sumber: www.detiknews.com

Rabu, 22 April 2009

YOSEPH OROKAI IKIKITARO, Pr MEMBUAT SEJARAH BARU BAGI SUKU KAMORO


TIMIKA – Pentahbisan imam Diakon Yoseph Orokai Ikikitaro dan Diakon Samuel Ohoiledjaan resmi menjadi imam (Pastor), minggu 19/4) setelah ditahbiskan oleh Uskup John Philip Saklil, Pr.

Perarakan dimulai dari halaman SMP St. Bernardus Timika, menuju Gereja Ka tedral Tiga Raja. Tarian adat Suku Kamoro, Amungme, Key dan Mee tampil memeriahkan jalannya pentahbisan kedua imam, bersama pakaian adat masing-masing. Pemberian sakramen imamat tersebut disaksikan oleh 21 pastor, para suster, bruder dan ribuan umat katolik ditimika. Jalan Yossudarso yang terletak di depan Gereja Tiga Raja macet total dari pukul 08.00 hingga pukul 16.20 dialihkan melewati jalan Mambruk.


Dalam acara pentahbisan ini, ekaristi yang berlangsung dipimpi oleh Uskup Mgr. John Philip Saklil, Pr. Dalam khotbahnya Uskup John Philip mengatakan umat keuskupan timika kini mendapat berkat, dengan ditahbiskannya dua imam baru. Keduanya menyatakan kesanggupan hidup membiara pada saat doa litani berlangsung sambil badam mereka tengkurap. Pada saat itu pun lagu Datanglah Roh Kudus dilantunkan oleh paduan suara. Dua orang muda ini menyatakan hidupnya sebagai imam untuk melajutkan tiga misi Kristus yaitu: Imam, Raja dan Nabi

Tepat pada ulang tahun keuskupan timika yang ke-5, telah hadir dua orang imam yang mana mereka adalah merupakan anak sulung dari keuskupan Timika. Sehingga ini adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi umat katolik pada umumnya dan terkhusus bagi umat di Keuskupan Timika.

Stola dan kasula bagi kedua imam diantar dengan tarian oleh suku kamoro bersama tarian adatnya. Uskup Mgr. John Philip Saklil dan Orang tua masing-masing imam membantu mengenakan stola dan kasula di badan kedua imam. Saat pengenaan tersebut umat meneteskan air mata, karena bangga akan putra daerah menjadi imam di daerahnya.

Br. Yan Sjerps, Ofm, yang pernah menjadi Pembina Ssrama dan Guru di SMP YPPK Moanemani menjadi orang tua bagi P. Yoseph Orokai. Ia (P. Yoseph, red) dikarenakan, Yosep Orokai menyelesaikan SD dan SMP di Moanemani. Ketika acara pentahbisan dan misa selesai warga suku Mee mengangkat Pastor Yosep dan waita di halaman gereja. Dalam sela-sela acara seorang alumni Surabaya (Yanuarius Adii) mengomentari tentang jalannya acara, yakni; acaranya bagus namun setiingan acaranya kurang mantap, itu karena panitia penyelenggara belum setting acaranya dengan baik. Akibat dari itu umat menjadi bingung karena usai pentahbisan beberapa acara yang berlangsung dalam waktu yang bersamaan. (Egeidaby)

Kamis, 12 Maret 2009

TIGA ARTIS IBUKOTA MEMBANTU PENGGALANGAN DANA WABAH DAN KOLERA DI DOGIYAI DAN PANIAI

TIMIKA – artis ibukota Jakarta Nikita (artis rohani), Itamar (idola cilik) dan Michael (Indonesia Idol) meriahkan Konser Rohani Peduli Kasih yang berlansung Sabtu malam dan (7/3) Senin malam (9/3) di Graha Eme Neme Yauware, Timika Indah. Penampilan ketiga artis tersebut memukau warga Kota Timika pada malam panggalangan dana dalam rangka meringankan beban korban yang terserang kolera dan diare di Kabupaten Dogiyai (Kabupaten Pemekaran dari Nabire).

Meski pada malam kedua konser Kota Timika diguyur hujan deras, namun tidak mengurungkan niat ratusan warga untuk menghadiri konser rohani peduli kasih yang digelar Kerukunan Keluarga Besar Suku Mee (KKBSM) itu.



Dalam konser rohani tersebut puji-pujian yang dilantunkan Nikita, Michael Idol dan Itamar. diantaranya Adalah: "Sentuh Hatiku", "Dia peduli", "Seperti yang Kuingini", "Betapa Kumencintai", "Cinta Sejati", "Semua karena Cinta", "Seperti Pelangi" dan "Persembahanku".

Konser dalam penggalangan dana tersebut dibuka dan ditutup dengan doa oleh Pelayanan Tuhan Ev. Frediel Pigai, S. Th.M. Th yang mana beliau adalah dosen di Institut Filsafat Theologi dan Kepemimpinan Jaffray Jakarta. Dalam renungan singkatnya, Ev. Frediel Pigai menyampaikan bahwa, walau pun kota Timika diguyur hujan, namun karena berkat Tuhan maka bisa berkumpul bersama menghadiri konser tersebut. "Apa yang kita kehendaki terjadi sesuai dengan kehendak Tuhan Yesus Kristus, sehingga berkat yang kita miliki bisa berbagi dengan saudara-saudara kita yang membutuhkan.

Kerukunan Keluarga Besar Suku Mee (KKBSM) menjadi penanggung jawab dalam konser kasih penggalangan dana ini. Ketua panitia, Denny Pigai mengatakan inilah konser kedua untuk mengumpulkan dana guna membantu masyarakat yang terkena wabah kolera di tiga kabupaten (Dogiyai, Paniai dan Nabire). Menurutnya dana yang telah terkumpul sekitar Rp70 juta.

Harapan kami seberapapun hasil yang diperoleh dalam konser diberikan kepada saudara kita yang membutuhkan". Demikian kata ketua Panitia usai acara. Egeidaby

Jumat, 27 Februari 2009

Budaya Lokal Vs Budaya Global : Sanggupkah ?


Tak dapat dipungkiri bahwa faktor kemajuan peradaban dunia sebagai indikasi kemajuan berfikir umat manusia, tak salah apabila disebut bahwa umat manusia dewasa ini telah diperhadapkan pada situasi yang serba maju, instant dan pola pemikiran yang kritis. Kemajuan peradaban itu banyak mengakibatkan perubahan di segala aspek kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bernegara maupun berbangsa.

Banyak di antara masyarakat itu menerima perubahan peradaban itu sebagai sesuatu yang lumrah sebagai sebuah proses yang harus dijalani, dimaklumi dan kehadirannya senantiasa menimbulkan berbagai perubahan dalam praktiknya. Sehingga memaksa masyarakat budaya, mau tak mau atau sadar atau tidak sadar diperhadapkan pada situasi yang sulit antara menerima perubahan perdaban itu (karena tidak ingin dianggap kolot) atau menolak perubahan itu kendatipun dianggap primitif, konvensional dan ortodoks.
Perselisihan atau tepatnya perbedaan pemikiran seperti itu dapat muncul sebagai reaksi terhadap berbagai tindakan yang bagi sebagian orang bergerak seolah-olah meninggalkan kebudayaannya sedang sebagian orang ingin mempertahankannya sebagai sebuah warisan leluhur bersama (common heritage) yang wajib dijaga dan dilestarikan. Fenomena berikutnya adalah diakibatkan oleh mobilitas tanpa limit, dimana manusia tidak lagi dapat begitu saja dihempang dalam mobilitasnya.

