Pages

Subscribe:

Sabtu, 07 Februari 2009

DARI PELANTIKAN DAN SEMINAR IKATAN PELAJAR DAN MAHASISWA DOGIYAI SE-JAWA DAN BALI

Diskusi bersama Pemda Dogiyai

Seminar tentang Pendidikan Luar sekolah bersama
Ibu Widarmi dan Yulianus Kuayo dari Depdiknas

Seminar tentang Kreativitas Mahasiswa
oleh Dr. Alva Edy Tamtowi (Dosen Universitas Gadjah Mada)

Ones Yobee dan Leonardus Magai sedang potong ekina
dalam acara penutupan

Eliazer Edowai dkk. sedang mengangkat ekina yang sudah masak

Bersatu Untuk Maju Selangkah, Menuju Perubahan”


Hari pertama

Acara pelantikan dan seminar yang digelar oleh Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Dogiyai Se-Jawa dan Bali tanggal 30-31 Januari 2009 di CD Bethesda Yogyakarta adalah lanjutan dari pemilihan BPH yang pernah dilakukan pada tanggal 8-9 Agustus 2008. Dengan adanya pelantikan tersebut, Badan Pengurus Harian Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Dogiyai resmi (sah) sebagaimana seperti paguyuban lainnya, demi melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendukung orang pribadi dalam mengembangkan kemampuan yang dimilikinya di luar sekolah dan kampus. Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Dogiyai Se-Jawa dan Bali yang belakangan dikenal dengan sebutan IPMADO berdiri setelah terjadinya pemekaran kabupaten baru (Dogiyai) yang dimekarkan dari kabupaten induk Nabire, beberapa waktu yang lalu.


Dalam acara pelantikan tersebut, awalnya dibuka dengan ibadah singkat yang dibawakan oleh Pdt. Benny Dimara, MA., sekitar pukul 08.30 dimana dalam khotbahnya ia (Pdt. Benny, red) meminta agar menjaga persatuan diantara semua invidu dalam tubuh IPAMDO yang ada di Jawa dan Bali, agar terjadi suatu perubahan pada diri sesorang dan Dogiyai ke depan. Ikatan Dogiyai merupakan Ikatan yang baru dilahirkan atau didirikan, sehingga diharapkan dalam program kerjanya berlandaskan Tuhan agar selalu dinaungi dalam semua kegiatan IPMADO Se-Jawa dan Bali ke depan lanjutnya. Pelantikan IPMADO yang dilantik oleh Pdt. Benny Dimara, MA., ini dalam pelantikannya menyebutkan nama Tuhan, sambil mengangkat Alkitab di atas kepala BPH terpilih.

Pelantikan yang dihadiri oleh anggota IPMADO Se-Jawa dan Bali serta utusan dari beberapa paguyuban yang ada di Yogyakarta ini berjalan lancar. walau anggota yang hadir pada saat itu kurang dari anggota seluruhnya. Pelantikan tersebut melibatkan masing-masing kordinator wilayah yang terbagi dalam 4 (empat) yakni Korwil I (Yogyakarta dan Solo), Korwil II Jatim (Surabaya, Malang dan Bali), Korwil III Jateng (Semarang, Salatiga), Korwil IV Jabar (Bandung dan Jabodetabek). Dengan adanya 4 kordinator wilayah, maka IPMADO pusat hanya sebagai pengontrol dan pembuat keputusan serta menjadi jembatan antara pelajar dan mahasiswa yang ada di Jawa dan Bali dengan pemerintah daerah Dogiyai. Program kerja IPMADO jangka pendek dan menengah dalam rangka mengembangkan Sumber Daya Manusia jangka pendek dijalankan oleh keempat kordinator wilayah tersebut, dan IPMADO pusat mengeluarkan surat keputusan untuk melakukan kegiatan yang melibatkan seluruh pelajar dan mahasiswa dari Jawa dan Bali. Sedangkan program kerja jangka panjang dilakukan oleh IPMADO pusat dan dibantu oleh setiap korwil yang ada.


