Pages

Subscribe:

Selasa, 17 Februari 2009

Raskin, Sebuah Kebijakan yang Merugikan Rakyat di Papua dan Maluku

Masyarakat Papua dan Maluku telah mengkonsumsi sagu dan ubi-ubian seperti betatas, kasbi, keladi serta embal selama berabad-abad. Saat ini makanan tradisional tersebut sedang digantikan oleh nasi lewat kebijakan RASKIN dari Pemerintah Indonesia yang lebih berpihak pada “berasnisasi�.

Sagu, betatas, keladi dan kasbi sudah menjadi bagian dari identitas budaya rakyat Papua dan Maluku. Ada banyak tarian tradisional, istilah bahasa daerah, peralatan masak dan bertani, tari-tarian dan ritual adat serta lagu-lagu rakyat yang berhubungan dengan makanan pokok tradisional tersebut. Bila beras berubah menjadi makanan pokok di Papua dan Maluku maka identitas budaya bangsa-bangsa yang termasuk dalam rumpun Melanesia ini akan ditinggalkan dan dilupakan untuk selamanya.


Masyarat Papua dan Maluku yang tinggal di perkotaan sudah sepenuhnya mengkonsumsi nasi. Sangat menyedihkan karena kebanyakan dari mereka, kini tidak tahu lagi bagaimana mengolah pohon sagu untuk diambil tepungnya.
Pemerintah Indonesia memperkenalkan Program RASKIN di Papua Barat enam tahun yang lalu. RASKIN merupakan kependekan dari BERAS MISKIN.

Pemerintah Indonesia mulai mendistribusikan beras yang disubsidi secara nasional ketika negara tersebut tengah menghadapi krisis ekonomi yang parah. Meskipun program tersebut dimaksudkan untuk membantu masyarakat miskin, RASKIN sebenarnya menciptakan ketergantungan dan dalam jangka panjang akan merusak perilaku makan serta kebudayaan orang Papua baik yang tinggal di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Perlahan namun pasti, masyarakat Papua dan Maluku semakin lebih banyak mengonsumsi nasi dari pada sagu atau betatas. Menurut data Badan Ketahanan Pangan Provinsi Papua, hingga tahun 2004, masyarakat Papua mengonsumsi nasi 55%, ubi-ubian 30% serta sagu 15%. Tentu saja persentase pemakan nasi semakin tinggi sekarang karena gencarnya program RASKIN dan berbagai kebijakan lain seperti pencetakan sawah besar-besaran di seluruh tanah Papua dan Maluku.

Menurut harian KOMPAS, BULOG mengalokasikan 43.000 metrik ton beras bagi 256.622 rumah tangga miskin di Papua Barat setiap tahun. Bila dihitung secara kasar untuk setiap rumah tangga (bapak-ibu dan 2 orang anak) maka jumlah penduduk Papua yang memakan nasi setiap tahun dari program RASKIN adalah: 256.622 x 4 = 1.026.488 jiwa. Jumlah ini tidak termasuk mereka yang membeli beras tanpa melalui program RASKIN, yang tentu saja lebih besar dan lebih intensif.
BULOG adalah badan pemerintah pusat yang bertanggung jawab atas pendistribusian beras. Beras dikirim ke Papua dari Pulau Jawa, Bali dan Sulawesi. Kadang-kadang beras diimpor dari negara lain.

Ketika tiba di Papua, beras didistribusikan di pasar oleh DOLOG – cabang BULOG di daerah. Untuk mempercepat pengirimannya ke wilayah pegunungan, pemerintah daerah – mencarter pesawat AMA dan MAF, dua badan penerbangan yang dimiliki oleh misionaris Katolik dan Protestan. Seorang Papua yang bekerja bagi AMA, menyebutkan bahwa sebuah pesawat AMA yang bernama Pilatus mampu mengangkut hingga satu metrik ton beras ke kampung mana saja di daerah terpencil Papua.
Tidak mengherankan jika beras bersubsidi tersebut dijual dengan harga yang jauh lebih rendah daripada harga makanan pokok tradisional masyarakat Papua. Di sini di pasar lokal, beras dijual antara Rp.5.000 dan Rp.6.500/kilogram – jauh lebih murah daripada sagu dan betatas yang rata-rata adalah Rp.10.000/tempat.

Pemerintah Indonesia telah mensubsidi beras selama bertahun-tahun. Subsidi tersebut diberikan pada pupuk, tarif import peralatan pertanian, dan pembangunan bendungan serta jaringan irigasi. Ini belum termasuk trilyunan rupiah yang dialokasikan bagi program transmigrasi.

Di pihak lain, masyarakat Papua dan Maluku yang memproduksi sagu dan menanam ubi-ubian tidak pernah menikmati subsidi seperti itu. Kebanyakan dari mereka masih menggunakan peralatan manual tradisional untuk mengekstrasi tepung dari pohon sagu (Metroxylon Rumphii). Inilah yang menyebabkan harga sagu lebih tinggi dari beras.

Jelas bahwa program RASKIN mematahkan semangat petani-petani Papua dan Maluku yang memproduksi sagu dan menanam betatas. Mereka tidak bisa dengan mudah beralih menanam padi. Karena sagu dan ubi-ubian sudah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat rumpun Melanesia ini.

Situasi tersebut semakin bertambah buruk. Jumlah uang yang dibelanjakan orang Papua dan Maluku untuk membeli beras semakin tinggi. Karena Papua tidak mampu memproduksi cukup beras sendiri, akibatnya ratusan milyar rupiah mengalir keluar dari
Papua dan Maluku setiap tahun. Jika orang Papua memilih untuk kembali membeli sagu dan betatas atau kasbi, lebih banyak uang akan berputar di pulau itu sehingga mendukung berbagai aktivitas ekonomi masyarakt lokal.

Untuk menjawab kondisi ini, pemerintah daerah dan pusat berencana untuk membuka jutaan hektar sawah di Merauke dan kabupaten-kabupaten lain di seluruh dataran Papua, mengubah rawa-rawa menjadi sawah. Di Maluku hal tersebut dilaksanakan di Pulau Buru serta Seram. Sebagai konsekuensinya, program yang ambisius ini memerlukan lebih banyak transmigran untuk mengimplementasinya, mengakibatkan orang-orang Melanesia ini menghadapi kenyataan menjadi minoritas di tanah airnya sendiri.

... adalah warga yang prihatin dan tinggal di Papua Barat.
Sumber:http://www.westpapua.ca

0 komentar:

Posting Komentar