Pages

Subscribe:

Jumat, 22 Mei 2009

Papua Dalam Bayang-Bayang Pelanggaran HAM


Hak asasi manusia merupakan hak dasar atau hak kodrat yang di bawah oleh setiap orang sejak lahir. Untuk itu hak-hak ini perlu di junjung tinggi dan di hormati oleh setiap orang.
Matius Murib, Ketua (KONTRAS) Papua kepada Jubi tahun lalu di Jayapura mengatakan para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ini berpotensi tapi mau bagaimana lagi, mereka masih terus dikorbankan. “Sekarang ada Undang-undang baru No. 18 tahun 2008 dan ini juga membuka ruang bagi perorangan untuk duduk di partai politik, itu juga merupakan hak politik seseorang hak asasi seseorang tidak boleh ditekan terus menerus harus beri ruang untuk mereka,”tutur Murib.
Menurut Murib kekerasan yang terjadi di Indonesia dan khususnya di Papua, sampai saat ini belum ada satu kasus pun yang diadili di peradilan Indonesia. “Kasus yang satu-satunya baru dibahas dan dibawa sampai ke pengadilan Makasar yaitu Kasus Abepura berdarah, 07 Desember tahun 2000, tetapi keputusannya sangat mengecewakan korban. Pelakunya dibebaskan, malah pangkatnya dinaikkan dan dihormati sebagai pahlawan yang berhasil membunuh musuhnya,” ujar Murib heran.
Korban pada saat itu khususnya orang Papua lanjut Murib tidak dilihat lagi sebagai manusia, tetapi hanya dilihat sebagai separatis musuh Negara yang harus dihabiskan. “Padahal kalau mau di lihat dalam kasus 7 Desember tahun 2000 itu, para korban mayoritas petani, ibu-ibu, mahasiswa, bahkan ada pelajar anak perempuan yang baru berumur 7 tahun,”ungkap Murib..
“Masa orang seperti ini harus di cap dan distigmakan sebagai separatis atau musuh Negara. Seharusnya Negara melihat korban pelanggaran HAM sebagai manusia yang harus dilindungi, tetapi malah sebaliknya, Negara melihat korban pelanggaran HAM sebagai musuh negara atau separatis yang harus diberantas,” ujar Murib tegas.



