Pages

Subscribe:

Jumat, 22 Mei 2009

Papua Dalam Bayang-Bayang Pelanggaran HAM


Hak asasi manusia merupakan hak dasar atau hak kodrat yang di bawah oleh setiap orang sejak lahir. Untuk itu hak-hak ini perlu di junjung tinggi dan di hormati oleh setiap orang.
Matius Murib, Ketua (KONTRAS) Papua kepada Jubi tahun lalu di Jayapura mengatakan para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ini berpotensi tapi mau bagaimana lagi, mereka masih terus dikorbankan. “Sekarang ada Undang-undang baru No. 18 tahun 2008 dan ini juga membuka ruang bagi perorangan untuk duduk di partai politik, itu juga merupakan hak politik seseorang hak asasi seseorang tidak boleh ditekan terus menerus harus beri ruang untuk mereka,”tutur Murib.
Menurut Murib kekerasan yang terjadi di Indonesia dan khususnya di Papua, sampai saat ini belum ada satu kasus pun yang diadili di peradilan Indonesia. “Kasus yang satu-satunya baru dibahas dan dibawa sampai ke pengadilan Makasar yaitu Kasus Abepura berdarah, 07 Desember tahun 2000, tetapi keputusannya sangat mengecewakan korban. Pelakunya dibebaskan, malah pangkatnya dinaikkan dan dihormati sebagai pahlawan yang berhasil membunuh musuhnya,” ujar Murib heran.
Korban pada saat itu khususnya orang Papua lanjut Murib tidak dilihat lagi sebagai manusia, tetapi hanya dilihat sebagai separatis musuh Negara yang harus dihabiskan. “Padahal kalau mau di lihat dalam kasus 7 Desember tahun 2000 itu, para korban mayoritas petani, ibu-ibu, mahasiswa, bahkan ada pelajar anak perempuan yang baru berumur 7 tahun,”ungkap Murib..
“Masa orang seperti ini harus di cap dan distigmakan sebagai separatis atau musuh Negara. Seharusnya Negara melihat korban pelanggaran HAM sebagai manusia yang harus dilindungi, tetapi malah sebaliknya, Negara melihat korban pelanggaran HAM sebagai musuh negara atau separatis yang harus diberantas,” ujar Murib tegas.