Hari Kedua

Diskusi terbuka bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Dogiyai, dilanjutkan seusai pelantikan BPH IPAMDO. Dalam diskusi tersebut dihadiri oleh Sekda, Kabag. Pembangunan dan Tokoh Intelektual yang mana ketiganya adalah utusan dari Pemda Dogiyai. Kehadiran utusan pemda tersebut adalah dalam rangka memenuhi penggilan dari team formatur pembentukan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Jawa dan Bali agar hadir dan menyaksikan acara pelantikan dan seminar yang digelar. Ketiganya berbicara tentang program kerja Pemda Dogiyai ke depan. Program kerja yang dipaparkan adalah tidak jauh dari harapan mahasiswa, sehingga diskusi bersama pemda Dogiyai tersebut berjalan hangat dan lancar, walaupun situasi pada saat itu sedikit panas. Akhir dari diskusi mahasiswa menyerahkan usulan program kerja pembanguna Dogiyai ke depan yang disusun mahasiswa sebelum acara digelar. Penyerahan usulan program tersebut diterima baik oleh Pemda Kab. Dogiyai dan akan menjadi pertimbangan dalam pembangunan Dogiyai. Begitu juga dengan sebaliknya dalam rangka meningkatkan Sumber Daya Manusia secara Pemda pun menyerahkan uang dengan jumlah nominal Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah) kepada seluruh pelajar dan mahasiswa Dogiyai di Jawa dan Bali.

Pada hari yang ke dua adalah seminar tentang Pendidikan Luar Sekolah yang dibawakan oleh Yulianus Kuayo, SH. dan Ibu Widarmi Dipawirya Wijana, MM. Dalam seminar tersebut dibahas tentang betapa minimnya Sumber Daya Manusia di Dogiyai, sehingga untuk meningkatkan SDM mahasiswa dituntut untuk memiliki keahlian tertentu sesuai kebutuhan masyarakat Dogiyai. Keahlian yang dimiliki mahasiswa adalah dalam rangka membantu pemerintah daerah manuju masyarakat Dogiyai yang sejahtera. Pada sesi yang kedua adalah dengan topik Spritual Orang Kristen Papua oleh Medex Pakage dari Yayasan Biterbusih (Bina Teruna Cenderawasih) dalam pemaparan seminarnya tentang kebiasaan orang Kristen Papua dalam kehidupan sehari-hari, hambatan dan tantangan orang Papua dalam membangun gereja saat ini, serta kehidupan orang Kristen Papua di Jawa. Oleh sebab itu empat pilar yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh pelajar dan Mahasiswa di Jawa saat ini yakni: a). membina dan membangun spiritualitas, b). membina dan membangun intelektualitas, c). membina dan membangun emosional, d). ora et labora (berdoa sambil bekerja). Semua tujuan, harapan, cita-cita, rencana dan niat baik tanpa berdoa dan beribadah akan sia-sia bahkan tidak akan terwujud. Inilah tugas dan kewajiban kita semua yaitu; berdoa, berdoa, dan berdoa, belajar, belajar dan belajar untuk membangun Dogiyai pada khususnya dan Papua pada umumnya, katanya sambil sambil menutup seminarnya. Bantuan dari Binterbusih memberikan modal berupa uang kepada panitia penyelenggara sebesar 300.000,- untuk menjawab proposal yang diajukan panitia kepada Binterbusih.

Sesi ketiga dengan topik Kreativitas Mahasiswa yang di Dr. Alva Edy Tontowi, dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Pada awal seminarnya Alva mengatakan bahwa alam kita telah menyediakan semuanya, tinggal bagaimana manusia itu menggunakannya. Hasil kreativitas manusia direalkan menjadi inovasi. Dan hasil inovasi ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi penganguran di kampung dengan menggarap tenaga kerja dari kampung. Orang kreatif pada akhirnya disebut creator, dan motivasi untuk menciptakan inovasi ada dalam diri seseorang dan juga dari luar kata Dr. Alva Edy tantowi.


Hari Ketiga

Pada hari ketiga adalah hari penutupan dari rangkaian acara yang telah dilewati bersama. Bakar batu (ekina gapi) itulah tradisi bagi suku Mee yang mendiami pegunungan tengah Papua yang mana jika melakukan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang ditutup dengan pertumpahan darah babi. Bakar batu tersebut berlangsung di belakang Kampus Akademi Pariwisata Yogyakarta. Alam terbuka bersama udara segar di bawah pohon menambah kenyamanan pada saat menyantap gapita ekina.


Akhir kata seluruh Pelajar dan Mahasiswa Dogiyai yang ada di Jawa dan Bali menyampaikan banyak terimakasih kepada semua fihak yang membantu kami dalam menyukseskan acara ini. Suksesnya acara ini adalah karena atas keterlibatan kita semua. (Egeidaby).