Katakan saja, andai seseorang ingin bepergian ke tempat lain (negara Lain) maka tak seorangpun yang dapat menghempangnya apabila ia telah menetapkan bahwa ia harus berangkat. Keadaan ini juga mengakibatkan adanya perpaduan (assimilation) di tempat baru dimana ia berpijak, sehingga melahirkan penilaian apa yang diperoleh, diidolakan sebelumnya dengan dimana ia tinggal dan lihat.

Penilaian itu dapat saja memicu lahirnya interpretasi bahwa apa yang melekat pada dirinya ketika memutuskan untuk bepergian itu dinilai sebagai sesuatu yang kolot, tradisional dan tertinggal. Ia kemudian mengenakan berbagai atribut yang dianggap sebagai simbolisasi budaya maju seperti kritis, egoisme, dan materialistis. Kondisi lain adalah meningkatnya mobilitas sekolah antara negara dimana juga telah mempengaruhi pengakuan terhadap budaya lokalnya.

Keadaan dimana sipelaku diperhadapkan pada situasi dan alternatif yang kritis seperti itu telah menciptakan adanya anggapan bahwa budaya (lokal) tidak mampu menyaingi budaya (global) yang sedang mendunia. Namun demikian, bagi sebahagian orang tidak demikian, bahwa budaya lokal senantiasa akan bertahan (lestari) apabila sipelaku tidak membiarkan budaya (lokal)-nya itu tidak tertindas, tidak tradisional dan tidak terbelakang apabila terdapat upaya sipelaku memajukan atau melakukan perubahan (innovation) dan penerapan (invention) terhadap apa yang disebut dengan budaya lokalnya itu. Lantas dalam situasi yang demikian ini dimana kemajuan zaman dan pola berfikir manusia tidak lagi dapat dibatasi, serta tingginya faktor komunikasi dan media penyampai, seberapa jauhkah budaya lokal itu dapat bertahan?

PERUBAHAN SOSIAL
Tak dapat disangsikan bahwa kemajuan pemikiran manusia yang senantiasa berupaya untuk menghasilkan hal-hal baru dalam hidupnya adalah hal wajar yang dilakukan sebagai makhluk yang berakal. Berangkat dari asumsi bahwa pemikiran manusia akan senantiasa merubah kondisi sosial, maka hal yang demikian itu dapat diterima secara mutlak.

Pada dasarnya perubahan itu dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup, peradaban (civilzation) dan kesempurnaan hidupnya yang meskipun pada dasarnya akan senantiasa juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi peradaban itu sendiri. Katakanlah, kebiasaan manusia mengkonsumsi (membeli) makanan yang serba instant, tanpa ada upaya untuk membuatnya, akan melemahkan dan memandulkan kreativitas. Belum lagi hal yang serupa itu diterima dan meresap pada diri anak-anak, maka seumur hidupnya akan menjadi pengkonsumsi utama tanpa adanya niat untuk mencoba membuatnya dengan keinginan sendiri. Alhasil, generasi yang muncul berikutnya adalah generasi yang nirkreativitas.

Perubahan sosial, baik yang direncanakan maupun yang tidak dapat dikategorikan ke dalam hal di atas yang pada intinya adalah pengupayaan ke arah yang lebih baik dengan mencoba mereduksi dampak negatif dari social change itu. Siklusnya dapat dicerna melalui adanya rekayasa sosial (social engineering), rekontruksi sosial (social recontruction). Pada tahap ini akan muncul sikap menerima (receive) ataupun berupaya menolaknya (defence). Kemudian, dalam upaya menghindari bentrok budaya (paling tidak dalam paradigma) pemikiran) maka pada saat itu dibutuhkan agen-agen perubahan (social agent) sebagai media penyampai agenda perubahan itu. Apabila, perubahan itu muncul sebagai yang tidak direncanakan, maka peran itu akan digantikan oleh sosok atau figur yang dapat menjembatani perubahan yang sedang terjadi.

Dengan begitu, perubahan yang sedang terjadi dan akan terjadi, maupun yang direncanakan ataupun tidak (kurang) direncanakan tidak akan mengalami benturan kebudayaan (peradaban) pada masyarakat kekinian. Justru dengan demikian, yang tengah terjadi adalah pemerkayaan khasanah kebudayaan dan bukan pergeseran. Dengan begitu, hipotesa kebudayaan selanjutnya adalah bahwa tidak akan pernah terjadi pergeseran kebudayaan apalagi upaya meninggalkan budaya lokal itu yang meskipun pada tataran performa seolah-olah kebudayaan itu telah bergeser atau ditinggalkan. Perubahan yang demikian itu justru harus dimaknai sebagai upaya pemberdayaan dan pemerkayaan kebudayaan itu sendiri sebagai system makna (system of meaning).

TREND GLOBAL
Suatu hal yang tak dapat dielak dan dipungkiri bahwa pola kehidupan manusia pada saat ini adalah bahwa manusia kini diperhadapkan pada situasi yang ambigu. Menolak dan menerima perubahan sosial sebagai dampak kemajuan. Opsi untuk menolak dihantui oleh resistensi dari dalam diri pribadi dan lingkungan yang secara phisikologis akan turut mempengaruhi penolakan itu. Yaitu adanya ketakutan terhadap anggapan sebagai person yang primitif, tradisional dan konvensional. Sementara untuk menerima perubahan itu juga menimbulkan benturan psikologis dimana seseorang pelaku itu dicap sebagai orang yang kurang (tidak) menghargai kebudayaannya.

Sirkumstansi yang demikian itu adalah opsi yang begitu sulit untuk dapat diterima, paroksi psikologis menjadi hambatan utama antara opsi menerima dan menolak. Akan tetapi, kecenderungan yang terjadi adalah bahwa perubahan itu adalah suatu hal yang tidak mungkin dapat dibatasi apalagi dihempang. Justru, kepiawaian kita dalam menerjemahkan perubahan itu ke dalam diri kita sendiri, meresap dalam diri kita, kemudian akan memancarkan aura perubahan terhadap sikap dan prilaku kita. Dengan begitu, apakah hal yang demikian itu juga disebut telah merubah kebudayaan? Tentu jawabnya adalah tidak. Perubahan yang terjadi dewasa ini adalah kewajiban yang harus diterima, dan oleh sebab itu maka yang terjadi di seputar perubahan itu adalah trend ataupun kecenderungan yang senantiasa dimaknai.

Tantangan yang justru dihadapi adalah sampai seberapa jauh kita mampu memadukan perubahan dengan kebudayaan itu? Namun demikian, maksud utamanya adalah bukan dengan menolak kebudayaan global yang sedang mendunia. Di sini dibutuhkan pemahaman dan pengertian kita untuk menerjemahkan perubahan itu sehingga tidak menimbulkan distorsi bagi kepribadian dan kebudayaan yang menggejala. Kekuatannya justru terletak pada diri kita sendiri bahwa apa yang akan kita ambil dan maknai dari perubahan itu, dan seberapa mampukah kita menerjemahkannya ke dalam kebudayaan kita.

Apakah seorang Papua yang modern adalah orang yang tidak (lagi) menggunakan budaya Papua itu dalam kehidupannya sehari-hari? Apakah orang Papua akan dikenal sebagai orang yang tidak maju apabila atribut Habatahon masih menempel pada dirinya? Lantas bagaimana pula kebudayaan yang lahir akibat perpaduan dua unsur budaya suku yang berbeda akibat adanya kawin campur, misalnya orang Papua dengan Jawa? Keutamaan dari pola seperti ini adalah adanya pemerkayaan budaya lokal itu sendiri yakni pencapaian ke arah peradaban yang lebih sempurna. Anggapan itu dapat dimaknai sebagai dampak perubahan terutama dalam menghargai waktu, benda dan segala bentuk ragam unsur budaya.