Dijelaskannya, saat ini untuk menemukan keadilan sangat sulit di Peradilan Indonesia secara umum. Khususnya korban di Papua tidak ada kebebasan untuk menyampaikan hak-haknya melalui peradilan, karena semua lini sudah di kuasai oleh militer dan polisi. Kasus Biak berdarah sampai saat ini kasusnya sudah tiba di Komnas HAM tetapi masih tarik ulur antara Komisi Nasional (Komnas) HAM dengan Mahkamah Agung, belum sampai tingkat peradilan, begitu juga dengan kasus enam belas (16 ) Maret, sampai saat ini belum diselesaikan. Baru satu saja yang di selesaikan yaitu kasus Abepura berdarah, 7 Desember tahun 2000, kasus ini yang sudah diselesaikan dan dinaikkan ke peradilan Makassar.
Sedangkan kasus Biak berdarah, kasus enam belas Maret Abepura berdarah, Kasus Wasior, dan Kasus Wamena berdarah sampai saat ini belum dinaikkan sampai ke pengadilan. Jadi secara umum di Papua itu ada tujuh kasus pelanggaran HAM besar, diantaranya kasus Biak, Wamena, Abepura, Wasior dikategorikan sebagai Kasus pelanggaran HAM berat. Namun dari tujuh macam kasus itu, baru satu kasus saja yang diselesaikan, yaitu kasus Abepura berdarah 07 Desember tahun 2000. Kemudian untuk hasil sidang di Jenewa menurut Murib pihaknya sampai saat ini belum mendapatkan hasil sidang tersebut. Namun kata dia Kontras secara nasional dan internasional lembaga ini didirikan untuk memperjuangkan masalah-masalah pelanggaran HAM, sampai kapan pun dan juga tetap memperjuangkan kasus-kasus pelanggaran HAM khususnya di Papua.
Lanjut Murib, Sampai saat ini korban pelanggaran HAM belum mempunyai kebebasan untuk menyampaikan hak-hak mereka. Mereka bingung mau sampaikan lewat saluran mana, karena seluruh saluran itu sudah dikuasai oleh Negara dan menjadi milik negara, sehingga yang bisa mereka lakukan yaitu hanya berdoa dan berharap kepada Tuhan.
“Kelihatannya tidak ada lembaga yang membuka diri untuk menerima mereka, mau mengatakan mari saya akan memberikan rasa keadilan yang selama ini kamu cari, saat ini cukup sulit. Baik secara individu atau lembaga sampai saat ini tidak ada yang menjamin, termasuk Komnas HAM sendiri tidak jelas dan serius untuk menangani setiap kasus,”jelas Matius Murib.
Murib menambahkan, sampai saat ini posisi para korban masih sangat terancam, mereka masih trauma dan sangat tidak jelas. Para korban masih berjuang sendiri, mereka hanya bisa lakukan juga yaitu ; kumpul-kumpul, berdoa dan saling bagi pengalaman antara korban dan korban. “Negara sangat tidak memberikan mereka kebebasan. Karena ketika mereka mau mengatakan hak mereka, langsung di stigma sebagai separatis sehingga tidak mungkin,”tambah Murib.
Sedangkan salah satu korban pelanggaran HAM, Peneas Lokbere yang juga menjabat sebagai Koordinator Komunitas Survivor Abepura (KSA), menanggapi hasil sidang di Jenewa pada bulan April-Juni, mengatakan setiap delegasi dari Indonesia yang jelas Pemerintah, mereka menyampaikan masalah-masalah nasional. “Mereka membicarakan kondisi pelanggaran HAM di Indonesia secara nasional. Apa yang disampaikan disana tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi, bisa dibilang itu juga termasuk kepentingan Negara dan membela diri, padahal tindakan yang dilakukan itu sangat tidak manusiawi,”ujar Lokbere.
“Contoh saja Menteri Dalam Negeri, belum melihat sendiri kasus-kasus yang terjadi, di Papua mau pun di daerah lain, tetapi hanya melihat kasus-kasus tersebut lewat surat-surat kabar yang ditulis, sehingga data data yang disampaikan pada saat sidang PBB disana itu tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi di Papua dan daerah lainnya. Waktu itu Ketua Komisi yang mewakili Indonesia ke Swiss waktu terlalu banyak janji akan menyelidiki para penegak hukum, dan Komnas HAM untuk mendesak Presiden agar ada penekanan-penekanan dan keputusan hakim ada keadilan bagi para korban, contohnya seperti kasus Abepura berdarah,” ujar Peneas Lokbere.
“Kasus Abepura berdarah itu harus ada tindakan-tindakan kepada para korban, itu bisa ada keadilan bagi para korban tetapi ternyata memang keputusan hakim itu sangat mengecewakan korban. Pelaku dianggap sebagai pahlawan yang menyelamatkan negara sehingga dia bisa mendapatkan penghargaan dengan kedudukan yang lebih tinggi, naik pangkat, itu suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi, sementara para korban tetap dipersalahkan,” ungkap Peneas lokbere.
Menurut Peneas keputusan hasil sidang di Swiss Jenewa itu tidak sesuai, ada beberapa poin-poin yang mereka abaikan, perwakilan dari Indonesia yang mengikuti sidang sebenarnya mempunyai maksud untuk menegakan HAM di Indonesia ini, hasil kerja mereka tidak jelas. .