Jumat, 23 Januari 2009

Pendidikan di Sugapa Sangat Memprihatinkan

Kepala Sekolah dan Guru Dalangnya
Oleh: Oktovianus Pogau

NABIRE- Terciptanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal serta berkompoten disuatu daerah adalah kunci utama majunya daerah itu. Tidak ada jalan lain yang dapat kita tempuh untuk mewujudkan SDM yang handal, selain melalui jalur pendidikan. Sehingga dengan ini, pendidikan perlu mendapatkan perhatian yang begitu serius dari setiap lembaga yang mengaturnya, yang diperhatikan bukan siswa saja, namun semua satuan pendidik yang mengurus itu perlu di pantau serius oleh pemerintah daerah baik guru, kepala sekolah, bahkan sampai pada masyarakat yang menjadi pelaku pendidikan itu sendiri.

Dimana dalam hal ini saya melihat pendidikan di kampung halaman saya (red, sugapa) sangat-sangat buruk dan memprihatinkan, lebih menggenaskan lagi yang merusak pendidikan di daerah ini adalah para guru dan kepala sekolah sendiri, memalukan, kata ini yang bisa saya gambarkan pada ketidakbecusan mereka dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) daripada generasi Papua yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang Ilmu Pengetahuan.

Hal ini di ungkapkan Linus Bagau, salah satu Inteleq asal suku Moni beberapa saat lalu di ketika di temui Koran Papua Post Nabire (PPN) Jumat (29/10) menanggapi dilematisasi carut-marutnya Pendidikan di sugapa (red, Intan Jaya). Yang sebagaimana hal ini disaksikan oleh dirinya melalui kasad matanya sendiri saat turun lapangan beberapa saat lalu.

“guru-guru yang telah menjadi pegawai negeri dan di tempatkan oleh pemerintah Paniai di sugapa, pada umumnya tidak punya hati untuk mengajar, dimana mereka hanya punya hati untuk menerima uang, padahal ketika mereka melamar untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sumpah janji mereka keluarkan untuk bagaimana tetapi setia dan taat kepada tugas yang pemerintah embani kepada mereka.

Hal ini terbukti, dimana guru-guru yang bertugas disana lebih senang lalu lalang di kota-kota besar seperti Kabupaten Paniai maupun Kabupaten Nabire bagai orang yang tidak punya tugas dan tanggung jawab daripada tinggal berlama-lama di tempat tugas untuk mengajar siswa yang kadang jenuh dan membosankan karena sedikit ketidaktauan mereka. Selain itu, banyak guru-guru yang lari ke Kabupaten Paniai untuk menuntut jabatan politik yang lebih tinggi lagi daripada hanya menjadi guru biasa. Inikan sebuah fakta yang lucu, dimana menjadi guru hanyalah sebuah job mengisi kekosongan mereka” tegasnya.

Selain itu, Kepala sekolah maupun guru yang bertugas di sana tidak transparan dalam penggunaan dana operasional. Padahal dana pendidikan yang di turunkan oleh Pemerintah Pania tidak sedikit jumlahnya, sehingga hal ini perlu di tanyakan dengan baik-baik, kira-kira kemana dana-dana pendidikan seperti itu. Padahal, kalau dana itu digunakan dengan baik-baik maka bukan tidak mungkin bisa membangun beberapa ruang kelas yang layak, selain itu bisa juga membangun perpustakaan kecil dan fasilitas sekolah yang lainnya.

Namun, sudah sekian tahun dana pendidikan dikucurkan, toh nasib pendidikan di daerah ini tidak berubah. Ruang kelas yang saya lihat dulu, tetap begitu-begitu terus, kemudian mutu dan kualitas pendidikan tidak di tambah dengan adanya penambahan beberapa buku pelajaran. Kapan mau adanya perubahan dan peningkatan pendidikan di daerah ini padahal Pemekaran Kabupaten Intan Jaya sedikit lagi akan menjadi kenyataan, terangnya dengan wajah yang sedih.

“yang mengabdi untuk daerah diatas khususnya dalam hal pendidikan dengan serius adalah para guru tamatan SMA/SMK dan sederajat lainnya. Mereka walaupun bukan pegawai negeri sipil, toh mereka punya hati untuk tanah diatas. Dimana mereka memberkan semua yang mereka punya, tanpa menuntut. Ini baru kita bisa namakan seorang pahlawan yang mengabdi tanpa tanda jasa. Contohnya dapat kita lihat di Agisiga, dimana guru-guru yang di berikan kepercayaan dengan bayaran yang cukup tinggi oleh pemerintah paniai melalaikan semua itu, sehingga beberapa guru honorer tamatan SMA/SMK dan sederajat lainya yang lebih serius mengajar,” tambahnya.