Atribut-atribut budaya lokal seolah-olah terancam akibat budaya global seperti masuknya berbagai komoditas global, pengaruh dan tindakan yang dipancarluaskan oleh berbagai media penyampai seperti TV dan media cetak lainnya. Akibatnya kita akan lebih menghargai semua itu dengan waktu dan dengan adanya tuntutan tugas yang mesti dilakukan. Keadaan ini justru akan merubah kita yang tanpa disengaja telah melahirkan berbagai interpretasi atas diri dan prilaku kita.

Dalam pada itu, situasi dan kondisi dimana budaya lokal akan dipertaruhkan di tengah kancah kebudayaan global, sepertinya melahirkan kontroversi dan paradigma yang berbeda dalam memandang budaya global itu. Sebahagian tidak menginginkan adanya perubahan dalam kelokalan budayanya dan tanpa disadari tindakan yang dilakukan telah merubah keaslian kebudayaan itu. Justru dengan begitu, kita dapat memaknai bahwa perubahan itu akan senantiasa terjadi dan tanpa kita sadari akan meresapi diri kita dan masuk ke dalam pola perilaku dan tindakan kita. Oleh karenanya, kebudayaan akan semakin mantap, bertahan dan lestari.

Pertanyaan terakhir adalah menyangkut kita sebagai pemuja kebudayaan (idols of culture) kita. Adakah kita berupaya memajukan kebudayaan kita itu, atau malah membiarkan budaya kita itu terlindas oleh budaya global? Dan sampai sejauh manakah pengakuan kita terhadap kebudayaan kita itu? Oleh karenanya, penting dilakukan kembali kaji ulang terhadap kepribadian kita yakni bukan secara langsung melontarkan bahwa kebudayaan kita itu adalah tidak maju, tidak modern dan miskin dan terbelakang. Jika demikian yang terjadi maka kebudayaan kita itu akan mengalami pendangkalan makna akibat erosi pemerkayaan dan pemajuan budaya lokal itu.
Sumber: http://www.silaban.net

Buatmu Tersayang

Entah apa yang ada dalam pikiranmu. Kau masih terdiam di situ. Tanpa kata. Tanpa gerakan. Laksana karang. Hanya memikirkan orang ketiga yang hadir antara kita dan mengorbankan semuanya padanya.

Mata itu, setiap kali matahari memanggang bumi, selalu membawaku ke sebuah mata air pegunungan. Menikmati damai. Engkau tahu itu. Tapi kini, semuanya tidak jelas akan seperti apa. Ya, hati seperti itulah yang kerap kali hadir dalam bayang-bayangku.

Selaksa kabut pekat yang dihasung bala tentara Iblis selama ini telah membuat kita selalu salah dalam mengeja cinta. Aku bisa bayangkan, para kurcaci selama ini terbahak-bahak saat melihat kita dengan terbata-bata menyimpulkan bahwa cinta adalah memiliki, menikmati, dan menguasai.

Atas nama cinta, berdua kita teguk puluhan sepi. Atas nama cinta pula aku menuntutmu berbagi kekuasaan atas lentik jemari indahmu. Bahkan juga atas nama cinta, kumakruhkan senyum manismu itu atas seluruh pria jagad raya. Ah, Padahal cinta tidak pernah menuntut apa-apa, meski hanya sekedar jawaban “I love you too” (beuu kawedani, puyayuwa?). Bahkan cemburu pun bukan tanda dari cinta. Ia hanyalah sepenggal egoisme. Cinta itu memberi, bukan menerima, apalagi menuntut. Satu-satunya yang dikehendaki cinta hanyalah kebahagiaan bagi orang yang kita cintai. Mungkin seperti Itu saja kaa...apa?

Pernahkah kau menengadah ke langit dan bertanya, di manakah Tuhan Kau menyimpan kebahagiaan? Tataplah butiran-butiran yang diturunkan ke bumi itu. Bukan, itu bukan sekedar serpihan-serpihan nada. Itu adalah sebuah lantuanan lagu buatmu. Maka rapat pejamkan matamu, lebar bukalah hatimu. Bacalah, manisku. Sebentar lagi kau akan tahu, letak kebahagiaannya. Kekasih seharusnya membawa terbang kekasihnya.
Tidakkah kau ada waktu untuk membalas sapaan angin? Kemarilah sayang, di bawah kelebatan cahaya lilin, aku ingin mengajakmu mendengarkan bisikannya. Sebentar lagi kau akan tahu bahwa puluhan teguk sepi milik kita ternyata adalah mata-mata pisau yang merobek-robek sayap. Kita telah tidak hanya salah jalan. Tulang-tulang kita juga remuk redam begitu parah. Sekarang aku yang merasakan, sebentar lagi kau akan rasakan betapa sakitnya dari semuanya itu.

Waktu yang sedang berjalan ini belum jelas arahnya akan kemana. Mudah-mudahan engkau mengerti.

Tapi jujur kuakui, semua ini terasa perih. Andaikan saja engkau dari tadi menghitung berapa kali aku menarik nafas panjang, kau juga pasti akan tahu betapa ada berton-ton batu di pundakku. Namun seperti yang biasa kau katakan padaku setelah berbincang dengan kupu-kupu, pengorbanan adalah kata kunci dari segala apa yang ingin kita raih. Akankah semua musnah menjadi debu, terbang disapu angin, dan hilang dalam tiada.

“Yang aku tahu, Tuhan tidak pernah meminta kita membayar apa yang kita minta kepada-Nya dengan cara melupakan orang yang kita cintai,” lanjutmu menghempaskanku ke rerumputan, menelanjangi kemunafikanku. Sejatinya, aku pun tidak akan kuasa menghapus sejarahmu dari benakku. Bagaimana itu bisa kulakukan bila hampir di setiap penghujung malam, namamu selalu kusebut di antara puluhan lembar lagu cinta. Aku pun terdiam, dan memang giliranmu untuk bicara.

“Aku tidak tahu harus bicara apa. Ada saatnya kata tidak bisa menjelaskan apa-apa ”
Terasa berat melepaskanmu, jika itu terjadi, seberat langkah gontaimu di senja yang merah ini. Semoga alam raya esok pagi akan menjadi saksi di hadapan-Nya atas apa yang terjadi pada kita hari ini. Aku hanya selalu berharap, agar semuanya kembali seperti semula........... 5emog@!!!

saran, kritik dan curhat boleh kirim lewat e-mail: egeidaby@yahoo.com thank's!!

Kamis, 19 Februari 2009

Sekilas Dogiyai Dalam Pembangunan


Dogiyai – Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun adalah satuan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru di Indonesia. Berbagai program pembangunan dicanangkan melalui program pembangunan jangka panjang (PJP) I dan PJP II (lampiran 2). Untuk meningkatkan pembangunan di luar pulau Jawa, Bali dan Madura (JABAMA) maka PJP I dalam Repelita II (tahun 1974 – 1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di luar JABAMA termasuk Papua melalui program Transmigrasi dengan jumlah anggaran Rp.8.386,4 Milliar.