Lebih lanjut kata Pineas ada sekian banyak kasus pelanggaran HAM di Papua dari sejak tahun 1960 an sampai 2006, banyak kasus ini pemerintah tidak serius untuk menyelesaikannya. “Kasus Abepura 2000 itu suatu peluang ini menjadi contoh bagi kasus pelanggaran HAM di Indonesia.Tetapi orang-orang yang menyelesaikan kasus ini tidak menegakan hukum. “Itu merupakan pengalaman, dengan adanya pengalaman itu, kami para korban mulai melakukan Forum korban dari tanggal 05- 10 Maret 2007,” ungkap Lokbere
Dikatakan, dalam Forum itu ada beberapa point penting yang menjadi komitmen kami untuk tetap dilakukan antara lain; Pertama, setiap momen terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. “Kami akan mengadakan kegiatan kampanye publik. kami terus mengingatkan kepada publik bahwa kasus ini belum selesai. Sehingga setiap kali terjadi pelanggaran HAM kami terus melakukan kampanye, kampanye atau publikasi kasus-kasus itu bukan hanya di Jayapura, tetapi di Biak, Wamena, dan Timika, Jayapura sebagai central,”tegas Lokbere.
Kedua, membangun solidaritas para korban, karena selama ini korban jadi diam atau membisu hanya mengharapkan ada pertolongan mungkin ada pertolongan dari LSM atau Pemerintah yang membantu.
“Kami hanya ingin agar peristiwa itu membuat kami untuk membangun solidaritas agar jangan terkesan kami mau berjuang untuk mempertahankan hak-hak kami,” tegas Lokbere.
Ketiga, melakukan suatu dorongan kepada Pemerintah Daerah agar perlu mengeluarkan Peraturan Daerah yang menyangkut hak-hak korban pelanggaran HAM. “ Kami para korban berbicara itu berdasarkan peraturan yang ada, karena selama ini tidak ada, sehingga korban itu diabaikan begitu saja,” urai Lokbere.
Lanjut Lokbere, Pelaksanaan dari keputusan itu sudah dilakukan tahun 2007, dan sudah melakukan peringatan-peringatan untuk semua kasus, tetapi bentuk atau jenis-jenis kegiatan yang biasanya yang kami lakukan tidak hanya satu tetapi selang seling, biasanya dalam bentuk aksi, pawai obor, konferensi pers, dan juga melakukan audensi dengan Pemerintah bahwa kasus ini belum selesai.
Kemudian kata Lokbere pada bulan Maret 2008 lalu telah melakukan pertemuan forum korban kedua di Biak tanggal 26-28 dalam forum ini berhasil membentuk satu wadah korban yang namanya Bersatu Untuk Kebenaran (BUK). Lembaga ini menjadi pos-pos kontak di setiap Daerah. Kasus Wamena tahun 2003, Abepura 15 maret 2006, tempat itu yang menjadi pos-pos kontak , sedangkan sentral ada di Jayapura. “ Selain itu kita dapat juga membangun kapasitas melalui building capacity,” ujar Lokbere.
Dalam kapasitas building pihaknya juga melakukan pelatihan ketrampilan-ketrampilan yang menyangkut dengan HAM, pelatihan-pelatihan mengenai cara membuat laporan, ini yang menjadi kebijakan dalam BUK. “Jadi sementara ini kami mempersiapkan akte notaris dan persiapan administrasi lain untuk BUK. Para korban itu yang terjadi dalam kejadian-kejadian itu biasanya dua atau tiga orang itu ditembak Sebagai contoh saja kasus Abepura berdarah itu korban dulunya ada 105 orang, tiga diantaranya lebih awal meninggal, tetapi sampai sekarang sudah mencapai 11 orang. Salah satunya Mundo Suplayo dia mendapat penindasan permanen, Mundo dipukul ditulang belakangnya sampai patah akhirnya dia mengalami penderitaan sampai mati, ini sebenarnya menjadi tanggung jawab Negara,” ujar Lokbere.
Orang biasanya membela HAM di Papua, namun kata Lokbere biasanya pembicaraan mereka tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Papua, jadi korban-korban di atas korban. “Ada orang lain yang mempunyai tujuan baik tetapi kadang-kadang di siksa dan dibunuh. Itu yang membuat selama ini kami membuat sebuah lembaga kecil. Selama ini korban masih berusaha untuk memperjuangkan hak-haknya namun tidak secara langsung tetapi kami masih di dorong oleh LSM, seperti FOKER LSM, Kontras, dan PBI di Jakarta,”ujar Lokbere.
Harapan Lokbere memang tidak banyak tetapi yang terpenting adalah agar harus mengembalikan hak hak yang telah hilang dan dirampas.” Sebab hak dan martabat manusia ini tidak ada perbedaan diantara kita itu semua sama, tetapi kenapa hak-hak korban itu tidak dianggap sebagai nilai sebagai manusia dan itu yang kami tuntut dari Pemerintah dan Negara, pengembalian nama baik. Terutama orang Papua karena pada umumnya itu provokasi oleh Negara, yang menjadi korban adalah orang yang tidak tahu menahu merekalah yang menjadi korban. Harus ada keadilan bagi kami dan pengakuan dari Negara bahwa mereka adalah korban pelanggaran HAM. Karena selama ini negara masih harus mencap sebagai separatis dan siksa terus sampai mati,” ujar Lokbere. (Musa Abubar)
Sumber: http://id.wordpress.com/tag/jubi-utama/