Harapan saya Kepada Pemerintah Paniai, bagaimana untuk meningkatkan mutu pendidikan dan Sumber Daya Manusia (SDM) di sugapa pemda harus lebih jeli dalam menempatkan guru di daerah Sugapa. Berikan tanggung jawab kepada mereka yang memang betul-betul punya hati untuk mengajar generasi muda diatas dari pada kepada mereka yang sama sekali tidak punya hati untuk mengajar. Ketika hal ini di tanggapi dengan serius, maka bukan tidak mungkin akan tercipta manusia-manusia dengan tingkat sumber daya manusia yang dapat bersaing dengan orang-orang di daerah luar Papua, terang bagau mantap.

Rabu, 21 Januari 2009

Homogenisasi Kebudayaan; Krisis Paling Berbahaya

“KEBUDAYAAN adalah keseluruhan gagasan, tindakan dan taktik manusia dalam merespon alam, lingkungan dan sesamanya. Semua yang dilakukan, diciptakan dan dilatihkan dapat disebut kebudayaan. Norma, moral dan agama juga bagian dari kebudayaan, “ tutur Antariksa, salah satu tokoh muda yang juga pengurus KUNCI.

Menurutnya, kebudayaan dibebani oleh nilai-nilai serta berkaitan dengan ketergantungan pada nilai yang lain. Ia juga selalu berubah. Contohnya di era Soekarno. Kebudayaan dibuat sangat politis sedang era Suharto dibuat sedemikian tidak politis, sebab jika kebudayaan itu tidak senada dengan kepentingan penguasa ia dianggap membahayakan.
Apakah kebudayaan dibentuk oleh nalar politik seseorang dan sengaja diarahkan pada satu ideologi tertentu atau sebaliknya ? Hubungan keduanya bertimbal balik. Bisa jadi nalar mengubah kebudayaan tetapi bisa juga keadaan yang kita alami sehari-hari membentuk nalar kita. Jadi kebudayaan selalu politis dan menjadi arena pertarungan kepentingan.


Budaya Kekerasan

Ada anggapan, budaya kekerasan di Indonesia bermula dari Tragedi ’65. Tapi menurut Antariksa, hal itu tidak sepenuhnya benar. “Jauh sebelumnya bangsa kita punya sejarah kekerasan yang panjang. Hanya saja, Tragedi ‘65 merupakan tonggak penting karena budaya kekerasan itu dilembagakan dalam skala yang sangat besar dan didukung oleh alat-alat kekerasan yakni tentara dan produk hukum,” tuturnya

Ia juga menambahkan, kelembagaan yang diciptakan Orde Baru menciptakan satu pikiran bahwa, misalnya komunis itu jahat, komunis itu brengsek, komunis itu berbahaya. Yang lebih ngeri lagi, kekerasan dilembagakan dalam bentuk laten sifatnya, misalnya lewat kurikulum, ceramah, tuturan orang tua, film dan lain sebagainya. “Inilah yang tidak pernah terjadi sebelum ’65,” ungkap Antariksa.
Krisis kebudayaan dialami oleh setiap orang di seluruh dunia termasuk Indonesia. Salah satu krisis paling berbahaya – dan herannya kita tidak menganggapnya sebagai hal yang keliru – adalah homogenisasi (penyeragaman) kebudayaan.
“Kalau kita ke Aceh atau Papua, kita akan menemukan semuanya sama. Bajunya sama, cara bicaranya sama, bahkan cara berpikirnya juga dibuat sama. Semua diseragamkan oleh kepentingan uang. Disini tampak bahwa negara makin kehilangan perannya dalam politik kebudayaan. Peran tersebut telah digantikan oleh kekuatan modal ekonomi dan diutamakan atas nama modernisasi sebagai ukuran kemajuan suatu bangsa,” ujar Antariksa.
Salah Satu Alat

Menurutnya, negara seharusnya mengambil peran dalam kebijakan kebudayaan dan melindungi kebudayaan rakyat. Sebagai contoh, masuknya budaya asing melalui media elektronik.
“Menurut saya lembaga sensor adalah solusi paling tolol dan paling malas karena dibalik kebijakan sensor ada anggapan bahwa masyarakat itu bodoh dan harus diatur-atur. Didunia ini banyak kejahatan dan keburukan. Kenapa tidak membuat pendidikan media literasi dan penguatan-penguatan di bidang pendidikan? Itu lebih masuk akal,” ujarnya.
“Menentukan tolak ukur maju tidaknya sebuah kebudayaan itu sulit karena kita hanya bisa bicara dalam skala yang massif yakni negara. Yang bisa diukur adalah bagaimana lembaga-lembaga negara memperlakukan kebudayaan, bagaimana budaya itu hidup, apakah kebijakan kebudayaan bisa memerdekakan masyarakat, apakah kebudayaan yang dijalankan pro kepentingan rakyat, dll. Dari material inilah kita baru bisa mengukurnya,” tuturnya.
Terkait dengan peranan budaya sebagai pembangun karakter bangsa, kebudayaan bukanlah koridor atau alat utama. Kebudayaan hanyalah salah satu alat saja dan harus dijalankan berbarengan dengan koridor-koridor yang lain, misalnya koridor politik, ekonomi, dsb. Jadi semuanya saling melengkapi. (Sari Anantya Rosa)


Sumber: http://www.syarikat.org/article/

Selasa, 20 Januari 2009

Mungkinkah Merauke Menjadi Lumbung Pangan Dunia?