Dalam sejarah Kabupaten Nabire, telah memekarkan menjadi 3 kabupaten diantaranya kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, dan Kabupaten Dogiyai dalam tahun 2008. Untuk itu, demi memenangkan pilkada Kabupaten Dogiyai pada tahun 2010 mendatang, maka elit politik kabupaten Dogiyai melirik peluang politik di kabupaten Dogiyai. Ke-35 Parpol yang lolos verifikasi di Tingkat Pusat pun kini telah hadir di kabupaten Dogiyai untuk bertarung memenangkan PEMILU Legislatif dan Pilkada 2010.
Aspirasi pembentukan Kabupaten Dogiyai memang sebuah proses panjang sejak tahun 2004. Usulan pemekaran muncul dari Kamu dan Mapia, dua distrik yang terdekat dengan Kigamani, calon ibu kota Kabupaten Dogiyai. Ketika wacana pemekaran Nabire berkembang, banyak orang meyakini bahwa pembentukan Kabupaten Dogiyai adalah jalan bagi percepatan pembangunan di tujuh distrik pendukungnya. Dogiyai dalam kerangka Pemerintah Indoensia, pada zaman orde baru telah mengalami Pembangunan dalam program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang berlangsung sekitar 31 tahun sejak tahun 1969. Selama 30-an tahun Pembangunan Fisik tak kelihatan. Jalan setapak di tengah hutan pun belum ada. hingga masuk tahun 1080-an Jalan dalam Kecamatan (sekarang Distrik) mulai dibuka termasuk sekolah-sekolah Inpres. Untuk transportasi keluar daerah selain antara kedua Kecamatan Mapia dan Kecamatan Kamuu dihubungkan oleh Jalan setapak ditengah hutan yang terbentang antara Kampung Idadagi dan Bomomani Ibu kota Kecamatan Mapia.


Hingga kini tujuh distrik di Dogiyai, baru dilengkapi 59 SD, lima SMP, dan dua SMA. Untuk melayani 68.712 jiwa penduduk, juga hanya ada tujuh puskesmas. Padahal, potensi ekonomi di tujuh distrik tersebut cukup besar, khususnya di sektor pertanian. Dijelaskan Wakil Ketua DPRD Nabire, Penias Pigai bahwa Diharapkan dengan pemekaran, pembangunan akan lebih merata. Pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan serta peningkatan kesejahteraan rakyat akan lebih terjamin dengan pemekaran itu.

Pengesahaan UU Pembentukkan Dogiyai diterima DPRP, setelah melalui perjuangan yang sangat panjang di tingkat daerah hingga di tingkat Pusat di Jakarta. Pada 1 Maret 2007 Panitia Ad Hoc I DPR menyatakan, pemekaran Kabupaten Nabire layak dilanjutkan. Rancangan undang-undang pembentukan Kabupaten Dogiyai pun kemudian direkomendasikan untuk dibahas. Kabupaten Dogiyai dibentuk dari tujuh distrik (setingkat kecamatan), yaitu Distrik Ikrar, Kamu, Kamu Selatan, Mapia, Mapia Barat, Sukikai, dan Siriwo (bukan lima distrik sebagaimana dinyatakan dalam Rancangan Undang-Undang atau RUU Pembentukan Kabupaten Dogiyai, dengan Luas tujuh distrik itu berdasarkan data Kabupaten Nabire dalam Angka 2006 adalah 2.627,01 kilometer (km) persegi (RUU Pembentukan Kabupaten Dogiyai menyatakan 4.237,4 km. Luas awal Nabire selaku kabupaten induk adalah 13.397,59 km persegi. Meski luas ketujuh distrik itu hanya seperlima luas kabupaten in duknya, diperkirakan 68.712 jiwa (lebih dari 41 persen) penduduk Kabupaten Nabire nantinya menjadi penduduk kabupaten baru tersebut.
Tanpa alasan yang jelas, belum ada interpretasi data perencanaan tata ruang dan kota Kabupaten Dogiyai, Saat ini Kigamani yang berada di tengah dinilai strategis dalam rangka mendekatkan akses warga ke pemerintah. Sayangnya, infrastruktur masih menjadi persoalan besar di Nabire. Dari 1.000,76 km jalan di Nabire, 636,36 km di antaranya dalam kondisi rusak dan sulit dilalui kendaraan bermotor. Infrastruktur Pemerintah di Kigamani akan mendapat tantangan dalam Pengelolahan Sumber Daya Alam dan Letak Kigamani yang persis di pinggir jala raya Trans Papua yang menghubungkan antara Nabire-Moanemani.

Ketujuh Distrik memiliki masalah terbesar adalah perhubungan/Transportasi karena letak geografis yang jauh di Pedalaman. Mahalnya jasa transportasi udara menggunakan Pesawat Twin Otter atau Cessna milik maskapai Penerbangan AMA atau MAF adalah Satu-satunya jasa transportasi yang diharapkan sebelum jalan trans Papua tembus di Bomomani, Kamuu hingga Enaro (Paniai). Sehingga potensial hasil Perkebunan Kopi, Ubi jalar, Kacang, Ubi Talas serta hasil komoditi masyarkata lokal daerah Kamu Mapia tidak terakomodir.

Meskipun jalan Trans Papua masuk wilayah pedalaman Nabire (Kamuu-Mapia), Potensi itu belum tergali sebagaimana mestinya. Kini produk yang dihasilkan daerah tersebut hanyalah jagung, ketela pohon, ubi jalar, kedelai, dan sayuran. Volume produksinya pun tidak signifikan dibandingkan dengan total produksi komoditas sejenis di Kabupaten Nabire pada tahun 2005. Kalaupun ada yang menonjol, Distrik Kamu dan Kamu Selatan adalah penghasil ubi jalar terbesar di Dogiyai. Pada tahun 2005 volume panennya mencapai 2.844 ton, sekitar 27,6 persen dari total produksi ubi jalar sebelum Dogiyai dimekarkan dari Kabupaten Induk Nabire.

Ketika jalan Trans Papua masuk Ke Pedalaman Papua, Kamuu-Mapia, Propinsi Papua (Irian Jaya, waktu itu) hanya terdiri dari 9 Kabupaten diantaranya Kabupaten Jayapura, Wamena, Biak, Serui, Nabire, Manokwari, Sorong, Fakfak dan merauke. Namun setelah Propinsi Papua dimekarkan menjadi 27 Propinsi melalui beberapa tahap pemekaran wilayah Kabupaten. Pemekaran Tahap pertama dijalankan dengan biaya sekitar Rp.25milliar dengan rincian sumber dana APBD Pemerintah Daerah Nabire Rp.20milliar ditambah dengan Dana bantuan Pemerintah Propinsi Papua sebesar Rp.5milliar dalam tahun 2007 lalu. Sedangkan tahap berikutnya, tahun 2008 dialokasikan dana APBD sebesar Rp.20milliar ditambah dengan dana Pemerintah Daerah Propinsi Papua sebesar Rp.5milliar.

Usaha demi usaha para wakil rakyat, kepala daerah, pimpinan dan elit lokal tetap berusaha dan berjuang pemekaran wilayah bagi daerah-daerah yang terpencil dan tertinggal jauh dalam kerangka Pembangunan Nasional. Tak heran demi mempertahankan kepentingan partai, golongan dan keluarga bahkan kepentingan pribadi, para pejabat pun bermain uang untuk berkuasa menjabat serta memperluas wilayah kekuasaan di Dogiyai. (Willem Bobii)

Sumber: www.tabloidjubi.com

Selasa, 17 Februari 2009

Hadapi Resesi Dengan Nilai-Nilai Budaya Papua


Victor F. Yeimo

Dalam suatu seminar bedah buku yang berjudul "Mungkinkah Nilai-nilai Hidup Budaya Suku Mee Bersinar Kembali?, karya Ruben Pigay, S.pak, yang dihadiri masyarakat umum dan pelajar SMU, tidak lama ini di Aula STT Walter Post II, Nabire, Papua Barat, membuat saya tertuju dalam satu dari makna penting dari keseluruhan diskusi yang telah memaksa orang Papua, khsusnya suku Mee di Paniai untuk kembali kepada nilai-nilai budaya Mee. Ternyata, tradisi suku Mee dalam corak produksi tradisionalnya mampu memberikan solusi ditengah ancaman krisis energi dan faktor geopolitik dunia yang berdampak pada naiknya harga kebutuhan pokok di Indonesia, lebih khusus di Papua Barat.