Kamis, 21 Mei 2009

Kebenaran Itu Paradoks


Jakob Sumardjo

Realitas ini akan mengejutkan manusia modern, karena kita terbiasa hidup dalam kebenaran tunggal. Hidup dalam paradigma menang-kalah. Yang menang adalah yang lebih banyak, lebih kuat, lebih kaya, lebih pandai berartikulasi. Siapa menang akan benar. Yang kalah itu tidak benar.

Hidup ini adu kekuatan, perang. Dan perang membutuhkan konflik. Dan konflik adalah perbedaan-perbedaan. Di mana tumbuh perbedaan-perbedaan, maka di situ muncul konflik. Setiap perbedaan mengklaim dirinya benar. Dan karena setiap kebenaran itu ingin hidup dan berkembang, sebagai hak asasi, maka yang terjadi adalah perang-kebenaran. Kebenaran yang lebih kuat akan menggencet dan menyingkirkan kebenaran yang kalah. Itulah cara berpikir kita sekarang ini.

Perbedaan adalah pluralisme, suatu bhinneka. Pluralisme adalah kodrat, alamiah, di luar kuasa manusia. Lihatlah langit, ada matahari, bulan, dan aneka ragam bintang-bintang. Lihatlah alam dunia ini, ada gunung dan dataran rendah, ada daratan ada hutan, ada hulu dan ada hilir, ada siang dan ada malam.

Pluralisme juga ada dalam kebudayaan manusia. Cara berpikir orang-orang di kutub berbeda dengan cara berpikir orang-orang di khatulistiwa. Cara berpikir orang padang rumput berbeda dengan cara berpikir (dan cara hidup) orang rimba raya. Cara berpikir alam dua musim berbeda dengan yang empat musim. Cara berpikir orang dagang berbeda dengan cara berpikir orang tani. Kebenaran kaum pemburu berseberangan dengan kebenaran kaum tani.


Sejarah perang kebenaran

Pluralitas adalah realitas yang tidak dapat direduksi menjadi kebenaran tunggal. Sejarah penderitaan manusia adalah sejarah perang kebenaran untuk menduduki tempatnya yang tunggal di dunia ini. Dan tidak pernah tercapai. Tampaknya sudah tercapai, tetapi umurnya tidak panjang, karena realitas itu kebhinnekaan.

Namun, manusia tidak pernah belajar dari sejarah dirinya sendiri. Konflik kebenaran tetap dilanjutkan dengan perang kebenaran. Manusia itu musuh bagi sesamanya. Dan musuh itu harus dilenyapkan karena merupakan gangguan dan ancaman bagi dirinya. Manusia ingin hidup dengan kebenarannya sendiri sambil menafikan kebenaran yang lain. Seandainya ini pun terjadi, maka kebenaran tunggalnya itu pun lambat laun akan menumbuhkan dirinya dalam kebenaran plural. Sejarah manusia telah membuktikan hal ini berkali-kali.

Mengapa manusia bisa keras kepala, ndableg, seperti itu? Karena kehendak bebasnya, karena kebebasan pikirannya. Engkau boleh memenjarakan badannya, menyakiti dan mengancamnya, tetapi engkau tidak mungkin melenyapkan pikirannya.

Kebenaran tunggal itu melawan kodrat manusia sendiri. Kebenaran tunggal itu antikebebasan, bahkan untuk dirinya sendiri. Kebenaran tunggal adalah pembekuan pikiran. Mandek. Tertutup dan sumpek. Manusia-manusia tertutup seperti ini membuat dunia berhenti kehilangan cakrawala. Manusia bukan manusia lagi, hanyalah kawanan bebek atau kerbau yang menuruti lecutan si pemilik kebenaran.



Kearifan lokal

Ada cara berpikir lain milik kearifan lokal Indonesia, terutama manusia Indonesia yang nenek moyangnya hidup dari pertanian. Indonesia adalah ribuan pulau di khatulistiwa dengan aneka ragam hayati dan geografi. Apa pun yang ada di dunia ini ada di Indonesia. Hutan, gunung, sungai, rawa-rawa, laut, teluk, tanah genteng, bantaran, padang sabana, padang pasir, padang tandus, tundra, salju. Gempa, gunung api, tanah longsor, tsunami, tanah turun-ambles, semua ada di Indonesia.

Manusia Indonesia melihat itu semua tetapi tidak melihat. Namun, nenek moyang orang Indonesia melihat apa yang dilihatnya, karena mereka hidup bergantung pada alam ekologinya. Mereka bukan hanya mampu melihat ekologi, tetapi juga mampu membaca ekologi. Mereka hidup dengan alam, bersama alam, dan dalam alam. Bahkan menjajarkan dirinya dengan alam. Dan alam itu bukan obyek mati yang bisa dibikin semena-mena oleh manusia. Alam itu seperti manusia yang dapat murah hati, penuh kasih sayang, tetapi juga dapat marah, merusak dan mematikan.