Dibalik ketidakmampuan ribuan Warga Papua di Merauke untuk mencari makan, ternyata pemerintah dengan gencar-gencarnya telah mengkampanyekan Merauke akan menjadi lumbung pangan dunia. Sangat ironis apalagi ditambah dengan rencana penghapusan Raskin kepada masyarakat tidak mampu.

“Ah..coba tanya yang lain saja, saya tak tahu itu,” kata Tono (29), Seorang Petani sawah di Distrik Tanah Miring, Merauke, yang tiap harinya bergelut dengan cangkul dan lumpur. “Kalau mau tanya tentang Merauke jadi lumbung pangan itu, tanya saja di Dinas Pertanian, kita ini hanya bekerja untuk makan saja,” ujarnya sekali lagi. Di tempat lain, ternyata ada beberapa petani yang juga sependapat dengan Tono. Rahmat (32), seorang diantaranya. Sang petani kecil dari Tanah Miring. Liriknya kurang lebih serupa dengan Tono. “Iya memang ada bantuan banyak. PPL (Petugas Penyuluh Lapangan, Red) juga selalu datang. Tapi kita juga kadang kesulitan juga,” tuturnya. Menurut dia, untuk menjaga agar petani selalu berhasil dalam setiap panennya, diperlukan sebuah konsep yang jelas. Bukan asal tulis saja.



Sepenggal cerita di atas bukanlah kisah dalam sebuah parodi. Tapi sebuah fakta yang sering terjadi dalam banyak kehidupan petani di Merauke. Tono dan Rahmat dalam penggalan diatas hanya ingin menggambarkan bagaimana kesulitan petani itu terjadi. Tak dapat dibayangkan jika kesulitan itu menghimpit mereka ditengah sebuah rencana besar menjadikan Merauke sebagai Kota Agropolitan dan lumbung pangan dunia. Rencana yang sangat besar. Rencana yang juga memerlukan kualitas kerja dari petani yang tinggi, kinerja yang maksimal dan kebutuhan finansial yang banyak. Tapi juga rencana yang tanpa disadari bersifat memaksakan petani agar bekerja dengan keras agar hasil tersebut dapat diekspor keluar negeri.

“Kita hanya bisa berupaya dengan optimisme yang ada. Rencana tersebut juga bukan merupakan tulisan di atas kertas saja. Tapi itu sudah kami jalankan,” kata Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke, Omah Laduani Ladamay dalam sebuah Pertemuan Teknis di Kantor dinas tersebut.

Bagi Ladamay, program “pemberantasan” kemiskinan di Merauke dan untuk menjadikan kota ini menjadi kota penghasil serta lumbung pangan dunia telah dilakukan dengan program yang disebut MIRE (Merauke Integrated Rice Estate). Cikal bakal program alternatif untuk solusi krisis pangan dan energi bangsa yang kini lebih dikenal dengan sebutan MIFFE (Merauke Integrated Food And Energy Estate). Konsep ini memang terbilang berani dalam kondisi yang serba sulit. Tidak saja sulit karena sumber daya manusia pribumi setempat yang tidak terbiasa dengan menanam padi. Tapi juga sulit karena jumlah petani yang terbilang sangat sedikit ketimbang luas lahan garapan yang sangat luas.

Minimal luas satu hamparan tanam dalam MIFFE adalah 1.000 Ha. Konsep ini juga memerlukan keterlibatan seluruh stakeholders agribisnis termasuk swasta besar, termasuk konsep lainnya menyangkut link and match dan zero waste. Untuk manajemen penggunaan lahan per 1000 Ha itu, bahkan telah dibagi menjadi, 70% untuk tanaman pangan, 9% untuk ternak, 8% untuk perikanan darat, 8% untuk perkebunan dan 5% untuk lahan lain. “MIFFE merupakan program unggulan yang sementara ini sedang dilakukan. Ada target dimana ke depan akan terjadi perubahan hidup dari Masyarakat Merauke oleh MIFFE,” ujar Ladamay.