Yang harus disadari dan tra boleh disangkal adalah bahwa pergeseran fluktuatif terjadi dalam kehidupan budaya hampir setiap suku di Papua Barat sejak pendudukan koloniaslime Indonesia. Indonesia yang pada masa Orde Baru sebagai suatu kekuasaan 'boneka AS' menjadi jembatan ke Papua Barat bagi penyeberangan budaya imperialisme global, suatu kekuatan yang telah memaksa penduduk pribumi menikmati arus modernisasi sebagai konsekuensi logis. Praktek kolonialisme melalui ancaman pemekaran wilayah kekuasaan kolonial Indonesia yang bersamaan dengan suplai penduduk migran dan perluasan daerah teritori militer paling tidak menjadi faktor utama dari dampak evolusi budaya suku-suku di Papua Barat.

Praktek eksploitatif itu ditandai dengan memudarnya etos kerja beternak dan berkebun yang lalu begitu luar biasa dalam nilai-nilai budaya suku Mee. Hampir dataran tanah adat Mee yang dulu menghasilkan flora nan hijau sebagai sumber konsumen kini menjadi dataran tandus yang tidak ada nilai guna bagi kelangsungan makluk hidup. Bila orang Papua sudah tidak mempunyai dusun/kebun lagi atau hubungan timbal balik antara alam dan manusia terganti dengan ketergantungan terhadap produk luar, atau bila Orang Papua Barat dipaksa menajadi manusia-manusia era moderen yang mempunyai permintaan konsumsi yang sama. maka bahaya globalisasi yang kini ditandai dengan kenaikan harga BBM, tidak mungkin tidak menjadi ancaman masyarakat adat Papua Barat.

Memang bahayanya tidak separah yang dialami daerah-daerah lain di Indonesia dalam hal kenaikan barang dan jasa, terutama kenaikan harga sembako dan jasa-jasa transportasi, dan kelihatannya bagi rakyat Papua aksi protes kenaikan BBM massa FPN (Front Pembebasan Nasional) yang menjalar di Indonesia (tidak di Papua Barat) belum menunjukan perjuangan bersama, namun paling tidak kenaikan harga BBM mengakibatkan permintaan yang semakin menggelembung bagi kaum migran Papua yang menguasai sektor perdagangan, transportasi dan industri. Bagi mereka, kondisi ini merupakan kesempatan untuk memperbesar kantong penghasilan mereka. Sebab, banyak uang Otsus yang beredar di tangan orang Papua Barat menjadi incaran bagi mereka.Contoh, bila di Entrop, Jayapura beberapa waktu lalu terjadi mogok sopir angkot menuntut kenaikan tarif harga transportasi, bagi rakyat Papua Barat, hal itu bukan suatu ancaman, padahal, dengan tarif 4.000 pp Entrop-Abe, omset sehari bisa mencapai sejuta hingga dua juta, atau sejajar gaji sebulan PNS golongan menengah. Ini semakin memperkuat ketergantuangan bagi orang Papua Barat dalam segala aspek yang tentu saja telah didominasi oleh kaum migran (orang pendatang).

Sistematis dan tepat sasaran. Itu kalimat yang pas buat keberhasilan praktek kolonialisme Indonesia di Papua Barat, terhadap orang Papua Barat. Penindasan dan penghisapan menjadi nyata, tatkala orang Papua Barat sendiri seakan-akan meng-iyakan itu terjadi. Saat-saat tidak ada lagi kesadaran berdaulat diatas tanah airnya, saat-saat itu tawaran posisi stategis di daerah-daerah pemekaran baru menjadi sasaran empuk. Partai-partai politik diboyong habis kaum intelektual yang seharunya menjadi revolusi nilai-nilai budaya Papua Barat. Pilihan itu menjadi keharusan, sebab sumber penghasilan pangan dan ternak sudah tidak ada lagi.

Suku Mee harus kembali kepada nilai-nilai yang dahulu", demikian ajak Ruben Pigay yang sudah beranjak di usia senja dalam bukunya. Buku itu seakan-akan memaksa saya merenung sejenak dan tidak lain, hanya nilai-nilai budaya yang mampu mempertanhankan kondisi sosial, ekonomi-politik suatu wilayah. Sekalipun tingkat konsumsi minyak dunia tidak lagi sepadam dengan produksi minyak dunia, tetapi sepanjang rakyat Papua Barat, khususnya suku Mee bisa membudayakan kembali aktivitas berkebun dan beternak, maka bukan tidak mungkin wilayah dan orang Papua Barat tetap resistan dalam menghadapi penjajahan dan penghisapan global.

sumber: http://qmerdeka.blogspot.com

Raskin, Sebuah Kebijakan yang Merugikan Rakyat di Papua dan Maluku

Masyarakat Papua dan Maluku telah mengkonsumsi sagu dan ubi-ubian seperti betatas, kasbi, keladi serta embal selama berabad-abad. Saat ini makanan tradisional tersebut sedang digantikan oleh nasi lewat kebijakan RASKIN dari Pemerintah Indonesia yang lebih berpihak pada “berasnisasi�.

Sagu, betatas, keladi dan kasbi sudah menjadi bagian dari identitas budaya rakyat Papua dan Maluku. Ada banyak tarian tradisional, istilah bahasa daerah, peralatan masak dan bertani, tari-tarian dan ritual adat serta lagu-lagu rakyat yang berhubungan dengan makanan pokok tradisional tersebut. Bila beras berubah menjadi makanan pokok di Papua dan Maluku maka identitas budaya bangsa-bangsa yang termasuk dalam rumpun Melanesia ini akan ditinggalkan dan dilupakan untuk selamanya.


Masyarat Papua dan Maluku yang tinggal di perkotaan sudah sepenuhnya mengkonsumsi nasi. Sangat menyedihkan karena kebanyakan dari mereka, kini tidak tahu lagi bagaimana mengolah pohon sagu untuk diambil tepungnya.
Pemerintah Indonesia memperkenalkan Program RASKIN di Papua Barat enam tahun yang lalu. RASKIN merupakan kependekan dari BERAS MISKIN.

Pemerintah Indonesia mulai mendistribusikan beras yang disubsidi secara nasional ketika negara tersebut tengah menghadapi krisis ekonomi yang parah. Meskipun program tersebut dimaksudkan untuk membantu masyarakat miskin, RASKIN sebenarnya menciptakan ketergantungan dan dalam jangka panjang akan merusak perilaku makan serta kebudayaan orang Papua baik yang tinggal di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Perlahan namun pasti, masyarakat Papua dan Maluku semakin lebih banyak mengonsumsi nasi dari pada sagu atau betatas. Menurut data Badan Ketahanan Pangan Provinsi Papua, hingga tahun 2004, masyarakat Papua mengonsumsi nasi 55%, ubi-ubian 30% serta sagu 15%. Tentu saja persentase pemakan nasi semakin tinggi sekarang karena gencarnya program RASKIN dan berbagai kebijakan lain seperti pencetakan sawah besar-besaran di seluruh tanah Papua dan Maluku.