Manusia mengenal kasih sayang dan kebencian, begitu pula alam. Kasih sayang itu menumbuhkan kehidupan, sedangkan kebencian itu merusak kehidupan. Kasih sayang dan kebencian adalah pola hubungan dua pihak. Cinta itu muncul antara yang mencinta dan yang dicintai, begitu pula kebencian. Nenek moyang Indonesia menyadari pluralisme ini, perbedaan-perbedaan ini, kemungkinan-kemungkinan konflik ini. Manusia Indonesia lebih memihak kepada kehidupan yang plural ini. Pluralisme adalah realitas, tanpa kebhinnekaan hidup akan berhenti, mati, pluralisme adalah hidup ini sendiri.

Bagaimana Anda dapat hidup bersebelahan dengan orang yang memusuhi Anda karena kebenaran kita berbeda? Untuk apa menang kalau yang lain tak ada? Kemenangan selalu membutuhkan kekalahan. Kehidupan dalam kebenaran tunggal hanya mungkin kalau yang lain itu kalah dan dimatikan. Kearifan lokal Indonesia menolak menang dan kalah, karena berpihak pada prinsip kehidupan. Jadi, banci dan tak punya prinsip? Justru prinsipnya memihak kepada kehidupan yang plural ini. Membunuh kebenaran yang lain itu jahat, tidak etis. Lha, bagaimana itu mungkin?

Itulah kebenaran paradoks. Kalau kebenaran saya berseberangan dengan kebenaran Anda, maka masing-masing dari kita harus memparadokskan diri. Saya mengenal dan memahami kebenaran Anda, dan Anda juga mengenal dan memahami kebenaran saya. Karena saya mengenal Anda, maka saya akan melakukan atau tidak melakukan hal-hal yang Anda sukai atau Anda tidak sukai. Begitu pula Anda.

Justru itu dilakukan untuk mempertahankan prinsip masing-masing. Dalam memahami yang lain, diri masing-masing tidak berubah. Saya tetap saya, dan Anda tetap Anda. Itulah yang terjadi dalam kebenaran paradoks. Kondisi paradoksal itulah yang akan menyelamatkan prinsip kita masing-masing, karena saya tahu apa yang Anda mau dan Anda tahu apa yang saya mau. Dan karenanya kita dapat bersikap yang dapat menghindarkan konflik.



Kebenaran baru

Sikap paradoks seperti ini tak akan terjadi kalau kita tidak membuka diri. Manusia tertutup tak mungkin hidup tanpa konflik, karena manusia ini buta. Melihat tetapi tidak melihat. Manusia paradoks adalah manusia terbuka tetapi tetap mempertahankan kebenaran sendiri. Manusia Indonesia lama itu bukan jenis manusia sintesis, banci, dan mencla-mencle. Kebenaran saya tetap ingin hidup, dan kebenaran Anda juga tetap ingin hidup. Bagaimana hidup itu sendiri mungkin kalau saya mematikan Anda atau Anda mematikan saya? Saya tidak rela mati dan Anda juga tidak rela mati atau dimatikan. Apakah hak hidup ini hanya untuk kebenaran saya saja?

Jadi, nilai kebenaran Indonesia itu paradoks. Tepo sliro manjing ajur ajer. Subyek menjadikan dirinya obyek. Manusia memasuki pikiran yang lain. Manusia menjadikan dirinya seperti alam. Saya tahu bagaimana alam akan memberikan kasih sayangnya kepada saya, dan saya juga tahu bagaimana alam akan marah dan membinasakan diri saya. Saya tahu bagaimana Anda akan memberikan kasih sayang Anda kepada saya, dan saya juga tahu bagaimana saya dapat membuat Anda marah.

Inilah kearifan harmoni itu. Harmoni hanya dapat dicapai dengan mengembangkan sikap paradoksal. Membuka diri untuk yang lain. Harmoni bukan sintesis peleburan yang melenyapkan kebenaran masing-masing. Artinya rela melenyapkan kebenaran sendiri dengan membentuk kebenaran baru yang merupakan sintesis kebenaran baru. Inilah sebabnya banyak tokoh tidak berhasil ketika berusaha membentuk agama baru dari campur aduk berbagai agama.