Dijelaskannya, saat ini untuk menemukan keadilan sangat sulit di Peradilan Indonesia secara umum. Khususnya korban di Papua tidak ada kebebasan untuk menyampaikan hak-haknya melalui peradilan, karena semua lini sudah di kuasai oleh militer dan polisi. Kasus Biak berdarah sampai saat ini kasusnya sudah tiba di Komnas HAM tetapi masih tarik ulur antara Komisi Nasional (Komnas) HAM dengan Mahkamah Agung, belum sampai tingkat peradilan, begitu juga dengan kasus enam belas (16 ) Maret, sampai saat ini belum diselesaikan. Baru satu saja yang di selesaikan yaitu kasus Abepura berdarah, 7 Desember tahun 2000, kasus ini yang sudah diselesaikan dan dinaikkan ke peradilan Makassar.
Sedangkan kasus Biak berdarah, kasus enam belas Maret Abepura berdarah, Kasus Wasior, dan Kasus Wamena berdarah sampai saat ini belum dinaikkan sampai ke pengadilan. Jadi secara umum di Papua itu ada tujuh kasus pelanggaran HAM besar, diantaranya kasus Biak, Wamena, Abepura, Wasior dikategorikan sebagai Kasus pelanggaran HAM berat. Namun dari tujuh macam kasus itu, baru satu kasus saja yang diselesaikan, yaitu kasus Abepura berdarah 07 Desember tahun 2000. Kemudian untuk hasil sidang di Jenewa menurut Murib pihaknya sampai saat ini belum mendapatkan hasil sidang tersebut. Namun kata dia Kontras secara nasional dan internasional lembaga ini didirikan untuk memperjuangkan masalah-masalah pelanggaran HAM, sampai kapan pun dan juga tetap memperjuangkan kasus-kasus pelanggaran HAM khususnya di Papua.
Lanjut Murib, Sampai saat ini korban pelanggaran HAM belum mempunyai kebebasan untuk menyampaikan hak-hak mereka. Mereka bingung mau sampaikan lewat saluran mana, karena seluruh saluran itu sudah dikuasai oleh Negara dan menjadi milik negara, sehingga yang bisa mereka lakukan yaitu hanya berdoa dan berharap kepada Tuhan.
“Kelihatannya tidak ada lembaga yang membuka diri untuk menerima mereka, mau mengatakan mari saya akan memberikan rasa keadilan yang selama ini kamu cari, saat ini cukup sulit. Baik secara individu atau lembaga sampai saat ini tidak ada yang menjamin, termasuk Komnas HAM sendiri tidak jelas dan serius untuk menangani setiap kasus,”jelas Matius Murib.
Murib menambahkan, sampai saat ini posisi para korban masih sangat terancam, mereka masih trauma dan sangat tidak jelas. Para korban masih berjuang sendiri, mereka hanya bisa lakukan juga yaitu ; kumpul-kumpul, berdoa dan saling bagi pengalaman antara korban dan korban. “Negara sangat tidak memberikan mereka kebebasan. Karena ketika mereka mau mengatakan hak mereka, langsung di stigma sebagai separatis sehingga tidak mungkin,”tambah Murib.
Sedangkan salah satu korban pelanggaran HAM, Peneas Lokbere yang juga menjabat sebagai Koordinator Komunitas Survivor Abepura (KSA), menanggapi hasil sidang di Jenewa pada bulan April-Juni, mengatakan setiap delegasi dari Indonesia yang jelas Pemerintah, mereka menyampaikan masalah-masalah nasional. “Mereka membicarakan kondisi pelanggaran HAM di Indonesia secara nasional. Apa yang disampaikan disana tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi, bisa dibilang itu juga termasuk kepentingan Negara dan membela diri, padahal tindakan yang dilakukan itu sangat tidak manusiawi,”ujar Lokbere.
“Contoh saja Menteri Dalam Negeri, belum melihat sendiri kasus-kasus yang terjadi, di Papua mau pun di daerah lain, tetapi hanya melihat kasus-kasus tersebut lewat surat-surat kabar yang ditulis, sehingga data data yang disampaikan pada saat sidang PBB disana itu tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi di Papua dan daerah lainnya. Waktu itu Ketua Komisi yang mewakili Indonesia ke Swiss waktu terlalu banyak janji akan menyelidiki para penegak hukum, dan Komnas HAM untuk mendesak Presiden agar ada penekanan-penekanan dan keputusan hakim ada keadilan bagi para korban, contohnya seperti kasus Abepura berdarah,” ujar Peneas Lokbere.
“Kasus Abepura berdarah itu harus ada tindakan-tindakan kepada para korban, itu bisa ada keadilan bagi para korban tetapi ternyata memang keputusan hakim itu sangat mengecewakan korban. Pelaku dianggap sebagai pahlawan yang menyelamatkan negara sehingga dia bisa mendapatkan penghargaan dengan kedudukan yang lebih tinggi, naik pangkat, itu suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi, sementara para korban tetap dipersalahkan,” ungkap Peneas lokbere.
Menurut Peneas keputusan hasil sidang di Swiss Jenewa itu tidak sesuai, ada beberapa poin-poin yang mereka abaikan, perwakilan dari Indonesia yang mengikuti sidang sebenarnya mempunyai maksud untuk menegakan HAM di Indonesia ini, hasil kerja mereka tidak jelas. .