Potensi lahan MIFFE memang sangat luas. Luas lahan budi dayanya saja mencapai 2.491.821.99 ha. Lahan basah mencapai 1.937.291,26 ha. Dan luas lahan kering mencapai 554.530,73 ha. Potensi lahan MIFFE ini dapat ditemukan misalnya di distrik Kurik, Merauke seluas 500 ha. Direncanakan akan ditanami jagung. Luas lahan MIFFE dalam sebaran kawasan sentra produksi dibagi dalam tiga zona. Yakni zona 1 terdiri dari Distrik Merauke, Semangga, Tanah Miring, Kurik, Jagebob, Sota, Eligobel, Muting dan Ulilin. Zona 2 adalah distrik Semangga. Sedangkan zona 3 adalah Distrik Kimaam.

Dalam perencanaannya, lahan potensial MIFFE selanjutnya akan dibuat sebagai lahan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 1.428.000 ha. Dan Lahan Alokasi penggunaan lainnya (APL) seluas 202.869 ha. Total potensi ini mencapai 1.630.869 ha. Seterusnya terdapat juga rencana untuk pengembangan lahan tersebut. Yakni untuk lahan tanaman pangan, 1 juta ha, peternakan, 100.000 ha, perikanan, 100.000 ha, perkebunan, 100.000 ha dan untuk penggunaan lain 330.869 ha. “Mekanisasinya adalah dengan teknologi mekanisasi, heavy mekanisasi dan dilanjutkan dengan olah tanah sampai dengan panen,” papar Ladamay.

Namun ironisnya, ternyata luas lahan dan tujuan dari MIFFE yang tergambar di atas kertas, tak sebanding dengan kesulitan yang terjadi di tengah-tengah petani. Rencana menjadikan Kota Rusa sebagai lumbung pangan dunia yang diproklamirkan dalam sebuah acara Panen Raya Padi di Tanah Miring, Merauke, tak sejalan juga dengan kondisi petani dan “permainan” yang terjadi. Sebut saja peristiwa kelangkaan pupuk bersubsidi beberapa pekan terakhir di Merauke. Pupuk bersubsidi yang dijual dengan harga Rp 120.000 hingga Rp 160.000 per 100 kg itu diduga telah digelapkan oleh oknum tertentu. Kelangkaan pupuk bersubsidi misalnya urea dialami oleh ratusan petani di beberapa wilayah. Seperti Waninggap Kai, Distrik Semangga, beberapa Kampung di Distrik Kurik dan Tanah Miring.

Pupuk yang biasanya dipasaran dijual dengan harga sekitar Rp 300.000 itu, kini lenyap. Warga petani pun kecewa dengan kejadian tersebut. “Kita masih susah, tapi kalau mau tunda tanam, pasti kita yang rugi. Jadi mau bagaimana lagi? ” kata Marni (36). Menurut perempuan berperawakan sedang itu, akibat kelangkaan tersebut, dirinya terpaksa membeli pupuk yang dijual di pasaran dengan harga tinggi. Hal itu dilakukannya agar proses masa tanam tidak terganggu. “Rugi juga kalau dihitung-hitung. Tapi itu sudah resiko,” ceplosnya.

Selain kelangkaan pupuk bersubsidi, terjadi juga kadaluarsa benih yang menimpa sejumlah petani di beberapa Wilayah di Merauke. Benih Padi jenis ternama yang dibagikan ke petani di Distrik Kurik, Kimaan, Bupul serta sejumlah distrik lainnya itu merugikan petani hingga puluhan juta rupiah.

Dalam peristiwa lain sekitar November 2008, terjadi juga “permainan” pembagian bantuan alat dan mesin pertanian kepada sejumlah petani di Kurik. Untuk mendapatkkan alat tersebut petani diharuskan membarternya dengan hewan ternak mereka. Bantuan yang berasal dari Pemda Kabupaten Merauke itu diperuntukkan kepada petani yang belum memiliki alat dan mesin pertanian. Namun dalam perjalanannya, oknum pengedar alat tersebut menyerahkannya kepada petani dengan barteran hewan peliharaan. Dalam bagian lain, ada pula alat tersebut yang diduga dijual dengan harga miring.