Menurut harian KOMPAS, BULOG mengalokasikan 43.000 metrik ton beras bagi 256.622 rumah tangga miskin di Papua Barat setiap tahun. Bila dihitung secara kasar untuk setiap rumah tangga (bapak-ibu dan 2 orang anak) maka jumlah penduduk Papua yang memakan nasi setiap tahun dari program RASKIN adalah: 256.622 x 4 = 1.026.488 jiwa. Jumlah ini tidak termasuk mereka yang membeli beras tanpa melalui program RASKIN, yang tentu saja lebih besar dan lebih intensif.
BULOG adalah badan pemerintah pusat yang bertanggung jawab atas pendistribusian beras. Beras dikirim ke Papua dari Pulau Jawa, Bali dan Sulawesi. Kadang-kadang beras diimpor dari negara lain.

Ketika tiba di Papua, beras didistribusikan di pasar oleh DOLOG – cabang BULOG di daerah. Untuk mempercepat pengirimannya ke wilayah pegunungan, pemerintah daerah – mencarter pesawat AMA dan MAF, dua badan penerbangan yang dimiliki oleh misionaris Katolik dan Protestan. Seorang Papua yang bekerja bagi AMA, menyebutkan bahwa sebuah pesawat AMA yang bernama Pilatus mampu mengangkut hingga satu metrik ton beras ke kampung mana saja di daerah terpencil Papua.
Tidak mengherankan jika beras bersubsidi tersebut dijual dengan harga yang jauh lebih rendah daripada harga makanan pokok tradisional masyarakat Papua. Di sini di pasar lokal, beras dijual antara Rp.5.000 dan Rp.6.500/kilogram – jauh lebih murah daripada sagu dan betatas yang rata-rata adalah Rp.10.000/tempat.

Pemerintah Indonesia telah mensubsidi beras selama bertahun-tahun. Subsidi tersebut diberikan pada pupuk, tarif import peralatan pertanian, dan pembangunan bendungan serta jaringan irigasi. Ini belum termasuk trilyunan rupiah yang dialokasikan bagi program transmigrasi.

Di pihak lain, masyarakat Papua dan Maluku yang memproduksi sagu dan menanam ubi-ubian tidak pernah menikmati subsidi seperti itu. Kebanyakan dari mereka masih menggunakan peralatan manual tradisional untuk mengekstrasi tepung dari pohon sagu (Metroxylon Rumphii). Inilah yang menyebabkan harga sagu lebih tinggi dari beras.

Jelas bahwa program RASKIN mematahkan semangat petani-petani Papua dan Maluku yang memproduksi sagu dan menanam betatas. Mereka tidak bisa dengan mudah beralih menanam padi. Karena sagu dan ubi-ubian sudah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat rumpun Melanesia ini.

Situasi tersebut semakin bertambah buruk. Jumlah uang yang dibelanjakan orang Papua dan Maluku untuk membeli beras semakin tinggi. Karena Papua tidak mampu memproduksi cukup beras sendiri, akibatnya ratusan milyar rupiah mengalir keluar dari
Papua dan Maluku setiap tahun. Jika orang Papua memilih untuk kembali membeli sagu dan betatas atau kasbi, lebih banyak uang akan berputar di pulau itu sehingga mendukung berbagai aktivitas ekonomi masyarakt lokal.

Untuk menjawab kondisi ini, pemerintah daerah dan pusat berencana untuk membuka jutaan hektar sawah di Merauke dan kabupaten-kabupaten lain di seluruh dataran Papua, mengubah rawa-rawa menjadi sawah. Di Maluku hal tersebut dilaksanakan di Pulau Buru serta Seram. Sebagai konsekuensinya, program yang ambisius ini memerlukan lebih banyak transmigran untuk mengimplementasinya, mengakibatkan orang-orang Melanesia ini menghadapi kenyataan menjadi minoritas di tanah airnya sendiri.

... adalah warga yang prihatin dan tinggal di Papua Barat.
Sumber:http://www.westpapua.ca

Sabtu, 07 Februari 2009

DARI PELANTIKAN DAN SEMINAR IKATAN PELAJAR DAN MAHASISWA DOGIYAI SE-JAWA DAN BALI

Diskusi bersama Pemda Dogiyai

Seminar tentang Pendidikan Luar sekolah bersama
Ibu Widarmi dan Yulianus Kuayo dari Depdiknas

Seminar tentang Kreativitas Mahasiswa
oleh Dr. Alva Edy Tamtowi (Dosen Universitas Gadjah Mada)

Ones Yobee dan Leonardus Magai sedang potong ekina
dalam acara penutupan

Eliazer Edowai dkk. sedang mengangkat ekina yang sudah masak

Bersatu Untuk Maju Selangkah, Menuju Perubahan”


Hari pertama

Acara pelantikan dan seminar yang digelar oleh Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Dogiyai Se-Jawa dan Bali tanggal 30-31 Januari 2009 di CD Bethesda Yogyakarta adalah lanjutan dari pemilihan BPH yang pernah dilakukan pada tanggal 8-9 Agustus 2008. Dengan adanya pelantikan tersebut, Badan Pengurus Harian Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Dogiyai resmi (sah) sebagaimana seperti paguyuban lainnya, demi melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendukung orang pribadi dalam mengembangkan kemampuan yang dimilikinya di luar sekolah dan kampus. Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Dogiyai Se-Jawa dan Bali yang belakangan dikenal dengan sebutan IPMADO berdiri setelah terjadinya pemekaran kabupaten baru (Dogiyai) yang dimekarkan dari kabupaten induk Nabire, beberapa waktu yang lalu.


Dalam acara pelantikan tersebut, awalnya dibuka dengan ibadah singkat yang dibawakan oleh Pdt. Benny Dimara, MA., sekitar pukul 08.30 dimana dalam khotbahnya ia (Pdt. Benny, red) meminta agar menjaga persatuan diantara semua invidu dalam tubuh IPAMDO yang ada di Jawa dan Bali, agar terjadi suatu perubahan pada diri sesorang dan Dogiyai ke depan. Ikatan Dogiyai merupakan Ikatan yang baru dilahirkan atau didirikan, sehingga diharapkan dalam program kerjanya berlandaskan Tuhan agar selalu dinaungi dalam semua kegiatan IPMADO Se-Jawa dan Bali ke depan lanjutnya. Pelantikan IPMADO yang dilantik oleh Pdt. Benny Dimara, MA., ini dalam pelantikannya menyebutkan nama Tuhan, sambil mengangkat Alkitab di atas kepala BPH terpilih.

Pelantikan yang dihadiri oleh anggota IPMADO Se-Jawa dan Bali serta utusan dari beberapa paguyuban yang ada di Yogyakarta ini berjalan lancar. walau anggota yang hadir pada saat itu kurang dari anggota seluruhnya. Pelantikan tersebut melibatkan masing-masing kordinator wilayah yang terbagi dalam 4 (empat) yakni Korwil I (Yogyakarta dan Solo), Korwil II Jatim (Surabaya, Malang dan Bali), Korwil III Jateng (Semarang, Salatiga), Korwil IV Jabar (Bandung dan Jabodetabek). Dengan adanya 4 kordinator wilayah, maka IPMADO pusat hanya sebagai pengontrol dan pembuat keputusan serta menjadi jembatan antara pelajar dan mahasiswa yang ada di Jawa dan Bali dengan pemerintah daerah Dogiyai. Program kerja IPMADO jangka pendek dan menengah dalam rangka mengembangkan Sumber Daya Manusia jangka pendek dijalankan oleh keempat kordinator wilayah tersebut, dan IPMADO pusat mengeluarkan surat keputusan untuk melakukan kegiatan yang melibatkan seluruh pelajar dan mahasiswa dari Jawa dan Bali. Sedangkan program kerja jangka panjang dilakukan oleh IPMADO pusat dan dibantu oleh setiap korwil yang ada.