Lebih lanjut kata Pineas ada sekian banyak kasus pelanggaran HAM di Papua dari sejak tahun 1960 an sampai 2006, banyak kasus ini pemerintah tidak serius untuk menyelesaikannya. “Kasus Abepura 2000 itu suatu peluang ini menjadi contoh bagi kasus pelanggaran HAM di Indonesia.Tetapi orang-orang yang menyelesaikan kasus ini tidak menegakan hukum. “Itu merupakan pengalaman, dengan adanya pengalaman itu, kami para korban mulai melakukan Forum korban dari tanggal 05- 10 Maret 2007,” ungkap Lokbere
Dikatakan, dalam Forum itu ada beberapa point penting yang menjadi komitmen kami untuk tetap dilakukan antara lain; Pertama, setiap momen terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. “Kami akan mengadakan kegiatan kampanye publik. kami terus mengingatkan kepada publik bahwa kasus ini belum selesai. Sehingga setiap kali terjadi pelanggaran HAM kami terus melakukan kampanye, kampanye atau publikasi kasus-kasus itu bukan hanya di Jayapura, tetapi di Biak, Wamena, dan Timika, Jayapura sebagai central,”tegas Lokbere.
Kedua, membangun solidaritas para korban, karena selama ini korban jadi diam atau membisu hanya mengharapkan ada pertolongan mungkin ada pertolongan dari LSM atau Pemerintah yang membantu.
“Kami hanya ingin agar peristiwa itu membuat kami untuk membangun solidaritas agar jangan terkesan kami mau berjuang untuk mempertahankan hak-hak kami,” tegas Lokbere.
Ketiga, melakukan suatu dorongan kepada Pemerintah Daerah agar perlu mengeluarkan Peraturan Daerah yang menyangkut hak-hak korban pelanggaran HAM. “ Kami para korban berbicara itu berdasarkan peraturan yang ada, karena selama ini tidak ada, sehingga korban itu diabaikan begitu saja,” urai Lokbere.
Lanjut Lokbere, Pelaksanaan dari keputusan itu sudah dilakukan tahun 2007, dan sudah melakukan peringatan-peringatan untuk semua kasus, tetapi bentuk atau jenis-jenis kegiatan yang biasanya yang kami lakukan tidak hanya satu tetapi selang seling, biasanya dalam bentuk aksi, pawai obor, konferensi pers, dan juga melakukan audensi dengan Pemerintah bahwa kasus ini belum selesai.
Kemudian kata Lokbere pada bulan Maret 2008 lalu telah melakukan pertemuan forum korban kedua di Biak tanggal 26-28 dalam forum ini berhasil membentuk satu wadah korban yang namanya Bersatu Untuk Kebenaran (BUK). Lembaga ini menjadi pos-pos kontak di setiap Daerah. Kasus Wamena tahun 2003, Abepura 15 maret 2006, tempat itu yang menjadi pos-pos kontak , sedangkan sentral ada di Jayapura. “ Selain itu kita dapat juga membangun kapasitas melalui building capacity,” ujar Lokbere.
Dalam kapasitas building pihaknya juga melakukan pelatihan ketrampilan-ketrampilan yang menyangkut dengan HAM, pelatihan-pelatihan mengenai cara membuat laporan, ini yang menjadi kebijakan dalam BUK. “Jadi sementara ini kami mempersiapkan akte notaris dan persiapan administrasi lain untuk BUK. Para korban itu yang terjadi dalam kejadian-kejadian itu biasanya dua atau tiga orang itu ditembak Sebagai contoh saja kasus Abepura berdarah itu korban dulunya ada 105 orang, tiga diantaranya lebih awal meninggal, tetapi sampai sekarang sudah mencapai 11 orang. Salah satunya Mundo Suplayo dia mendapat penindasan permanen, Mundo dipukul ditulang belakangnya sampai patah akhirnya dia mengalami penderitaan sampai mati, ini sebenarnya menjadi tanggung jawab Negara,” ujar Lokbere.
Orang biasanya membela HAM di Papua, namun kata Lokbere biasanya pembicaraan mereka tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Papua, jadi korban-korban di atas korban. “Ada orang lain yang mempunyai tujuan baik tetapi kadang-kadang di siksa dan dibunuh. Itu yang membuat selama ini kami membuat sebuah lembaga kecil. Selama ini korban masih berusaha untuk memperjuangkan hak-haknya namun tidak secara langsung tetapi kami masih di dorong oleh LSM, seperti FOKER LSM, Kontras, dan PBI di Jakarta,”ujar Lokbere.
Harapan Lokbere memang tidak banyak tetapi yang terpenting adalah agar harus mengembalikan hak hak yang telah hilang dan dirampas.” Sebab hak dan martabat manusia ini tidak ada perbedaan diantara kita itu semua sama, tetapi kenapa hak-hak korban itu tidak dianggap sebagai nilai sebagai manusia dan itu yang kami tuntut dari Pemerintah dan Negara, pengembalian nama baik. Terutama orang Papua karena pada umumnya itu provokasi oleh Negara, yang menjadi korban adalah orang yang tidak tahu menahu merekalah yang menjadi korban. Harus ada keadilan bagi kami dan pengakuan dari Negara bahwa mereka adalah korban pelanggaran HAM. Karena selama ini negara masih harus mencap sebagai separatis dan siksa terus sampai mati,” ujar Lokbere. (Musa Abubar)
Sumber: http://id.wordpress.com/tag/jubi-utama/

0 komentar:

Posting Komentar