Dari keterangan seorang Warga Distrik Kurik, Puji Susanto, pembagian mesin pertanian yang dibarter itu ternyata sudah berlangsung semenjak lama. Namun tidak pernah ada sanksi yang diberikan terhadap oknum petugas tersebut. Akibat kejadian ini sejumlah warga penerima kecewa. Meskipun demikian mereka tetap memakai alat dan mesin pertanian yang telah diperolehnya itu. “Itu sudah, alat pertanian itu biasa dikasih tapi dengan cara tukar dengan sapi atau pakai bayar tapi dengan harga murah,” kata dia. Ditambahkannya, mesin-mesin tersebut dibagikan hingga mencapai puluhan mesin. Diberikan dalam kondisi yang masih baru kepada petani. Petani pun hanya pasrah dan tak bisa berbuat banyak untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pejabat daerah. Bagi mereka, kata Puji, “Yang Penting ada dari Pada Tidak Dapat Sama Sekali”


Keseriusan Yang Dipertanyakan

Bupati Merauke, Johanes Gluba Gebze dalam sebuah pertemuan terbatas di Merauke mengatakan, Merauke suatu saat akan dijadikan sebagai lumbung pangan dunia. Hal ini merupakan cita-cita yang yang harus dicapai. Berangkat dari proyek padi Kumbe pada beberapa tahun silam yang pada akhirnya bisa diekspor ke luar negeri, Gebze dalam pertemuan itu terkesan sangat optimis. Tidaklah salah. Demikian juga dengan optimisme atas penghapusan pembagian jatah beras miskin kepada masyarakat kurang mampu. Sekali lagi, tidaklah salah. Namun demikian, kiranya perlu diperhitungkan juga dengan keadaan dan kondisi puluhan ribu Masyarakat Merauke yang masih terkukung dalam jeratan kemiskinan. Mereka yang miskin hingga tak memiliki tempat tinggal dan makanan layak itu, sangat memerlukan bantuan raskin.

Dalam batasan ini, perlulah diberikan sebuah pertanyaan, apakah layak jika rencana penghapusan pembagian raskin dilakukan? Apakah perlu memaksa petani yang jumlahnya sangat sedikit ketimbang luas pertanian yang luas untuk menanam padi sebanyak-banyaknya? Padahal kondisi mereka sendiri pada hampir sebagian besar petani tak memiliki kemampuan untuk bekerja secara “paksa”? mungkinkah hal ini hanya merupakan sebuah upaya pemerintah semata untuk menunjukan kepada publik secara nasional bahwa Merauke telah layak diperhitungkan untuk berdiri sendiri?

Tono, petani berkaos oblong itu mengatakan janganlah berencana menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan dunia pada saat sekarang. Karena apa yang terjadi dalam berbagai bentuk penyimpangan telah menjadi indikator bahwa Merauke masih perlu berbenah lebih jauh dalam bidang pertanian. “Kalau mau buat rencana itu lihat-lihat dulu,” ujarnya polos. (Jerry Omona)

Sumber : Tabloid Jubi (http://cafeinbuti.blogspot.com/)

Minggu, 18 Januari 2009

DIANTARA TUNTUTAN ERA-GLOBALISASI

Masih Adakah Bayang-Bayang Hukum Adat Suku Mee

Oleh Dominikus Douw


Segala sesuatu berdiri kokoh, pasti ada dasar yang kuat. Tulisan dari sudari Yohana H. M. Goo siswi, SMA YPPK Adhi Luhur Nabire, kelas XI (saat itu) dalam edisi X Mei – Juli 2007 dengan topik Membangun Sebuah Daerah Perlu Dasar (Kebudayaan), menginspirasikan saya untuk menulis eksistensi hukum adat suku mee di wilayah hukum adat Paniai.

Sekilas geografis bahwa, masyarakat adat suku mee mendiami wilayah hukum adat Paniai, yang terletak di pegunungan tengah Papua Barat, bagian barat yang mencakup wilayah Mapia/Mapiha, Kamuu, Tigi dan Paniai. Dari keempat wilayah hukum adat tersebut, memiliki ciri-ciri khas dalam kehidupan sehari-hari yang sedikit berbeda namun perbedaan tersebut tidak mencolok.


KILAS BALIK HINGGA KINI
Sejak dahulu kala hingga pada awal tahun 1980-an, masyarakat adat suku mee menjalani kehidupan di bumi Papua Barat berdasarkan hukum adat suku mee sendiri. Namun akibat dari hasil PEPERA yang dilakukan (secara sepihak) pada bulan Mei 1969 maka kekentalan dari hukum adat suku mee itu mulai memudar. Sebagai bukti ada beberapa contoh yang dapat kita lihat bahwa, Mege sebagai alat pembayaran saat itu berganti menjadi menjadi uang, Yuwo (pesta babi) yang biasanya dilakukan oleh hampir setiap setiap wilayah adat suku mee, mulai memudar dan kini tidak nampak lagi acara-acara tersebut dilakukan. Selain itu, dengan diterapkannya UU No. 5 tahun 1979, maka sistim pemerintahan tonawi dirubah menjadi sistim pemerintahan Desa (yang sangat berbeda dengan hukum adat setempat).