Harmoni itu tidak menetap dan konstan. Harmoni dicapai lewat paradoks ketika gejala konflik memanas. Lalu kembali ke diri masing-masing. Hidup memang berpotensi konflik, tetapi konflik itu tidak konstan. Tegang terus itu tidak baik.

Jakob Sumardjo Esais (Kompas. Sabtu, 26 Agustus 2006)

Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/26/opini/2903841.htm

Senin, 18 Mei 2009

IKATAN PELAJAR DAN MAHASISWA DOGIYAI (IPMADO) SE-JAWA DAN BALI MENGGELAR KONGRES I



“Menata Untuk Membangun”, bunyi kata tersebut adalah Motto IPMADO yang berhasil diputuskan dalam kongres I Ikatan Pelajar dan Mahasiswa dan Mahasiswa Dogiyai. Kongres ini berlangsung di Asrama “Koteka” Semarang (16/5/09). Doa pembukaan oleh Marian Douw Mahasiswa asal kota studi Semarang, pada pukul 08.45. menandakan kongres tersebut dimulai. Sebagian besar Pelajar dan Mahasiswa yang datang dari berbagai Kota Studi seperti Yogyakarta, Jakarta, Bogor, Bandung dan Semarang sudah siap untuk melanjutkan kongres tersebut. Dalam kongres yang berlangsung sederhana tersebut Pelajar dan Mahasiswa dari kota studi Surabaya, dan Malang belum sempat menghadiri karena mengingat kesibukan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Moderator yang dipimpin oleh Marthen Douw memberikan kesempatan kepada Ketua Ipmado Kota studi Semarang Leonardus Yonine Magai, yang mana menjadi Tuan Rumah untuk menyampaikan kata sambutan.



Usai kata sambutan dari ketua IPMADO Semarang dilanjutkan dengan beberapa kata sambutan seperti dari Ipmado Pusat yang diwakili oleh Sekretaris (Mateus Ch. Auwe) dan Senioritas (Sesco Dimi). Kata sambutan pun berlalu seiring berjalannya waktu dan kini Moderator yang juga adalah Mahasiswa Jurusan Ekonomi Manajemen UDINUS Semarang memberikan kesempatan untuk melanjutkan perkenalan. Dalam Kongres yang dihadiri oleh Ketua Hipmapas (Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Papua Semarang) Dujan Kogoya itupun dimulai.

Pada acara inti, pertama-tama mengubah struktur dan mekanisme organisasi dari Korwil menjadi kota studi. Korwil yang mana sebelumnya terbagi dalam empat korwil masing-masing Korwil I (Yogyakarta, Solo dan Purwokerto), Korwil II (Surabaya, Malang dan Bali), Korwil III (Semarang, Ungaran dan Salatiga), Korwil IV (Jakarta, Bogor dan Bandung). Dikarenakan jarak yang menghubungkan satu kota studi dengan kota studi lain dan juga karena masing-masing anggota mempunyai kegiatan di kampus maupun diluar kampus. Namun IPMADO Pusat yang membawahi seluruh kota studi yang sementara berkedudukan di Yogyakarta tetap berjalan (perubahan hanya ganti Korwil menjadi Kota Studi).

Perubahan AD/ART dilanjutkan seusai struktur dan mekanisme organisasi di dirubah. Hingga pada agenda berikut tentang persiapan Pengadaan Buku dan Pengembangan Pendidikan di Kabupaten Dogiyai tanggal 15-20 Juli mendatang. Pengadaan Buku dan Pengembangan Pendidikan yang mana dari IPMADO Pusat memberikan tanggung jawab kepada kota Studi Semarang untuk bertanggung jawab dari persiapan hingga pelaksanaan nanti. Dalam proses persiapan Leonardus Magai yang juga Mahasiswa Fakultas Kesehatan UDINUS Semarang memberikan tanggung jawab kepada seluruh anggota Dogiyai yang tersebar di Jawa dan Bali dalam bentuk sumbangan buku SMP dan SMA. Sumbangan buku ini agar disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku saat ini kata Leo. Disamping sumbangannya dijalankan diminta agar bekerja sama dalam bentuk bantuan buku.

Pada pukul 21.36, doa dari Kristianus Douw menutup kongres yang digelar tersebut. Masuk distudio music oleh beberapa anggota kongres yang memunyai bakat dibidang music, sekaligus refresing. [Amoye Egeidaby].

sumber: http://egedy-news.blogspot.com