Hari Kedua

Diskusi terbuka bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Dogiyai, dilanjutkan seusai pelantikan BPH IPAMDO. Dalam diskusi tersebut dihadiri oleh Sekda, Kabag. Pembangunan dan Tokoh Intelektual yang mana ketiganya adalah utusan dari Pemda Dogiyai. Kehadiran utusan pemda tersebut adalah dalam rangka memenuhi penggilan dari team formatur pembentukan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Jawa dan Bali agar hadir dan menyaksikan acara pelantikan dan seminar yang digelar. Ketiganya berbicara tentang program kerja Pemda Dogiyai ke depan. Program kerja yang dipaparkan adalah tidak jauh dari harapan mahasiswa, sehingga diskusi bersama pemda Dogiyai tersebut berjalan hangat dan lancar, walaupun situasi pada saat itu sedikit panas. Akhir dari diskusi mahasiswa menyerahkan usulan program kerja pembanguna Dogiyai ke depan yang disusun mahasiswa sebelum acara digelar. Penyerahan usulan program tersebut diterima baik oleh Pemda Kab. Dogiyai dan akan menjadi pertimbangan dalam pembangunan Dogiyai. Begitu juga dengan sebaliknya dalam rangka meningkatkan Sumber Daya Manusia secara Pemda pun menyerahkan uang dengan jumlah nominal Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah) kepada seluruh pelajar dan mahasiswa Dogiyai di Jawa dan Bali.

Pada hari yang ke dua adalah seminar tentang Pendidikan Luar Sekolah yang dibawakan oleh Yulianus Kuayo, SH. dan Ibu Widarmi Dipawirya Wijana, MM. Dalam seminar tersebut dibahas tentang betapa minimnya Sumber Daya Manusia di Dogiyai, sehingga untuk meningkatkan SDM mahasiswa dituntut untuk memiliki keahlian tertentu sesuai kebutuhan masyarakat Dogiyai. Keahlian yang dimiliki mahasiswa adalah dalam rangka membantu pemerintah daerah manuju masyarakat Dogiyai yang sejahtera. Pada sesi yang kedua adalah dengan topik Spritual Orang Kristen Papua oleh Medex Pakage dari Yayasan Biterbusih (Bina Teruna Cenderawasih) dalam pemaparan seminarnya tentang kebiasaan orang Kristen Papua dalam kehidupan sehari-hari, hambatan dan tantangan orang Papua dalam membangun gereja saat ini, serta kehidupan orang Kristen Papua di Jawa. Oleh sebab itu empat pilar yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh pelajar dan Mahasiswa di Jawa saat ini yakni: a). membina dan membangun spiritualitas, b). membina dan membangun intelektualitas, c). membina dan membangun emosional, d). ora et labora (berdoa sambil bekerja). Semua tujuan, harapan, cita-cita, rencana dan niat baik tanpa berdoa dan beribadah akan sia-sia bahkan tidak akan terwujud. Inilah tugas dan kewajiban kita semua yaitu; berdoa, berdoa, dan berdoa, belajar, belajar dan belajar untuk membangun Dogiyai pada khususnya dan Papua pada umumnya, katanya sambil sambil menutup seminarnya. Bantuan dari Binterbusih memberikan modal berupa uang kepada panitia penyelenggara sebesar 300.000,- untuk menjawab proposal yang diajukan panitia kepada Binterbusih.

Sesi ketiga dengan topik Kreativitas Mahasiswa yang di Dr. Alva Edy Tontowi, dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Pada awal seminarnya Alva mengatakan bahwa alam kita telah menyediakan semuanya, tinggal bagaimana manusia itu menggunakannya. Hasil kreativitas manusia direalkan menjadi inovasi. Dan hasil inovasi ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi penganguran di kampung dengan menggarap tenaga kerja dari kampung. Orang kreatif pada akhirnya disebut creator, dan motivasi untuk menciptakan inovasi ada dalam diri seseorang dan juga dari luar kata Dr. Alva Edy tantowi.


Hari Ketiga

Pada hari ketiga adalah hari penutupan dari rangkaian acara yang telah dilewati bersama. Bakar batu (ekina gapi) itulah tradisi bagi suku Mee yang mendiami pegunungan tengah Papua yang mana jika melakukan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang ditutup dengan pertumpahan darah babi. Bakar batu tersebut berlangsung di belakang Kampus Akademi Pariwisata Yogyakarta. Alam terbuka bersama udara segar di bawah pohon menambah kenyamanan pada saat menyantap gapita ekina.


Akhir kata seluruh Pelajar dan Mahasiswa Dogiyai yang ada di Jawa dan Bali menyampaikan banyak terimakasih kepada semua fihak yang membantu kami dalam menyukseskan acara ini. Suksesnya acara ini adalah karena atas keterlibatan kita semua. (Egeidaby).

Jumat, 23 Januari 2009

Pendidikan di Sugapa Sangat Memprihatinkan

Kepala Sekolah dan Guru Dalangnya
Oleh: Oktovianus Pogau

NABIRE- Terciptanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal serta berkompoten disuatu daerah adalah kunci utama majunya daerah itu. Tidak ada jalan lain yang dapat kita tempuh untuk mewujudkan SDM yang handal, selain melalui jalur pendidikan. Sehingga dengan ini, pendidikan perlu mendapatkan perhatian yang begitu serius dari setiap lembaga yang mengaturnya, yang diperhatikan bukan siswa saja, namun semua satuan pendidik yang mengurus itu perlu di pantau serius oleh pemerintah daerah baik guru, kepala sekolah, bahkan sampai pada masyarakat yang menjadi pelaku pendidikan itu sendiri.

Dimana dalam hal ini saya melihat pendidikan di kampung halaman saya (red, sugapa) sangat-sangat buruk dan memprihatinkan, lebih menggenaskan lagi yang merusak pendidikan di daerah ini adalah para guru dan kepala sekolah sendiri, memalukan, kata ini yang bisa saya gambarkan pada ketidakbecusan mereka dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) daripada generasi Papua yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang Ilmu Pengetahuan.

Hal ini di ungkapkan Linus Bagau, salah satu Inteleq asal suku Moni beberapa saat lalu di ketika di temui Koran Papua Post Nabire (PPN) Jumat (29/10) menanggapi dilematisasi carut-marutnya Pendidikan di sugapa (red, Intan Jaya). Yang sebagaimana hal ini disaksikan oleh dirinya melalui kasad matanya sendiri saat turun lapangan beberapa saat lalu.

“guru-guru yang telah menjadi pegawai negeri dan di tempatkan oleh pemerintah Paniai di sugapa, pada umumnya tidak punya hati untuk mengajar, dimana mereka hanya punya hati untuk menerima uang, padahal ketika mereka melamar untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sumpah janji mereka keluarkan untuk bagaimana tetapi setia dan taat kepada tugas yang pemerintah embani kepada mereka.

Hal ini terbukti, dimana guru-guru yang bertugas disana lebih senang lalu lalang di kota-kota besar seperti Kabupaten Paniai maupun Kabupaten Nabire bagai orang yang tidak punya tugas dan tanggung jawab daripada tinggal berlama-lama di tempat tugas untuk mengajar siswa yang kadang jenuh dan membosankan karena sedikit ketidaktauan mereka. Selain itu, banyak guru-guru yang lari ke Kabupaten Paniai untuk menuntut jabatan politik yang lebih tinggi lagi daripada hanya menjadi guru biasa. Inikan sebuah fakta yang lucu, dimana menjadi guru hanyalah sebuah job mengisi kekosongan mereka” tegasnya.

Selain itu, Kepala sekolah maupun guru yang bertugas di sana tidak transparan dalam penggunaan dana operasional. Padahal dana pendidikan yang di turunkan oleh Pemerintah Pania tidak sedikit jumlahnya, sehingga hal ini perlu di tanyakan dengan baik-baik, kira-kira kemana dana-dana pendidikan seperti itu. Padahal, kalau dana itu digunakan dengan baik-baik maka bukan tidak mungkin bisa membangun beberapa ruang kelas yang layak, selain itu bisa juga membangun perpustakaan kecil dan fasilitas sekolah yang lainnya.

Namun, sudah sekian tahun dana pendidikan dikucurkan, toh nasib pendidikan di daerah ini tidak berubah. Ruang kelas yang saya lihat dulu, tetap begitu-begitu terus, kemudian mutu dan kualitas pendidikan tidak di tambah dengan adanya penambahan beberapa buku pelajaran. Kapan mau adanya perubahan dan peningkatan pendidikan di daerah ini padahal Pemekaran Kabupaten Intan Jaya sedikit lagi akan menjadi kenyataan, terangnya dengan wajah yang sedih.

“yang mengabdi untuk daerah diatas khususnya dalam hal pendidikan dengan serius adalah para guru tamatan SMA/SMK dan sederajat lainnya. Mereka walaupun bukan pegawai negeri sipil, toh mereka punya hati untuk tanah diatas. Dimana mereka memberkan semua yang mereka punya, tanpa menuntut. Ini baru kita bisa namakan seorang pahlawan yang mengabdi tanpa tanda jasa. Contohnya dapat kita lihat di Agisiga, dimana guru-guru yang di berikan kepercayaan dengan bayaran yang cukup tinggi oleh pemerintah paniai melalaikan semua itu, sehingga beberapa guru honorer tamatan SMA/SMK dan sederajat lainya yang lebih serius mengajar,” tambahnya.

Harapan saya Kepada Pemerintah Paniai, bagaimana untuk meningkatkan mutu pendidikan dan Sumber Daya Manusia (SDM) di sugapa pemda harus lebih jeli dalam menempatkan guru di daerah Sugapa. Berikan tanggung jawab kepada mereka yang memang betul-betul punya hati untuk mengajar generasi muda diatas dari pada kepada mereka yang sama sekali tidak punya hati untuk mengajar. Ketika hal ini di tanggapi dengan serius, maka bukan tidak mungkin akan tercipta manusia-manusia dengan tingkat sumber daya manusia yang dapat bersaing dengan orang-orang di daerah luar Papua, terang bagau mantap.

Rabu, 21 Januari 2009

Homogenisasi Kebudayaan; Krisis Paling Berbahaya

“KEBUDAYAAN adalah keseluruhan gagasan, tindakan dan taktik manusia dalam merespon alam, lingkungan dan sesamanya. Semua yang dilakukan, diciptakan dan dilatihkan dapat disebut kebudayaan. Norma, moral dan agama juga bagian dari kebudayaan, “ tutur Antariksa, salah satu tokoh muda yang juga pengurus KUNCI.

Menurutnya, kebudayaan dibebani oleh nilai-nilai serta berkaitan dengan ketergantungan pada nilai yang lain. Ia juga selalu berubah. Contohnya di era Soekarno. Kebudayaan dibuat sangat politis sedang era Suharto dibuat sedemikian tidak politis, sebab jika kebudayaan itu tidak senada dengan kepentingan penguasa ia dianggap membahayakan.
Apakah kebudayaan dibentuk oleh nalar politik seseorang dan sengaja diarahkan pada satu ideologi tertentu atau sebaliknya ? Hubungan keduanya bertimbal balik. Bisa jadi nalar mengubah kebudayaan tetapi bisa juga keadaan yang kita alami sehari-hari membentuk nalar kita. Jadi kebudayaan selalu politis dan menjadi arena pertarungan kepentingan.


Budaya Kekerasan

Ada anggapan, budaya kekerasan di Indonesia bermula dari Tragedi ’65. Tapi menurut Antariksa, hal itu tidak sepenuhnya benar. “Jauh sebelumnya bangsa kita punya sejarah kekerasan yang panjang. Hanya saja, Tragedi ‘65 merupakan tonggak penting karena budaya kekerasan itu dilembagakan dalam skala yang sangat besar dan didukung oleh alat-alat kekerasan yakni tentara dan produk hukum,” tuturnya

Ia juga menambahkan, kelembagaan yang diciptakan Orde Baru menciptakan satu pikiran bahwa, misalnya komunis itu jahat, komunis itu brengsek, komunis itu berbahaya. Yang lebih ngeri lagi, kekerasan dilembagakan dalam bentuk laten sifatnya, misalnya lewat kurikulum, ceramah, tuturan orang tua, film dan lain sebagainya. “Inilah yang tidak pernah terjadi sebelum ’65,” ungkap Antariksa.
Krisis kebudayaan dialami oleh setiap orang di seluruh dunia termasuk Indonesia. Salah satu krisis paling berbahaya – dan herannya kita tidak menganggapnya sebagai hal yang keliru – adalah homogenisasi (penyeragaman) kebudayaan.
“Kalau kita ke Aceh atau Papua, kita akan menemukan semuanya sama. Bajunya sama, cara bicaranya sama, bahkan cara berpikirnya juga dibuat sama. Semua diseragamkan oleh kepentingan uang. Disini tampak bahwa negara makin kehilangan perannya dalam politik kebudayaan. Peran tersebut telah digantikan oleh kekuatan modal ekonomi dan diutamakan atas nama modernisasi sebagai ukuran kemajuan suatu bangsa,” ujar Antariksa.
Salah Satu Alat

Menurutnya, negara seharusnya mengambil peran dalam kebijakan kebudayaan dan melindungi kebudayaan rakyat. Sebagai contoh, masuknya budaya asing melalui media elektronik.
“Menurut saya lembaga sensor adalah solusi paling tolol dan paling malas karena dibalik kebijakan sensor ada anggapan bahwa masyarakat itu bodoh dan harus diatur-atur. Didunia ini banyak kejahatan dan keburukan. Kenapa tidak membuat pendidikan media literasi dan penguatan-penguatan di bidang pendidikan? Itu lebih masuk akal,” ujarnya.
“Menentukan tolak ukur maju tidaknya sebuah kebudayaan itu sulit karena kita hanya bisa bicara dalam skala yang massif yakni negara. Yang bisa diukur adalah bagaimana lembaga-lembaga negara memperlakukan kebudayaan, bagaimana budaya itu hidup, apakah kebijakan kebudayaan bisa memerdekakan masyarakat, apakah kebudayaan yang dijalankan pro kepentingan rakyat, dll. Dari material inilah kita baru bisa mengukurnya,” tuturnya.
Terkait dengan peranan budaya sebagai pembangun karakter bangsa, kebudayaan bukanlah koridor atau alat utama. Kebudayaan hanyalah salah satu alat saja dan harus dijalankan berbarengan dengan koridor-koridor yang lain, misalnya koridor politik, ekonomi, dsb. Jadi semuanya saling melengkapi. (Sari Anantya Rosa)


Sumber: http://www.syarikat.org/article/