Selain contoh diatas, satu hal terpenting yang kini eksistensinya mulai hilang, bahkan dapat dikatakan sudah hilang yaitu Touye-mana/Tota-mana yang dahulunya dianggap sebagai Dasar-Dasar Kehidupan dari masyarakat adat suku mee, kini sudah tidak berlaku lagi.

Pada era-globalisasi ini masyarakat adat suku mee, dihadapkan dengan berbagai macam tuntutan, termasuk pemekaran kabupaten Dogiyai maupun kabupaten Deiyai seiring dikeluarkanya UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (para elit) yang kini mulai marak diperbincangkan ditengah masyarakat adat suku mee. Bila Touye-mana/Tota-mana yang dianggap sebagai dasar-dasar kehidupan bagi masyarakat adat suku mee tersebut tidak dipertahankan, maka dimanakah dasar pijakan kaki bagi masyarakat adat suku mee untuk menerima semua tuntutan itu? Dan akibat dari ketidak-siapan, kini mulai terdengar bahwa, Tanah yang menurut filosofi masyarakat adat suku mee menganggapnya sebagai ibu. Tanah yang dianggap sebagai pemberi kehidupan bagi masyarakat adat suku Mee itu sendiri, kini mulai dijual.

Dengan melihat semua realita ini, maka dapat dikatakan bahwa dasar pijakan bagi masyarakat adat suku mee untuk beradaptasi dengan berbagai tuntutan pada jaman era-globalisasi, termasuk pemekaran kabupaten Dogiyai maupun kabupaten Deiyai, untuk sementara ini belum siap untuk menerima semua itu, namun semuanya itu sudah terjadi. Lantas hal apakah yang harus diperbuat oleh generasi kita, untuk menyelamatkan semua itu?. Apakah keadaan ini kita biarkan berlarut-larut?. Semua kembali kepada diri/pribadi kita sebagai orang mee khususnya, dan juga sebagai orang Papua pada umumnya.

Diawal tulisan telah dikatakan bahwa segala sesuatu dapat berdiri kuat apabila ada dasar yang kuat. Maka dapat dikatakan bahwa hukum adat suku mee (Touye-mana/Toya mana) yang merupakan dasar-dasar kehidupan masa kini dan masa yang akan datang bagi masyarakat adat suku mee itu sendiri, untuk mempertahankan ke-mee-an sebagai salah satu anggota dari seluruh masyarakat adat di Papua khususnya dan pada umumnya di muka bumi ini.

Oleh karena itu, Pihak yang bertanggung jawab dan yang sangat berperan penting dalam menjawab problema ini, diantaranya mahasiswa sebagai kaum intelek dan yang terutama adalah pemerintah daerah sebagai pihak pemegang kekuasaan, sehingga kedua pihak tersebut diharapkan sadar akan hal ini. Sebagai seorang intelek diharapkan dapat memberikan pengertian atau pemahaman kepada masyarakat adat suku mee bahwa untuk menerima semua tuntutan era-globalisasi ini, perlu dasar yang kuat. Dan kepada pemerintah diharapkan supaya sebelum menerapakan semua tuntutan era-globalisasi ini (termasuk pemekaran), dapat memperkuat dasar-dasar kehidupan (Tota-mana/Touye-mana) dengan berbagai cara, kepada masyarakat adat suku mee karena tanpa sebuah dasar maka apalah artinya bila semua tuntutan diera-globalisasi ini diterapkan di masyarakat adat suku mee, disaat masyarakat adat suku mee itu sendiri belum siap untuk menerima semua tuntutan tersebut.

Dalam hal ini saya lebih setuju jika pemerintah daerah menerapkan sistim pemerintahan berdemokrasi kesukuan yang ditawarkan oleh Sem Karoba Dkk dalam tulisan mereka yang berjudul Demokrasi Kesukuan: Gagasan Sistim Pemerintahan Masyarakat Adat di era-globalisasi. Karena dalam sistim demokrasi kesukuan ini, Pertama-tama mengakui, memajukan dan menegakkan hukum alam dan hukum adat lalu juga mengakomodasi hukum universal (Karoba Sem, Dkk. 110).
Dengan demikian, saya yakin dan percaya bahwa seratus tahun bahkan seribu tahun kedepan, eksistensi ke-Mee-an akan tetap terpelihara dan masih akan disebut sebagai salah satu anggota suku dari semua suku yang ada di Papua khususnya, dan di planet bumi ini pada umumnya.

Mahasiswa Jurusan Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya